Filsafat Kebahagiaan Platon

Sejak dahulu, pembahasan mengenai pertentangan internal dalam diri manusia antara hasrat (nafsu) dan akal budi telah menjadi tema penting dalam ajaran kearifan dan agama-agama kuno. Sanatana Dharma dalam ajaran Hindu mengajarkan memperoleh kebijaksanaan abadi dengan mengendalikan nafsu yang kerap menghambat jalan dharma. Ajaran Buddhis lebih ekstrem dengan menegaskan bahwa sumber penderitaan adalah hasrat, dan untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan membebaskan jiwa dari penjara hasrat melalui 8 jalan. Ajaran kearifan Timur tersebut mengingatkan akan bahayanya nafsu bagi pencapaian kebahagiaan sejati manusia.

Tak lama berselang, masih lebih kurang 24 abad silam, dari bumi Athena seorang pemikir besar bernama Platon berpendapat bahwa setiap manusia memiliki ragam keinginan dan hasrat yang saling berkonflik satu sama lain, serta bahwa manusia harus mengatur semua hasrat yang bergejolak di dalam dirinya tersebut. Meski pandangan tentang hal ini telah didapati dalam rekam jejak ajaran  peradaban-peradaban kuno Mesopotamia maupun Hindu kuno, namun Platon adalah orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan ini dan berusaha menjawabnya secara sistematis.

Platon membahas soal kebahagiaan manusia dengan memulainya dengan membahas tentang jiwa. Menurut Platon, jiwa manusia memiliki tiga bagian, yakni bagian akal budi, semangat, dan nafsu-nafsu rendah, dan ketiga bagian ini saling berlomba untuk mengatur keseluruhanmanusia. Jika bagian akal budi menang, maka ia akan menjadi manusia yang rasional, jika bagian semangat yang menang, maka ia akan menjadi orang yang berani, dan jika bagian nafsu-nafsu rendah yang menang, maka ia akan menjadi orang yang diperbudak  nafsu-nafsu rendahnya, seperti nafsu seks berlebihan, nafsu makan, dan nafsu kekuasaan.

Kebahagiaan adalah soal mengatur hasrat dan keinginan yang beragam di dalam diri manusia, sehingga semuanya bisa terarah pada satu tujuan yang bisa membuatnya bahagia. Tentang ini Aristoteles pernah berkata, bahwa lepas dari keberagaman kriteria dan isi dari apa yang membuat orang bahagia, ada satu hal yang sama, yakni bahwa kebahagiaan mencakup aktivitas jiwa manusia yang didasarkan pada keutamaan.

Jadi lepas dari segala perbedaannya, kebahagiaan itu selalu terkait dengan sifat dan sikap hidup yang baik, yang disebutnya sebagai keutamaan. Keutamaan itu adalah sikap rendah hati, jujur, toleran, dan sikap-sikap baik lainnya. Orang yang bisa hidup dengan berdasarkan keutamaan pasti akan berpeluang besar untuk meraih kebahagiaan.

Kembali kepada Platon, Kebahagiaan pada hakekatnya adalah upaya manusia untuk menata beragam hasrat, dorongan, dan keinginan yang beragam di dalam dirinya, sehingga ia bisa mencapai kondisi harmonis, serta mulai mengarahkan hidupnya untuk mencapai tujuan yang bermakna bagi dirinya. Inilah inti pandangan Platon tentang kebahagiaan. Orang yang mencapai kebahagiaan adalah orang yang telah berhasil mencapai harmoni antara tegangan antara jiwa luhur dan hasrat-hasratnya. Ia tidak membiarkan keinginannya tumpang tindih, selalu tertata, kuat secara pribadi, dan dalam semuanya itu ia menjadi orang yang utuh serta bersahaja.

Platon menyebut sebuah istilah ‘rumah penjara’ (prison house), yakni suatu kondisi di mana diri (self) manusia dipenuhi oleh hasrat dan keinginan tidak teratur, seperti kerakusan, kesombongan, dengki, dan iri hati. Kondisi ini akan bermuara pada terciptanya keadaan tirani ketidakbahagiaan (tyranny of unhappiness). Jika sudah seperti itu, kebahagiaan akan semakin jauh dari genggaman tangan. Hal ini terjadi karena akal budi belum menjadi tuan atas diri manusia.

Akal budi masih dipengaruhi dari nafsu dan hasrat sesaat untuk meraih kenikmatan. Artinya, akal budi belum menjalankan fungsi normalnya, yakni sebagai penata berbagai hasrat dan keinginan yang bergejolak di dalam diri manusia. Akal budi belum menjadi sumber harmoni kehidupan. Kegagalan akal budi untuk menjadi tuan atas diri manusia ini disebut juga sebagai irasionalitas. Maka searah dengan pendapat Platon, kita tidak dapat memahami kebahagiaan, selain sebagai harmoni antara berbagai hasrat dan keinginan di dalam diri manusia.

Kesimpulannya, kebahagiaan bukanlah soal memenuhi semua keinginan yang sifatnya materil. Dan jika orang malas berpikir,serta memilih untuk hidup menuruti kemauan sesaatnya saja, kebahagiaan justru jauh dari genggaman tangan. Platon pernah berpendapat bahwa individu yang baik adalah individu yang hidup dalam harmoni, baik di dalam dirinya maupun dalam dunia sosialnya. Individu tersebut utuh dalam arti bagian-bagian kepribadiannya berfungsi secara normal dan membentuk kesatuan jati diri yang jelas. Tanpa kesatuan itu orang akan terpecah kepribadiannya dan tak akan pernah meraih kebahagiaan dalam hidupnya.

Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhiratihasanah wa kinna azabannar.

Tuhanku berikan kami kebahagiaan di dunia dankebahagiaan di akherat dan bebaskan kami dari siksa api neraka.

  • Setahun lagi kita memasuki pemilihan umum, setiap perangkat dari penyelenggara hingga pengawas tengah sibuk bersiap menghadapi kontestasi besar tersebut. Pesta demokrasi yang lama dinantikan dari jajaran elit hingga akar rumput ini, secara sadar atau tidak sedang berlangsung di sekitar kita, masih dengan gerakan yang senyap namun terstruktur. Salah satunya adalah melakukan soft campaign secara massif…

  • “Persamaan banjir dan marah,meluap kemana-mana. Apalagi jika bersatu: banjir marah, maka sempurnalah derita.” ( Maksim Daeng Litere, 160620) Warga Kota Makassar cemas berjemaah. Air diperkirakan akan menggenangi kota hingga dua meter. Makassar siaga satu. Potongan video Wali Kota Makassar, Dani Pomanto, beredar mengimbau warga kota agar waspada. Kala mengimbau, ia sendiri berada di lokasi ketinggian…

  • Bagi pelajar dan mahasiswa, membaca adalah syariat akademik ‒harus ditunaikan. Pun dalam Islam perintah membaca menyasar semua kalangan (laki-perempuan, tua-muda, miskin-kaya, pelajar-non pelajar). Entah itu membaca dalam arti tekstual (membaca buku, koran, majalah, dll) atau kontekstual (membaca alam, lingkungan, kondisi, atau pola chat si gebetan, apakah ia punya rasa atawa cuma gabut saja), sebagaimana wahyu pertama yang…

  • Tak sedikit kisanak dan nyisanak menohokkan tanya, kala saya mengada di persamuhan literasi, bagaimana proses kreatif menulis buku? Biasanya, saya ajukan respon, empat buku saya tidak pernah direncanakan mewujud buku. Pasalnya, sekotah buku lahir, karena akumulasi dari kumpulan tulisan. Berkat rajin menabung tulisan di celengan minda. Segenap minda, saya ikat lewat tulisan, lalu saya tabung…

  • “Death is the worst. When you close your eyes on this world, this beauty, the wonders of nature, it means you’ll never be coming back” Kali ini The Wind Will Carry Us (1999) lebih memberikan ”ruang”  yang besar kepada perempuan, dan lebih banyak mengedepankan peluang pembacaan yang lebih feministik jika dibandingkan dengan Taste Of Cherry…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221