Demokrasi dan Korupsi

Patut kita syukuri karena demokrasi kini berkembang begitu pesat di negara kita, terutama di tingkatan massa rakyat. Sebagai bukti, kini setiap orang begitu bebasnya dapat :  memilih calon pemimpin tanpa adanya tekanan; menyampaikan kritik terhadap penguasa yang dinilai menyimpang, baik secara lisan (demonstrasi) maupun tulisan; membentuk maupun bergabung dalam suatu organisasi politik (partai politik).

Namun hal yang disayangkan, di tengah proses demokratisasi, praktik korupsi dalam tubuh lembaga-lembaga demokrasi (eksekutif, legislatif dan yudikatif) masih berkembang seolah-seolah tak ada habisnya. Menurut data, kini sebanyak 361 kasus korupsi melibatkan Kepala Daerah, 2545 anggota DPRD Provinsi, 431 anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terjerat kasus korupsi (Metro TV).

Pada dasarnya, korupsi dapat saja terjadi dalam sistem politik (pemerintahan) apa pun, baik dalam sistem politik otoriter-totaliter, absolut, otokrasi, oligarki, teokrasi, monarki, bahkan dalam sistem politik demokrasi. Namun setidaknya dalam sistem politik demokrasi, praktik korupsi dapat diminimalisasi. Beberapa dalilnya :

Pertama, demokrasi meniscayakan adanya partisipasi publik (keterlibatan massa rakyat) secara meluas, baik dalam hal pembuatan keputusan politik maupun dalam mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak terjebak dalam kubangan korupsi. Hal ini sejalan dengan doktrin utama demokrasi : pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Kedua, demokrasi di mana pun dan bagaimana pun model dan bentuknya, baik demokrasi liberal, demokrasi sosialisme, demokrasi langsung maupun demokrasi tak langsung (perwakilan) selalu menjamin adanya hak untuk protes. Dengan hak protes inilah, maka setiap warga negara baik secara perseorangan maupun secara kelompok, terorganisir maupun tidak terorganisir dapat melancarkan protes terhadap seluruh lembaga-lembaga kekuasaan negara jika diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seperti korupsi.

Ketiga, demokrasi di negara mana pun di dunia ini, selalu dicirikan dengan adanya kebebasan/kemerdekaan pers. Bahkan secara sederhana kita dapat mengukur demokratis tidaknya suatu negara dari adanya kebebasan pers. Jika suatu negara memasung kebebasan pers berarti negara tersebutlah bukanlah negara demokrasi, sebaliknya jika suatu negara semakin memberi ruang sebesar-besarnya kepada pers, berarti negara tersebut adalah negara demokrasi. Kaitannya dengan tulisan ini, melalui kebebasan perslah kebusukan pejabat negara (korupsi) dapat diketahui oleh massa rakyat.

Bahkan lebih dari itu, pers telah terbukti (di berbagai negara dan di negara kita sendiri) menjadi salah satu kekuatan demokrasi rakyat yang mampu merobohkan kekuasaan politik yang despotis dan korup.

Mengenai pers kita, dalam UU No. 40 Tahun 1999 telah dijabarkan bahwa salah satu fungsi pers adalah sebagai alat kontrol sosial (pasal 3 ayat 1), selain itu pers juga berperan dalam menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi (pasal 6 poin b), melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (pasal 6 poin d).

Keempat, demokrasi mensyaratkan adanya jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk berserikat atau berorganisasi. Konsekuensi atas jaminan hak-kebebasan ini jelas akan berdampak positif bagi pertumbuhan demokrasi dengan lahirnya berbagai organisasi kekuatan-kekuatan sosial politik rakyat di luar jaring organisasi politik negara, seperti organisasi gerakan buruh, organisasi gerakan petani, nelayan, akademisi, mahasiswa, LSM, organisasi gerakan perempuan, dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Ignas Kleden (2015) malah pernah menegaskan bahwa kekuatan-kekuatan sosial politik tersebutlah yang banyak memproduksi (nilai-nilai) demokrasi, ketimbang partai politik (elit politik) yang hanya menjadi konsumen utama demokrasi.

Di sini, barangkali kita akan sepakat bahwa kekuatan sosial politik rakyat tersebutlah yang selama ini banyak berteriak dan menyuarakan pentingnya penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari korupsi.

Kelima, demokrasi mensyaratkan adanya keterbukaan informasi. Dengan syarat inilah, maka segala hal yang berurusan dengan hajat hidup orang banyak dapat dengan mudah diakses dan diketahui massa rakyat. Dengan syarat keterbukaan informasi pulalah praktik korupsi dapat dicegah.

Uraian di atas memang tidak mutlak dalam jangka pendek dapat menjamin korupsi diminimalisir. Tapi dengan menjaga dan merawat suasana kehidupan yang demokratis, seperti dialog antar warga dan pemangku kebijakan, partisipasi publik dalam mengawasi jalannya kekuasaan negara, menjamin dan melindungi kebebasan sipil dalam melakukan protes, melindungi kemerdekaan pers, menjamin kebebasan berserikat/berkumpul/berorganisasi dan menjunjung prinsip keterbukaan informasi, kesemuanya itu lambat laun akan mempengaruhi terbentuknya penyelenggaraan pemerintahan-negara yang bersih dari korupsi.

Selain itu, korupsi yang saat ini masih merasuk dalam tubuh sebagian anak bangsa dan tubuh lembaga-lembaga kekuasaan harus dipahami sebagai dampak atas ‘matinya’ suasana kehidupan demokrasi di masa lalu (Orde Lama dan Orde Baru), sehingga begitu suasana demokrasi hidup kembali yang ditandai dengan normalnya kinerja lembaga penegak hukum (misal KPK) dan aktor-aktor demokrasi/kekuatan-kekuatan sosial politik rakyat, kasus korupsi pun menyeruak ke permukaan, di sana-sini muncul bak jamur di musim hujan.

Sekarang yang perlu kita lakukan, di samping terus mendukung KPK, adalah merawat suasana kehidupan demokrasi yang tengah berkembang saat ini. Merawat partisipasi publik, merawat budaya protes massa rakyat, LSM, mahasiswa, akademisi, ormas dan elemen civil society lainnya jika terjadi korupsi, termasuk merawat peran dan ketajaman pers kita dalam memberitakan kasus korupsi. Dengan cara itulah, kita bisa optimis praktik korupsi di negeri ini bisa diminimalisasi, yakin saja. [/]

Tulisan ini pernah  terbit di Harian Fajar rubrik Opini edisi Rabu, 14 September 2016. Demi kepentingan pendidikan tulisan ini ditayangkan kembali dengan izin penulis


sumber gambar: PantauRiau.com

 

2 thoughts on “Demokrasi dan Korupsi”

  1. seyogyanya demokrasi menjadi jembatan memasyarakatkan kemaslahatan. Tulisannya menarik dan kontekstual.
    Kami menunggu tulisan berikutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *