Yang Tersisa dari Hutan Pinus Bonto Lojong

Sekira empat puluh tahun yang lalu, kala usia masih di sekolah dasar, pikiran saya diselimuti beragam tanya. Membatinkan hal-hal yang penuh misteri terhadap gunung, yang hanya saya sanggup pandang dari kejauhan. Maklum, saya lahir dan tumbuh memangsa usia di kota, sementara yang saya pandangi amat jauh ke pelosok desa, pada ketinggian pegunungan. Saya menghabiskan masa kecil hingga remaja, bahkan sampai separuh abad usia, di kota Bantaeng dan Makassar. Saya bukan seorang lelaki pemanjat gunung, melainkan lelaki yang diterungku oleh silapan kota.

Salah satu misteri masa kecil hingga remaja, gunung yang bisa terlihat dari kota, amat hijau cenderung kehitaman. Imaji saya berkata, lebat nian pasti hutan itu. Dari cerita dan bahan bacaan kanak-kanal, sering menggambarkan gunung dengan hutan secara misterius. Salah satu misteri, sekaligus yang bikin takjub saya, tatkala musim hujan tiba. Bila saya memandang ke gunung, terkadang muncul beberapa “tongkat putih” yang berdiri di lebatnya gunung. Mirip angka satu yang tertulis berjejer, pakai kapur tulis di papan tulis berwarna hitam.

Satu-satunya pengetahuan kami, baik sebagai anak-anak, maupun orang dewasa, jumlah tongkat putih itu, sangat menentukan aktivitas kami di kota, khususnya yang bermukin dekat sungai. Jika jumlah tongkat mencapai angka di atas tiga, maka kewaspadaan meningkat. Jumlah tongkat itu, menjadi kode, apakah kami boleh berlama-lama di sungai, mandi-mandi, atau tidak sama sekali. Sebab, jumlah tongkat itu, menentukan derasnya air di sungai. Tinggi dan derasnya air yang meluap dari sungai, itulah yang menjadi banjir. Singkatnya, kalau saja kami di kota mau dibanjiri air, maka ada kode dari gunung, berupa jumlah tongkat, yang mudah kami hitung.

Belakangan barulah saya tahu, bahwa tongkat putih itu adalah air terjun yang tercipta secara alamiah, setelah hujan deras yang menggempur daerah pegunungan. Butiran air hujan itu, dijinakkan oleh pepohonan yang lebat, sehingga nanti beberapa waktu kemudian, air itu dialirkan secara alamiah di bahu-bahu gunung.

Usia saya makin bertambah. Masa remaja mulai menyata, seiring dengan makin menyatanya petak-petak kecoklatan di pegunungan. Makin lama, makin luas petak-petak itu. Nyaris kompak dengan makin coklatnya penampakan kepala saya, yang mulai kehilangan rambut. Dan, setelah usia saya sudah melampaui setengah abad, kepala saya makin botak, bahkan sudah saya plontos, kompak dengan semakin coklatnya pemandangan di gunung. Jangankan melihat  jejeran tongkat putih, hijaunya hutan pun makin menjadi pemandangan yang garib.

Tanggal 27-28 Oktober 2018, saya berada di salah satu bagian pegunungan dan hutan yang saya hanya bisa pandangi dulu. Tepatnya di Hutan Pinus Rombeng, Desa Bonto Lojong, Kecamatan Ulu Ere, Kabupaten Bantaeng. Apa pasal sehingga mengada di sini? Saya mengikuti acara Kemah Buku Kebangsaan (KBK) Ke-2. Penyelenggara acara ini, diinisiasi oleh komunitas pecinta alam dan komunitas literasi yang ada di Ulu Ere. Pegiat lingkungan dan literasi yang tergabung dalam Serambi Baca Tau Macca Loka dan Lanying, serta Taruna Baca Sipakalabbri. Setidaknya, saya harus menyebut tiga nama, tanpa mengabaikan lainnya, yakni : Abi Pasker, Jamal Mapia, dan Ahmad Ismail. Tiga orang ini, merupakan trio pegiat tangguh mengawal perhelatan.

Ada beberapa item acara yang ditawarkan oleh KBK ini. Talk show literasi dan lingkungan, pertunjukan seni, pembacaan karya sastra, cara  daur ulang sampah, edukasi  kopi, outbon, lapak baca, dan sederet lagi acara. Para pegiat literasi, pecinta alam, pelajar-mahasiswa, dan masyarakat umum, yang jumlahnya sekira seribu orang, hadir di perhelatan ini, yang  dibuka oleh Bupati Bantaeng, Ilham Azikin, sekaligus menjadi keynote  speaker. Sesarinya, perkemahan ini diadakan sebagai cara memperingati Sumpah Pemuda.

Sepanjang perjalanan, menuju lokasi, begitu memasuki wilayah ketinggian, yang berarti saya sudah berada pada apa yang saya pandangi secara misterius pada masa kecil dulu. Lahan-lahan pertanian, para petani yang menanam kol, kentang, bawang , wortel, yang menggantikan pohon-pohon besar, inilah menjadi kunci utama jawaban buat saya, akan hilangnya pemandangan hijau kehitaman dan raibnya tongkat putih itu di masa lampau. Petak-petak warna coklat, saya pandangi dari kota, sesarinya adalah kebun-kebun yang terbentuk, seteleh pohon-pohon hilang.

Begitu saya tiba di lokasi, pada hutan pinus tempat berkemah, segera saja saya diliputi oleh debu-debu yang beterbangan. Seolah salam sambut, ajang perkenalan. Sepertinya, hutan ini menyapa saya dengan kegetiran yang mendalam. Saya pandangi pohon-pohon pinus yang batangnya hitam. Ada yang masih gagah berdiri dengan daun yang tak begitu rimbun. Ada pula yang sudah rebah, dengan pangkal batang yang hangus karena terbakar.

Bayangan saya berkemah di hutan hijau nan lebat, dengan segala misterinya, sirna sudah. Bayangan saya raib bersama dengan debu yang beterbangan. Makin lama di lokasi, kami makin mengidap penyakit yang sama. Menurut Jamal Mapia, yang merupakan salah seorang pembina acara ini, penyakit bernama garring le’leng. Penyakit hitam. Maksudnya? Makin lama kami di lokasi, kaki-kaki kami makin menjadi hitam. Wajah-wajah kami pun ikut menghitam. Kulit kami yang kinclong, berubah menjadi hitam.

Ini mungkin salah satu misteri paling kiwari dari hutan ini. Maklum saja, ingatan saya pada masa kecil, masih selalu ikut dalam pergumulan di hutan ini. Rupanya saya keliru. Penyakit yang dimaksud adalah, karena hutan ini habis terbakar, atau dibakar, dan nyaris menjadi langganan kebakaran setiap tahunnya, menyisakan padatan debu hitam, abu sisa-sisa kebakaran. Itulah yang berhamburan, menempel ke seluruh tubuh kami, yang tidak tertutupi oleh kostum. Kaki, lengan, dan wajah yang paling mudah menghitam.

Nah, lahan hutan yang habis terbabakar ini, akan segera digarap oleh masyarakat, dan menjadikannya kebun. Berarti, hijau daun pepohonan akan berubah menjadi tanah kecokatan. Dan, hutan yang ditempati berkemah ini, mungkin sisa inilah lokasi yang masih bisa dicegah agar masyarakat tidak menggarapnya, buat dijadikan lahan perkebunan.

Pertimbangan mendasar inilah, yang sesungguhnya menjadi lapik utama dari pegiat literasi dan lingkungan di Ulu Ere, mengadakan KBK ini. Selama acara perkemahan ini berlangsung, saya banyak menyerap informasi, baik dari penyelenggara, maupun masyarakat, tentang mengapa hutan ini menjadi langganan kebakaran. Banyak soal yang bisa ditudingkan, mengapa hutan ini terbakar atau dibakar. Namun satu tujuan, jika saja lahan  ini sudah kehilangan pepohonan pinusnya, maka dengan mudah akan dijadikan lahan. Berarti petak coklat akan bertambah lagi. Saya pun, tak lupa meraba kepala, yang hanya menyisakan sedikit rambut. Pohon pinus di hutan ini, persis seperti rambut di kepala saya. Makin hari makin hilang. Dan, panas di gunung, akan sama panasnya dengan kepala saya.

Membatinlah saya di penghujung acara. Terutama, ketika penyelenggara menutup acara ini. Ketiga orang tersebut, Abi, Jamal, dan Ahmad, tak kuasa menahan air matanya. Tak sanggup membendung butiran bening air melompat keluar dari matanya. Suara mereka serak. Campur aduk perasaan mereka. Sedih, haru, dan bahagia, sebab acara ini sudah terselenggara dengan baik. Sukses, melebihi espektasi penyelenggara.

Hingga tulisan ini saya bikin, saya pun masih membatin. Betapa berat apa yang menjadi tanggung jawab mereka pada lingkungannya. Sekumpulan kaum muda yang bergiat menjaga raga dan jiwa negerinya. Mereka dan kami yang ikut selaku peserta, harus mengulang kembali sumpah pemuda yang pernah diucapkan oleh para pendahulu. Dan, pengulangan sumpah itu, betul-betul menandai akhir perkemahan ini.

Pun, saya masih membatin, sekaligus mengajukan dua jempol buat mereka, kaum muda Ulu Ere, atas rekayasa sosial yang digelar untuk negerinya. Menghelat acara literasi paling mutakhir, menggandeng komunitas lain untuk bersinergi dan berkolaborasi. Inilah wujud nyata dari literasi lingkungan. Gerakan lirerasi dihadirkan sebagai upaya menghidupkan jiwa negeri. Gerakan cinta lingkungan diadakan sebagai cara merawat raga negeri. Literasi lingkungan, itulah jalan terbaik buat menyahuti yang tersisa dari Hutan Pinus Rombeng, Bonto Lojong.

One thought on “Yang Tersisa dari Hutan Pinus Bonto Lojong”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *