Dialog Imajiner Heraclitus dengan Daeng Pete-pete

Ada yang terasa berbeda tempo hari, sepanjang perjalanan, Daeng sopir pete-pete sepi penumpang. Daeng memalingkan kepala ke kanan ke kiri, tatapan yang presisi ke setiap sudut jalan, berharap ada penumpang yang tampak dan terlihat. Malang benar, hampir sampai pada titik akhir terminal kota, tak satu pun penumpang yang bertambah, hanya aku seorang yang ada dalam pete-pete di sepanjang perjalanan.

***

Situasi di atas kontras sekali dengan pemandangan 5-10 tahun yang lalu. Saya telah menjadi pelanggan setia pete-pete sejak SD di Bone. Jarak dari rumah saya ke sekolah sekitar 9 km, butuh jasa pete-pete untuk “memanjangkan” kaki saya sampai di sekolah. Masa SMP – SMA. Saya pindah ke Bantaeng, tepatnya di Kelurahan Tanah Loe. Jarak rumah ke sekolah berkisar 14 km. Lagi-lagi butuh jasa pete-pete untuk memudahkan akselerasi saya. Bahkan awal-awal mau kuliah di Makassar pun, saya masih sempat menikmati jasa pete-pete.

Kala itu, Daeng pete-pete berada di puncak kejayaan, kita anak sekolahan kadang kala dicuekin sama daeng pete-pete, gara-gara bayarnya dikit dibandingkan orang dewasa. Daeng pete-pete kadang seenaknya menurunkan saya dan penumpang lainnya di jalan, walaupun belum sampai ke tempat tujuan, karena ingin berbalik arah dengan penumpang yang lebih banyak. Tapi ada suatu hal yang membanggakan bagi saya.

Daeng pete-pete waktu itu sering kali mendapat posisi yang terhormat. Tak jarang banyak Daeng yang mendapatkan bunga desa, karena pada waktu itu, memiliki menantu Daeng Pete-pete adalah sebuah kebangaan. Tapi itu dulu, entah apa gerangan, puncak kejayaan itu perlahan-lahan runtuh dan luntur, daeng pete-pete kadang meringis tidak mendapatkan penumpang.

***

Sekitar 2 km lagi akan sampai di terminal kota. Di depan ada persinggahan. Daeng pete-pete’ mampir sejenak untuk sekadar merokok, sambil berharap ada penumpang yang datang. Waktu itu tiba, ada penumpang yang naik dan langsung duduk di bagian depan, pas di samping Daeng pete-pete, tiba-tiba orang itu nyeletuk. ”Hai, Daeng, namaku Heraclitus, saya tinggal di Bisappu,” ucapnya. Senyum si Daeng tampak merekah, sambil berucap “Iye’ Hera, mau ke terminal jiki’ toh?” Heraclitus merespons dengan hanya menaikkan keningnya.

Sepanjang perjalanan terjadi percakapan yang intens anatara Heraclitus dan Daeng pete-pete.

Daeng: Di mana ki’ di Bissappu, Pak? Jarang-jarang ki’ kulihat, padahal saya sering antar penumpang di sana.

Hera: Baru ka’ memang lagi sekarang di Bisappu, saya dulu lama ka’ di Epheus, Turki, sekitar 2000 tahun yang lalu.”

Daeng: Terlalu tongi becandanya ini Bapak, di mana sedeng dibilang Epheus, di sebelah mananya Makassar? Dari 2000 tahun lalui bede’ di sana, jangan ki’ terlalu kalau bercanda, Pak!

Hera cuma meresponsnya sambil tertawa, dan melanjutkan percakapan.

Hera: Kenapa sedikit sekali penumpang ta’, Pak? Dua orang ji ini di dalam pete-pete.

Daeng: Sepi sekali penumpang sekarang … (ucapnya lirih). Tidak sama mi beberapa tahun yang lalu, susah mi dapat penumpang, ada semua mi motornya orang, ada mi juga ojek online, mobil online, banyak mi macam-macamnya, ndak kutahu kenapa bisa begini sekarang!

Hera: Bagaimana memang waktu jaman jaman dulu, Daeng?

Daeng: Dulu, penumpang di mana-mana, keluar ta’ kasi’ jalan mobil banyak mi penumpang, dulu anak sekolah ndak mau jiki’ ambil i, ka sedikit ji na-bayar, sekarang di tunggu i mi anak sekolah di depan gerbangnya, kayak jadi miki’ sopir pribadinya anak sekolah, ka dia mami bisa diangkut, yang lainnya, ada semua mi motornya masing-masing. (Sambil menghel napas, si Daeng melanjutkan pembicaraan). Dulu, Mama’ na, Mama’nya anak-anak, gadis tercantik di desanya, sekali tunjuk ji mau mi sama saya, saking berkharismanya Daeng Pete-pete  waktu itu.

Hera: Kenapa memang sekarang, Daeng?

Daeng: Sekarang, mustahil mi Daeng Pete-pete dapat bunga desa, mustahil mentong mi. Sekarang serba susah mi Pak Hera, kurang sekali mi penumpang. Dulu, kalau penumpang turun dari pete pete, tidak lupa I bilang “Terima kasih, Daeng”, sekarang tidak ada mi, biar terima kasih susah tong mi didapat.

Sambil tertawa pak Hera, menaikkan kaki pada jok mobil, kali ini dia tampak angkuh sekali.

Hera: Eee Daeng! Kita lihat ji air yang mengalir di bawah jembatan Lamalaka? Hari ini, coba kau lompat di situ, besoknya coba kau lompat lagi, apakah air yang membasahi tubuhmu hari ini sama dengan air yang membasahi mu besok? Begitu tong ji juga dengan kehidupan, lain dulu lain sekarang, lain bolu lain cakalang  (dia berucap sambil tertawa).

Daeng: Nassami tidak iya, Pak Hera, tapi sopan-sopan tong miki’ kalau ngomong ki’  (Si Daeng kelihatan murka).

Walaupun agak jengkel dengan sikap Pak Hera, si Daeng tampak penasaran dengan Pak Hera

Daeng: Bagaimana mi pale saya ini, Pak Hera? harus ka’ demo ke Pak Bupati soal itu ojek online supaya nabuatkan ki’ aturan, ka bagus tongi kalau banyak penumpang bela.

Hera: (Sambil tertawa menepuk kaca jendela mobil). Daeng, hidup itu adalah perang, alias assibakjiang, dan pertentangan itu ada di kehidupan dan sebuah keniscayaan, pertentangan- pertentangan inilah yang membuat segala sesuatu tumbuh dan berguna.

Daeng: (Dengan nada heran si Daeng menatap Pak Hera) Gila alias pongoro’ mi anne Pak Hera, mana ada perang dan pertentangan membuat sesuatu tumbuh dan berguna?!

Hera: (Mata Pak Hera melotot memandang si Daeng) Perang kebaikan dan keburukan itu adalah pertentangan, tapi satu kesatuan. Sebagai contoh, kalau robek jidat ta’, pergi ki’ ke dokter untuk nasembuhkan ki’, caranya dengan nabuat ki’ sakit, najahit dan nabedah kepala ta’, namintaki ki’ lagi uang upah, itu semua nabuat ki’ sakit, tapi ada akhirnya nasembuhkan jiki’. Satu lagi contoh. BPJS, itu mempunyai dua sisi, kebaikan dan keburukan, kebaikannya adalah bisa ki’ berobat pada saat sakit berat maupun ringan, tapi di saat yang sama keburukannya adalah harus ki’ membayar tiap bulan untuk biaya asuransinya! Tapi… satu ji yang ingin kusamapikan Daeng, pertentangan itu hadir untuk memberikan harmoni, jadi santai miki’, dunia ji ini!”

Daeng: Bingung ma juga mau bagaimana Pak Hera, setiap malam berdoa ma sama Dewata e, bagaimana supaya dimudahkan ini hidupku kodong, Tapi… dibalas dengan Tuhan dengan kondisi seperti ini ji…. (berucap dengan nada lirih).

Hera: (Si Hera cuma tertawa ke arah si Daeng, tak nampak sekali ada rasa sedih atau iba mendengar curhatan si Daeng) Ee Daeng, Tuhan menghargai manusia yang bertarung dalam kehidupannya. Bagi kita melihat perang ini adalah sesuatu yang tidak wajar, tapi bagi Tuhan mungkin tidak seperti itu, ini dispensasi atas segala kejadian, dan menghasilkannya sebagai suatu harmoni.

Daeng hanya mengangguk, entah dia bingung atau mengerti.

Hera: Beberapa abad yang lalu, manusia bertarung untuk mengisi perutnya, kebanyakan orang-orang kelaparan, tapi lihatlah manusia modern sekarang, mereka bertarung melawan kegemukan, itu contoh pertentangan! Beberapa tahun silam sebelum dokar, bendi, yang biasa mengantarkan para ibu ke pasar, dengan kehadiran pete-pete, berhasil menggilas dokar-dokar itu, lalu mengapa kau mengeluh dengan apa yang terjadi pada dirimu saat ini? Dulu kamu menggilas  dokar-dokar itu, sekarang kamu digilas dengan ojek online dengan teknologi yang mumpuni itu. Pertentangan itu hal yang lumrah terjadi di bumi ini, Daeng. Apa yang perlu kau ratapi?

Daeng: Iye’, iye’… Jadi, sampai berapa lama mi ojek teknologi itu akan bertahan di puncak singgasana?

Hera: (Tampak serius menjawab pertanyaan si Daeng) Hidup itu mengalir seperti sungai, lihat ojek online itu, dia menjemput pelanggan di mana pun dengan titik presisi yang tinggi, bahkan kalau bisa, menjemputmu tepat di depan kamarmu, orang-orang di Indonesia itu miskin dan malas untuk bergerak, tempo hari ada penelitian yang menyebutkan bahwa orang Indonesia itu sebagai orang yang malas bergerak, dan itu bisa berefek pada metabolisme kesehatan tubuh, mencetak orang-orang gemuk dan penyakitan, saya meprediksi, ke depannya akan mucul pete-pete dengan fasilitas fitness di dalamnya” (setelah berucap dia tertawa).

Daeng: Mau miki sampai di terminal kota ini Pak Hera, kalau bisa ki’ bayar lebih supaya ada pembeli bensinku kodong.

Hera: Sorry mami ini Daeng, tidak ada uangku ini, tapi ada ji ini oleh-oleh mau kukasikan ki (Sambil menarik dua lembar kertas dari tasnya, ia nampak menulis sesuatu). Ini ada jimat, satu lipatan kertas ini untuk kamu, dan satunya lagi untuk istrimu di rumah. Ini mi baca saja terus yakin ka akan nada nanti sesuatu yang besar dalam hidupmu datang.

Setelah memberikan dua pucuk lipatan kertas, Pak Hera beranjak dan meninggalkan pete-pete itu, entah ke mana dia akan melangkah setelahnya.

Sementara Daeng tampak berhati-hati membuka surat itu, dia tampak penasaran sekali tentang isi lembaran kertas itu, maka dibacanya lah “The hidden harmony is better than visible”. Si Daeng tampak bingung.

Daeng: Baca-baca dari mana mi ini, tareka’ dari mana mi ini Pak Hera, kenapa barusannya ada baca-baca susah sekali diucapkan.

Tak lama di Terminal Kota, si Daeng langsung beranjak kerumahnya, ia ingin langsung menemui istrinya dan menceritakan pengalamannya bertemu dengan pak Heraclitus. Amanah berupa sepucuk lembaran kertas, tak lupa diberikan untuk istrinya. Walaupun minim pemasukan hari ini, pertemuannya dengan pak Heraclitus tetap merupakan sebuah berkah baginya. Setelah sampai, sepucuk kertas itu diberikan, dengan penasaran istrinya membuka kertas itu dan membacanya “Immortals are mortals, mortals are immortals, living their death, dying their life”. Setelah membacanya, sang Istri tampak cemberut dan merobek kertas itu sambil berkata, “Tidak butuh ja’ kertas kertas begini, apa lagi baca baca (mantra), mana uang mu sekarang!, mauka’ beli ikan!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *