Sejenak memanggul renung selepas malam menggelinding dan hujan menempias di balik pucuk pohon yang tumbuh di halaman. Mozaik hening mengisah ngilu serta setumpuk pertanyaan di kepala dan juga harapan yang timpah-penimpah.
Gemuruh di luar kian menjadi. Arakan hujan menggedor atap rumahku. Namun, mataku tetap lena pada banjaran aksara, hendak mengemasi cerita tentang padi dan sawah di kaki Bukit Sandapang dan sekelompok manusia penggenggam arit, di pedalam Bagian Barat Sulawesi.
Tetapi tiba-tiba aku melenguh, mengingat jiwa-jiwa yang runtuh dihajar banjir, pagi kemarin. Dalam hati kecilku ada doa semoga huja malam ini tak lagi berbuah banjir.
Seketika kutingalkan bukit Sandapang, kuhadirkan kembali seraut wajah di balik reruntuhan tembok dihimpit mobil sedan. Istrinya mencubiti tubuhnya yang ambruk, sambil berteriak memelas iba pada sosok yang lalu lalang. Tetapi, siapa yang peduli, para tentangga juga tengah kelimpungan mencari bantuan sambil memunguti sisah hartanya yang mengapung.
Cukup lama wanita berwajah kelam itu menuntun suaminya agar mengusai diri. Dia seperti hendak mengutuk waktu yang tak kunjung memulihkan kesadaran suaminya. Tetapi hingga para medis datang dan membawa suaminya ke rumah sakit, kesadaran itu tak kunjung tandang.
Esok, ketika matahari rebah di ufuk barat, kabar duka datang. Suaminya telah meregang nyawa di salah satu ruang perawatan rumah sakit di bagian Selatan Sulawesi. Ternyata rumah sakit di pusat pemerintahan bagian Barat Sulawesi, tak mampu menangani lelaki yang datang dari reruntuhan itu. Hanya memasangkan infus lalu merujuknya ke luar kota.
Pemerintah nampaknya kurang serius pada hal-hal elementer berbau kebutuhan manusia. Barangkali perlu membaca filsafat manusia untuk memahami hakikat kebutuhan manusia, atau menelaah psikologi humanistik sekedar memahami lima hirarki kebutuhan manusia ala Abraham Harold Maslow.
Dan di dalam hujan yang lebat, kisah itu mengabil ruang dalam tutur batinku. Pikiranku tertuju pada tiga orang anaknya yang masih sangat kecil, menyaksikan bapaknya yang mangkat seketika.
Betapa tak padu kata pepatah bahwa seseorang yang berani melewati hujan badai akan berpeluang besar menyaksikan indahnya pelangi. Itu tak berlaku bagi ayah dari tiga anak itu. Betapa ia berani melewati hujan badai dan menerobos banjir. Namun, pada akhirnya tak berkesempatan menyaksikan indahnya pelangi -entah di alam lain-.
Dia adalah sosok bernasib nahas dari antara 3.315 jiwa. Drama ini akan terus berulang mengesah haru biru dari mulut-mulut yang memberang. Membaur rintih, lantaran tak mampu membendung nafsu menggagahi alam. Hebatnya lagi, sebab para pejantan alam tak pernah ikut menelan duka.
Mereka baru akan muncul ketika langit memancarkan indah pelangi, biduk yang nyaris karam kembali ke muara dengan gemulai menawan dan para pengguna seragam keki ngaceng, menenteng payung sekedar mengusir sangka untuk tak disebut khianat.
Mereka tak membiarkan noda menggenang bercak biru dan ambigu dan tak bisa membayangkan jika namanya tak menemu jalan pulang, ke kampung nurani khalayak.
Karena itu meraka datang, ngeceng meski berpayung. Hendak memberi ruang lapang pada cakrawala sang korban, menyibak getir walau sekedar omong kosong. Seolah-olah mengatakan -aku ikut merasakan apa yang kalian rasakan, juga sakit atas apa yang kalian derita. Meminjam bait terakhir puisi “Satu” karya Sutardji Calzoum Bachri “yang tertusuk padamu berdarah padaku”. Tetapi sekali lagi, itu hanya omong kosong.
Ketika hari-hari lindap dalam segala sibuk dan hiruk pikuk, semua akan menjadi lupa. Ambisi kembali memainkan peran tanpa peduli akan akibat yang diterakan, juga tidak mau tahu segores luka di hati yang dalam. Baginya, luka bukanlah hal penting untuk dipikirkan sebab telah terjatuh dalam kubang hasrat dan memiliki memori yang pendek, mereka mudah lupa. Seperti yang ditulis Afifah Afra “Aku tersenyum menang, tak ada lagi pembangkangan karena aku sudah punya status, punya identitas, sebuah harga diri. Aku puas”.
Terpenting kemudian, nantinya bisa ngaceng lagi jika musibah menyapu jalan raya. Para penjaga hasrat akan bergerak di atas pick up berisi kardus-kardus mieintan dan popok bayi, juga pakaian bekas yang menahun dalam gudang.
Tetapi, itu lumrah saja sesungguhnya sebab di dalam risalah filosofis yang disebut postmodernisme, hadir pula sesuatu yang disebut masyarakat konsumtif, sebuah ruang identifikasi yang imaginer tentang diri. Tidak sekedar mengakumulasi benda atau barang material, melainkan halusinasi tentang citra diri dan makna simbolik.
Ketika fajar menyingsing di ufuk timur, mesin-mesin bertenaga raksasa kembali menderu menggerayangi sungai, menggagahi pepohonan dan mencungkil bebukitan untuk dipindahkan ke laut. Sebuah penegasan akan kepemilikan dan penguasaan dan saat sakramen pertemuan ombak dan muara membuncah, abrasi dan banjir terjadi lagi. Terus berulang disusul korban-korbannya.
Demikian itulah hasrat, sebuah pergulatan tanpa henti yang menghadirkan eskapisme hingga manusia bermain-main dengan ambisi tanpa batas. Pemuasan hasrat buas atas tubuh, dalam filsafat sosial disebut hedonisme. Namun, sebaiknya para pemerkosa alam melakukan sakramen taubat sebagai pengakuan, agar tak lebih lama bergumul dalam kemunafikan menyembunyikan noda hitam diri.
Kutundukan kepala, kuresapi suara hujan yang menggedor kian keras. Rasa khawatir masih bersarang di dada, membayangkan orang-orang yang lena dan banjir menjemputnya di kamar tidur. (**)
Pustakawan di Lentera Manakkara.