Sesaat setelah gempa dan tsunami mengguncang Palu dan Donggala, ruang-ruang sosial media kita kembali riuh dipenuhi prasangka dan justifikasi politis mengenai penyebab gempa dan tsunami Palu yang sangat tidak substantif.
Terhitung ada dua topik yang paling menyedot perhatian dunia maya. Yang pertama yakni status seorang wanita yang diketahui merupakan warga palu yang menuliskan status di laman facebooknya “Biar gempa mogoyang palu, eykeer tetap pilih Pa dee”. Topik yang kedua yakni penetapan tersangkanya seorang Sugik Nur atau yang sering disebut Cak Nur atau Gus Nur.
Topik yang pertama tentunya akan sangat debatable bila ditampung pada ruang-ruang linguistik dan keilmuan lainnya. Namun bila dihadapkan pada ruang-ruang politis, maka pemaknaan itu pun akan langsung terpolarisasi pada pemahaman bahwa wanita tersebut tak akan surut dukungannya pada paslon tertentu meskipun bumi diguncang gempa.
Bahkan secara sempit akan ada dua variabel yang menjadi sasaran justifikasi sepihak para netizen kubu tertentu. Yang pertama pada term “Biar gempa mogoyang Palu” yang kedua pada terma “Tetap pilih Pa dee atau pak Dhe”. Pada term pertama, wajar bila terjadi silang pendapat apakah istilah ini merupakan bentuk kiasan keteguhan hati terkait dukungan politik seperti pada lirik lagu Kebyar-kebyar yang juga mengatakan “Biarpun bumi bergoncang kau tetap Indonesiaku” atau apakah memang term ini sebagai bentuk tantangan agar diturunkan gempa olehNya? Term pertama ini sangatlah debatable.
Yang menjadi keheranan adalah ketika term pertama ini dikaitkan dengan sosok pada term kedua yakni “Pak Dhe” yang merupakan salah satu paslon capres dan kemudian dijustifikasi bahwa dukungan pada diri dan rezimnya adalah sumber bencana.
Pada topik yang kedua, penetapan status tersangka pada Sugi Nur yang oleh salah satu organisasi dijadikan sebuah landasan pokok bahwa hal inilah yang dijadikan dasar oleh Allah menurunkan gempa dan tsunaminya di Palu.
Melihat topik yang kedua ini, wajarlah kita cenderung khawatir dengan semakin maraknya politisasi bencana oleh beberapa oknum yang pada hakikatnya telah mengubah esensi dari bencana yang merupakan peringatan Allah kepada manusia yang hikmahnya dikembalikan pada diri pribadi dan masyarakat kita.
Namun itu kini menjadi sebuah alat legtimasi untuk menjustifikasi bahwa kubu tertentu diisi oleh orang-orang suci yang mutlak benar dan kubu yang lainnya diisi oleh orang-orang jahat, mutlak salah dan sumber bencana. Kedua topik diatas telah menggambarkan perilaku politik sebagian oknum yang cenderung semakin beringas dan abai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Yang menambah kemirisan kita adalah kedua topik diatas seolah diamini oleh banyak warganet dan alhasil ruang sosial media kita pun dipenuhi oleh banyak orang yang tiba-tiba menjadi wakil Tuhan untuk mengumumkan kepada segenap umat manusia bahwa karena si Fulan inilah dan si Fulan itulah Tuhan turunkan bencana di bumi ini.
Berlepas dari topik-topik diatas, kita juga patut mengamati bahwa setelah gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu, muncul pula beberapa argumen yang seolah-olah mencari-cari keburukan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh orang-orang Palu.
Isu pesta LGBT hingga festival adat dan budaya yang oleh sebagian pihak disebut sebagai sumber kemusyrikan dianggap menjadi pemicu kemarahan Tuhan kepada warga Palu. Di sini seolah-olah Palu dan warganya didudukkan sebagai subjek sekaligus objek utama penyebab bencana yang terjadi.
Sebagai seorang yang beragama yang betul-betul percaya terhadap hak prerogatif Tuhan dalam menurunkan bencana bagi mereka yang lupa jalan-Nya, kita patut meyakini bahwa memang dosa-dosa dan kemaksiatan kitalah yang turut mengundang bencana, namun apabila kita menjadikan kedua isu tersebut sebagai justifikasi keburukan orang-orang Palu semata, dan mengabaikan keburukan dan kemaksiatan di sekitar daerah kita sendiri.
Nampaknya ada sebuah justifikasi sepihak di situ. Maka kemudian, dalam hal ini saya cenderung lebih memilih untuk berhudznushan (berprasangka baik) bahwa orang-orang Palu adalah orang yang baik dan dekat dengan Tuhan. Ia menurunkan bencananya di Palu sebagai bentuk sampel teguran bagi kita semua di daerah-daerah lain yang cenderung masih aman, namun enggan untuk semakin dekat kepada-Nya.
Tuhan mungkin memilih Palu karena Tuhan tahu mereka adalah orang-orang yang tabah. Maka mungkin kita bisa menganggap bahwa saudara-saudara kita di Palu adalah para martir yang menjadi wakil dalam menanggung dosa-dosa kita semua.
Terakhir, ketimbang menganggap bencana ini sebagai hukuman bagi orang-orang Palu, saya secara pribadi lebih melihat bahwa bencana ini adalah bentuk teguran Tuhan bagi kita semua di Indonesia terkait bagaimana kita menggunakan anugerah ilmu dan pengetahuan yang diberikan Allah untuk kita. Karena penting untuk diketahui bahwa sejak 1927, tercatat bahwa sebenarnya daerah Sulawesi Tengah sudah mengalami 11 kali bencana gempa dan tsunami, bahkan pada 14 Agustus 1938, tsunami setinggi 8-10 meter pernah menerjang Teluk Bambu, Kecamatan Balaesang, Donggala yang menelan 200 korban jiwa yang pada saat itu merupakan jumlah yang sangat besar mengingat masih rendahnya tingkat kepadatan penduduk.
Bahkan pada tahun 2012 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalu Badan Geologi sudah mempublikasikan riset mengenai potensi likuifaksi di daerah Palu yang ajaibnya justeru diabaikan oleh pihak pemerintah yang malah menjadikan daerah-daerah yang terdeteksi sebagai area likuifaksi ini sebagai area pemukiman padat penduduk yang dari sisi investasi memang sangat menggoda.
Maka lagi-lagi, daripada sekedar melihat semua bencana ini sebagai satu tuduhan sepihak saja mengenai dosa-dosa orang-orang Palu, saya lebih cenderung untuk melihat bahwa Tuhan mungkin marah dengan abainya kita terhadap berbagai peringatan yang telah diturunkannya sejak 1927.
Tuhan mungkin kecewa melihat betapa kita menyia-nyiakan anugerah ilmu pengetahuan mengenai lempeng, sesar, patahan, gempa, tsunami dan likuifaksi yang diturunkannya pada kita semua. Kita terkesan hanya membangun unuk kembali menghancurkannya kelak di kemudian hari.
Maka sungguh tidak bijak, bila semua bencana ini hanya selalu berhenti pada sisi teologis saja, sementara Tuhan pun dalam kitab sucinya pertama kali memerintahkan kita untuk iqra, membaca dan menggunakan semua ilmu dan pengetahuan kita untuk berjalan selaras dengan alam.
—
Ilustrasi: http://makassar.tribunnews.com/2015/07/06
Pria kelahiran Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan ini adalah alumnus dari UIN Alauddin Makassar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saat ini salah satu kesibukan utamanya adalah sebagai ASN di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bantaeng. Juga sebagai Direktur Ranu Prima College cabang Bantaeng dan inisiator Ikatan Guru Indonesia ( IGI ).Bantaeng. Dan, bergiat di komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Telah menerbitkan buku Sawah dan Kebun Kurma di Tengah Laut (2019) dan Mengikat Rindu di Ranting Rapuh (2019).