Dari Calistung ke Literasi

Literasi, apa sih itu? Kok begitu santer didengungkan dan digaungkan, sekarang ini? Apatah lagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui permendikbud tentang gerakan literasi ini. Ada, Gerakan Literasi Nasional ( GLN) Gerakan Literasi Sekolah ( GLS), Gerakan Literasi Masyarakat ( GLM) dan Gerakan Literasi Keluarga (GLK). Selengkapnya bisa dibaca pada permendikbud nomor 23 tahun 2015. Tentang penumbuhan budi pekerti.

Apa? Literasi itu berkenaan dengan huruf, baca, dan tulis? Ya, memang arti sederhanya seperti itu, literasi, berarti melek huruf, suka membaca dan menulis.

Lha, kan selama ini sudah ada program pemberantasan buta aksara. Yaitu program pemberantasan buta huruf masyarakat. Agar bisa membaca, menulis dan berhitung. Jika dengan demikian, buat apa lagi, ada program gerakan literasi. Program pemerintah yang lalu itu, tidak berhasil, atau supaya tampak lebih keren ya? Makanya istilah yang dipakai juga berubah.

Tunggu dulu. Jangan berpikiran negatif dulu lah. Program gerakan literasi ini hadir, memang bukan tanpa sebab. Di antaranya, hasil survey yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survey, menyatakan bahwa, bangsa Indonesia, minat baca tulisnya masih sangat rendah. Jika dipersandingkan dengan negara-negara lain. Misalnya, Finlandia, Jepang, atau Malaysia. Sementara, salah satu kategori, sebuah bangsa atau negara dianggap sudah maju, jika literasinya juga sudah meningkat dan maju.

Terus bagaimana dengan program pemberantasan Buta Aksara?

Nah, program itu, sudah dianggap berhasil. Pemerintah dianggap berhasil menekan angka masyarakat yang buta huruf. Oleh karena itu, program ini perlu ditingkatkan lagi. Terlebih tantangan kehidupan, juga semakin banyak dan beragam. Itulah sebabnya, kebijakan yang diambil adalah dengan program gerakan literasi ini.

Hah? Sesederhana itu kah? Apa hubungannya, literasi dengan pemecahan masalah kehidupan?

Sabar ya, akan diperjelas dengan lebih sederhana. Pada intinya, pengetahuan yang diperoleh harus bisa berguna, berfungsi dalam kehidupan kita. Demikian pula halnya, pengetahuan calistung, yang dianggap menjadi syarat seseorang dianggap sudah bebas buta aksara.

Nah setelah mengetahui calistung, seseorang bisa memanfaatkannya, menggunakannya dalam kehidupan sehari-harinya. Atau dengan kata lain, ketika kita sudah membaca buku, ada pelajaran atau hikmah yang bisa kita jadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah. Baik secara teoritis maupun teknis. Baik langsung maupun tidak langsung.

Karena seringnya kita bersentuhan dengan buku, lalu membacanya. Maka, makin kayalah kita dengan jalan keluar yang bisa diambil. Atau lebih sederhananya. Bila ilmu itu tidak dipakai, tidak difungsikan. Ibarat pohon yang tanpa buah.

Terlebih lagi, bahwa literasi sekarang ini banyak ragamnya. Bahkan menulis dan membaca hanyalah salah satu bagian dari literasi yang lainnya. Literasi baca tulis ini, merupakan pintu pertama memasuki dan mengenali jenis literasi lainnya.

Lalu mengapa perlu ada GLS? Bukankah memang demikian lembaga pendidikan, menjadi tempat berpijaknya literasi?

Inilah yang jadi problem pendidikan kita saat ini. Memang di sekolah, peserta didik setiap hari di sekolah bergaul dengan huruf-huruf, angka-angka, buku-buku dan pena. Tetapi itu belum bisa dianggap sebagai tanda kemelekan literasi.

Apalagi, jika belajar hanya untuk dapat nilai raport dan ijazah. Belajar melum menjadi kebutuhan pokok bagi jiwa atau rohani. Belajar baru menjadi sebatas kewajiban yang harus digugurkan.  Tak heran bila belajar dilakukan dengan tanpa kenikmatan dan kekhusyukan. Pembelajaran belum memiliki makna, yang bisa menjadi solusi dan pembuka jalan bagi problem yang terjadi.

Pun, paradigma pendidikan kita masih parsial, terkotak-kotak belum terintegrasi, universal dan holistik.

Lihatlah misalnya, pemilihan jurusan eksakta lebih diminati oleh peserta didik dibanding ilmu-ilmu sosial. Padahal paradigma yang dikotomi tersebut, sudah harus ditanggalkan dan dibuang jauh. Setiap cabang keilmuan bisa dimainkan perannya masing-masing, tanpa melihat dan memandang, bahwa jurusan yang satu lebih superior dibanding jurusan yang lainnya.

Fenomena lain, adalah menurunnya minat dan daya baca peserta didik terhadap buku. Hal ini bisa dibuktikan dengan jumlah siswa yang berkunjung ke perpustakaan sekolah. Atau siswa yang membaca buku saat jam istirahat, saat gurunya berhalangan mengisi jam mengajar. Lebih banyak siswa senang ke kantin, nongkrong dengan  HP, atau bergosip.

Siswa mau menyentuh buku, saat belajar di kelas. Itupun yang dibaca hanya buku teks mata pelajaran. Sementara buku nonteks, buku pengayaan, novel, puisi dan yang lainnya, bisa dikatakan sangat memprihatinkan. Jika tak mau mengiyakan istilah yang dipakai, bapak Taufiq Ismail, tragedi nol buku.

Tetapi, fenomena “negatif” saya sebutkan di atas, tidak seharusnya dan semestinya ditimpakan seluruhnya pada siswa, peserta didik.

Jika peserta didik atau kaum pelajar ini lebih tertarik ke kantin, nongkrong dengan HP, tinimbang berkunjung ke perpustakaan, berarti kantin dan hp lebih menarik daripada perpustakaan atau membaca buku.

Jadi solusinya, bagaimana?

Waduh, kalau soal solusi, berarti sudah masuk ke inti dan pembicaraan pamungkas ya.

Hadirnya gerakan literasi ke sekolah, ke masyarakat, ke keluarga adalah salah satu upaya untuk merevitalisasi kesukaan kita pada buku, pada membaca atau menulis. Demikian pula, dengan menjadikan buku sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dapat diaktualisasikan delam kehidupan sehari-hari. Kata para filosof, dari mengada lalu menjadi.

Seluruh stakeholder mulai dari bawah sampai atas, atau sebaliknya. Perlu memikirkan dan membuat sebuah terobosan yang bisa membuat anak-anak kembali berminat dengan buku.

Membuat fasilitas perpustakaan yang menarik dikunjungi, penataan buku yang lebih fresh dan gaul. Pun isi perpustakaan, perlu diperhatikan.

Jangan sampai kita berpikir dan memvonis anak-anak tidak suka membaca, padahal ketersediaan buku, dan fasilitas yang memang tidak membuat mereka tertarik untuk membaca. Atau bahkan buku yang mau dibaca, masih minim.

Kegiatan kepustakawanan juga perlu lebih variatif. melibatkan mereka, sebagai salah satu bagian dari subjek pendidikan. Misalnya membuat lomba yang bernuansa buku. Buat kegiatan pengembangan diri di perpustakaan, berdiskusi, membuat kreasi, kerajinan tangan, atau apa pun itu. Yang bisa membuat mereka tertarik dan nyaman berada di lingkungan tersebut. Atau dengan kata lain, program yang edukatif-rekreatif. Belajar yang menyenangkan.

Akses buku di tengah-tengah masyarakat juga harus dipermudah dan didekatkan aksesnya. Urusan pengadministrasian, boleh diperlonggar sedikit, jika hal yang berbau administrasi, dianggap menghambat, masyarakat mendekat merapat dengan buku.

Jika kita mengeluhkan anak-anak kita malas membaca saat di rumah, maka perlu dilihat, apakah di rumah kita ada perpustakaan keluarga? Atau rak buku yang berisi buku-buku yang menarik untuk dibaca?

 

Ilustrasi: https://ru.kisspng.com/kisspng-nlde5c/preview.html

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *