“Naik ke laut. Siapkan perahu. Dayung dan ingatan pasti ‘kan bicara.”
Holaspica (Petikan lagu Naik ke Laut)
Lagu Holaspica yang berjudul Naik ke Laut, diawali dengan deburan ombak. Deburan yang menghantar debar menghadapi laut yang luas dan lepas. Laut yang lepas dari mata orang-orang yang berpaling memunggungi laut, atau dari mereka yang melepas ingatannya tentang biru laut berwarna dalam.
Mengapa orang-orang memunggungi laut? Satu hal yang perlu kita tilik bersama, mengingat kita adalah bangsa maritim. Ada beberapa hal yang barangkali bisa menjelaskan hal itu. Trauma, misalnya. Dalam film Walt Disney, Moana (nama yang dalam bahasa Polynesia berarti laut), kita melihat bagaimana suku Motunui menaruh ‘rasa takut’ berlebih pada laut, sampai pada titik memasukkan kapal-kapal pendahulunya itu ke dalam sebuah gua.
Laut dalam film Moana digambarkan sebagai sosok yang hidup. Ia memanggil, membantu, bahkan digambarkan sebagai penyanyi yang bisa membuat nenek Moana melenggangkan badannya di pinggir laut. Sosok yang bisa diajak berkomunikasi. Ia mendengar dan berbicara dengan suara dan berbentuk ombak. Dua hal yang pada akhirnya menjadi hal yang menakutkan bagi orang-orang yang mengalami kebalikan dari apa yang dicitrakan laut pada film Moana.
Ketakutan-ketakutan dalam film Moana, bisa dibaca sebagai trauma. Untuk melihat dampaknya, dalam artikel yang ditulis oleh Andisa Sabrina (2018) berjudul Dampak Trauma Pada Wanita dan Pria Ternyata Beda (Lebih Parah Mana?):
“Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang dipicu oleh pengalaman traumatis di masa lalu, seperti kecelakaan yang mengancam nyawa atau tindak kekerasan dalam keluarga. Mengalami kejadian traumatis adalah hal yang berat untuk siapa saja… Beberapa gejala PTSD yang paling umum adalah muncul flashback atau kilas balik soal kejadian traumatis yang dialami secara tiba-tiba atau kalau ada pemicu yang sangat mirip dengan traumanya. Selain itu, orang dengan PTSD mungkin kesulitan menjalin relasi dengan orang terdekat, susah tidur, dan terus-terusan merasa bersalah.”[1]
Ada yang lepas. Jangkar ingatan kita pada laut yang indah dan, luas, dalam, dan pengalaman menyenangkan tentang apa saja yang pernah dialami dilaut. Avianti Armand (2017:9) menulis dalam buku Arsitektur yang Lain:
“Mungkin kita perlu jangkar: momen-momen, benda-benda, orang-orang—yang bisa mengikat ingatan lepas dan mengembalikan rumah menjadi sesuatu yang intim. Yang membuat betah dan memberi makna. Mungkin juga cinta.”
Jangkar ingatan kita tentang momen, benda, atau apa saja yang intim dari laut, lepas oleh bencana alam, misalnya. Pengalaman traumatis yang dialami memicu rasa takut yang berkepanjangan. Memang tidak mudah menyembuhkan trauma. Memang tidak mudah menaruh kembali jangkar ingatan kita yang lepas tentang laut. Tetapi dengan keterbukaan, segala sesuatu bisa saja terjadi. Termasuk sembuh dari trauma. Bisa dilakukan dengan cara mengalami ‘laut’ kembali sebagai sesuatu yang diciptakan Tuhan bukan untuk dipunggungi.
Trauma dan perlakuan mungkin berjahitan pada satu garis kondisi yang bertemu pada titik subjek dan objek. Seseorang yang trauma pada laut. Garis itu membentang panjang dengan ketakutan sebagai ujungnya. Sehingga, bertemu laut, adalah mengalami rasa takut, lagi. Sehingga laku yang berujung ke laut bagi orang trauma adalah takut.
Kemudian, ada juga bentuk perlakuan pada laut yang tidak dibentuk karena trauma. Kita kehilangan ‘rasa memiliki’ terhadap sesuatu. Kita menjadikan laut sebagai tempat pembuangan akhir. Belum diketahui pasti, ‘komederenan’ seperti apa yang menjauhkan kita dari laut. Padahal, menurut hipotesis bernama biofilia yang dikemukakan Edward O. Wilson (1984), sesungguhnya kita dari lahir memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk berhubungan dengan alam.
Pada tahun 2017, sepanjang Januari sampai bulan Juni, saya memotret sampah yang ditemukan di Pantai Nabire, untuk melihat kemungkinan pemetaan sampah itu. Ada televisi, sepatu, botol air mineral, tulang hewan, boneka, buah-buahan seperti singkong, jeruk, dan jagung, ada ban mobil truck, mainan anak-anak, juga sampah rumah tangga yang begitu mudah ditemukan. Laut kemudian menjelma tempat pembuangan akhir yang luas dan dalam. Tetapi tidak pernah tenggelam. sampah-sampah itu hanya terombang-ambing di tepi pantai, menumpuk dan semakin banyak.
Untuk perlakuan kedua, barangkali ini butuh kolaborasi yang dapat mengembalikan citra laut menjadi bahari, lagi. Bisa dengan membuat narasi posotif yang menumbuhkan energi positif tentang laut. Atau barangkali dengan cara membuat narasi mitos. Seperti yang nenek moyang kita lakukan, agar kita menjaga laut seperti menjaga diri kita sendiri dari banyak ancaman.
Persoalan trauma, saya pernah mengikuti pelatihan Basic Trauma Healing Skill yang dibawakan oleh Alifah Bachmid, yang diinisiasi oleh Koalisi Solidaritas 14 Gerakan Untuk Sulteng Bangkit, Rabu, 10 Oktober 2018, di Café Baca Ruang Ide. Pelatihan ini dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga relawan yang ikut berpartisipasi dalam proses pemulihan trauma korban gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah.
Dalam penjelasannya, memulihkan orang yang trauma, tidak boleh mengikat energi negatif pada perkataan dan tindakan kita. Untuk itu, Alifah Bachmid menyarankan untuk melakukan terapi trauma healing kepada diri sendiri terlebih dahulu. Menghilangkan energi-energi negatif, sehingga hanya energi positif turut menyertai kita.
Misalnya, dalam proses Set Up pada proses trauma healing—SEFT (Spiritual Emotional Freedom Theraphy), narasi yang dicontohkan:
“Ya Allah meskipun saya merasa… (titik-titik diisi dengan hal-hal negatif), saya ikhlas dan menerima keadaan ini dan saya pasrahkan ‘hilangnya energi negatif tersebut’ dan… (titik-titik diisi dengan hal-hal positif) padamu Ya Allah. (Diulang tiga kali).”
Narasi yang ditawarkan Alifah, adalah tidak mengisi titik-titik dengan elemen negatif lagi. Misalnya, ketika kita menyebut ‘malas’ pada hal negatif kita, kita harus merelakan dan pasrahkan energi positif tersebut menjadi kebalikannya. Misalnya, dari malas menjadi rajin. Bukan dari malas, menjadi tidak malas. Sebab, kata Alifah, menggunakan kata tidak malas masih menggunakan sisi negatif pada hal-hal yang positif.
Alifah kemudian mencontohkan, “Coba kalian tutup mata.” Ketika semua orang menutup matanya, ia menyebut, “Jangan pikirkan gajah. Jangan pikirkan jangan gajah pakai celana.” Tetapi, gambaran gajah tetap saja ada di kepala saya. Saya mencoba memikirkan semut memaki celana, tetapi tidak bisa. Inilah yang Alifah maksud sebagai energi positif untuk pemulihan dengan cara sugesti.
Dalam melakukan terapi trauma healing pun, Alifah menganjurkan untuk tidak mengikat ‘masa lalu’ jika orang yang diterapi belum siap. Misalnya, jika kita datang seminggu atau bisa jadi sebulan setelah bencana, bisa jadi ada orang yang belum siap mengingat masa lalunya soal trauma yang ia alami. Sebab ada energi-energi negatif yang mengikat pada masa lalunya, yang perlu dipulihkan dengan energi-energi positif. Sebenarnya, tidak mengulik masa lalu, kata Alifah, bukan anjuran untuk melakukan terapi. Tetapi, ini menghindari kemungkinan yang lain. Juga menstimulus terapi trauma healing yang kita lakukan dengan cepat.
Tetapi, ada beberapa hal besar yang harus kita lawan bersama. Misalnya paradigma ’bad news is good news’ selalu menggembor lewat narasi negatif tentang sisi buruk sebuah peristiwa. Ini adalah hal yang barangkali dimaksud Alifah dengan sugesti negatif. Mengikat ingatan lepas soal laut, barangkali dengan sugesti-sugesti positif yang tersebar secara massif, trauma healing bisa dilakukan dengan cara yang lain. Misalnya tadi, dengan cara menyebarluaskan narasi-narasi positif.
Seperti penggalan lirik lagu Holaspica dalam Naik ke Laut, “Bila yang baik tak mau bicara, yang buruk tertawa melihat semua. Bila yang baik tak turun ke bawah, siapa buktikan, siapa mendengar?”[]
Catatan kaki:
[1] Andisa Sabrina, https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/perbedaan-dampak-trauma-pada-otak/, diakses pada 15 Oktober 2018, 16.12 WITA.