Gempa bumi dengan derajat guncangan tinggi Agustus 2018 di Mataram, Nusa Tenggara Barat disusul pada bulan ini gempa disertai tsunami di Palu dan Donggala pun memperpanjang deretan kejadian menakutkan itu. Tidak ada pilihan lain untuk menempatkan kejadian alam ini sebagai sesuatu yang patut mendapat perhatian.
Gempa ini disebut sebagai bencana dalam ungkapan publik kita. Gempa adalah kejadian geologis namun secara sosiologi ia adalah bencana.
Gempa sebagai peristiwa geologis sebenarnya biasa saja. Peristiwa alami yang tak dapat dicegah. Justru gempa bumi diperlukan oleh bumi itu sendiri.
Naskah-naskah ekologis menyebut adanya suatu sifat alami bumi ini yang disebut sebagai homeostatis. Ia adalah kemampuan bumi dan komunitas yang terdapat di atasnya untuk memulihkan dirinya sendiri. Perubahan alam yang terjadi secara alami bisa saja terlihat seperti kehancuran namun pemulihan bentuk dan fungsinya akan dilakukan sendiri. Kemampuan itu hanya akan berlangsung jika ambang batasnya tak terlampaui.
Homeostatis adalah bahasa alam. Ia menyapa manusia sekelilingnya dengan kesahajaan tanpa basa-basi. Makhluk hidup dan benda alam lainnya juga memiliki keharmonisan berbahasa engan gerak alaminya masing-masing.
Laksana drama semesta, sahut-sahutan komponen alam ini sebenarnya sedang berlangsung. Hanya manusia yang merupakan komponen alam yang perlu memahami lebih mendalam. Ini lantaran manusia memiliki potensi ekspresif yang amat berbeda dengan benda semesta lainnya.
Ekspresi manusia di alam sangat berbeda dengan komponen alam lainnya. Semula ia menjadi bagian organik dari alam. Lambat laun manusia mengerti ekonomi dan membentuk kelas sosial. Lalu tercipta perlombaan gaya hidup.
Lewat itu semua, manusia mulai melepaskan diri dari tubuh alam. Ia membuat panggung alam kini dihuni oleh dua komponen yang saling terpisah. Keduanya adalah manusia dan benda-benda di luar manusia. Benda-benda itu dianggap sebagai pemuas kepentingan dan gaya hidupnya.
Konsepsi diri manusia yang seperti inilah yang menyebabkan munculnya pengertian bencana secara sosiologis. Doa-doa dipanjatkan agar kejadian alami itu tak perlu terjadi. Suatu hal yang sesungguhnya bertentangan dengan bahasa alam.
Manusia tiba-tiba ingin memaksa alam mengubah bahasanya. Padahal seharusnya manusia bekerja keras mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai untuk menyesuaikan diri dengan bahasa alam ini. Teknologi deteksi dini, desain kota, dan bangunan, seharusnya menjadi seni “berbahasa” manusia yang dikembangkan di masa depan.
Doa dalam bahasa manusia seharusnya memohon agar cahaya Allah yakni ilmu pengetahuan dan hikmah selalu dilimpahkan kepada para periset agar mampu menemukan perangkat ilmu untuk menjamin keamanan di masa depan.
Ikhtiar keilmuan amat diperlukan. Mengenal berbagai karakteristik geologis dan ekologis adalah cara terbaik untuk menyahuti bahasa alam. Rekayasa manusia secara tepat akan menjadi jawaban terbaik. Tidak sekadar menjadi usaha penyelamatan jiwa melainkan penyelamatan nalar agar tetap sehat. Melihat bencana tidak sebagai kutukan melainkan ujian. Bukan untuk menyadari nasib yang dianggap telah ditentukan Tuhan, melainkan menyadari ujian dari Tuhan untuk meningkatkan kreasi manusia. Bahasa manusia harus tetap menjadi bagian organik dari bahasa alam, karena begitulah Bahasa Tuhan Semesta Alam.
Bincang saya dengan teman yang menekuni kuliah filsafat menjelaskan bahwa gerak di alam ini selalu terjadi. Geraknya bukan saja berupa perubahan pada aksidennya melainkan substansinya. Lupakan dulu istilah-istilah filsafat ini sebab kita tidak ingin menghapalkannya untuk menghadapi ujian komprehensif!
Prinsipnya, semua anggota keluarga ekologi kita ini sedang bergerak. Mereka sedang berubah untuk menyempurnakan atau mencapai posisinya yang stabil. Menurut naskah yang ditulis beberapa pemikir bahwa gerak adalah keluarnya sesuatu dari potensi menuju aktus. Anggota alam semesta kita ini tidak akan tinggal diam.
Ketika gerak salah satu anggota keluarga ekologis kita itu sedang berlangsung, maka rekan-rekannya yang lain akan menyesuaikan diri. Sungguh pun terlihat akan menimbulkan gangguan, namun kekompakan mereka memperlihatkan harmoni. Tidak saling meniadakan.
Respon mereka bak simfoni musik yang saling melengkapi. Toh, jika terjadi kerusakan maka mereka akan memperbaiki dirinya sendiri secara alami. Itu demi memberi kesempatan buat anggota keluarga ekologisnya mencapai proses perubahan lebih stabil.
Proses ini dinamakan dengan adaptasi. Mereka akan menyesuaikan diri secara alamiah dengan perubahan apapun yang terjadi di sekitarnya. Adaptasi dapat dilakukan dengan beruaya, bahkan jika terpaksa mereka mengubah sel-sel secara evolutif.
Ruaya adalah perpindahan kelompok hewan tertentu secara besar-besaran ke tempat lain. Ruaya adalah bahasa alam. Ia menggambarkan terjadinya suatu peristiwa alami yang sebenarnya biasa saja. Andai saja kita mengerti bahasa ini maka proses penyesuaian diri terhadap perubahan alam dapat dilakukan.
Sehari setelah gempa di Palu dan Donggala, seorang penjual nasi kuning di Pantai Manakarra, Mamuju, bercerita. Dirinya tak ikut menyingkir ke bukit-bukit. Ia menjelaskan bahwa tanda-tanda alam belum terlihat. Ia meyakini bahwa burung-burung tertentu akan berpindah secar besar-besaran jika akan terjadi perubahan di laut.
Saya tidak tertarik ikut pro-kontra usai penjelasannya itu. Saya hanya meyakini juga bahwa ilmu pengetahuan kita belum maksimal mengungkap rahasia bahasa alam ini. Celakanya lagi, kearifan lokal kita sudah kian tergerus. Budaya kita dulu banyak menyimpan pengetahuan tentang perilaku semesta ini. Ia dihentikan oleh kekejaman paradigma ilmu modern.