Anak itu hadir bersama tanda waktu yang sedang resah di Mamuju. Tanah Manurung dirundung murung oleh tiupan musim yang bonsai. Di ambang gelap ia menjadi kisah.
***
Ia meniti tanggul yang memanjang seratus meter di depan rumah adat. Tanggul yang tak pernah sepi di senja hari, oleh muda mudi. Ada yang menggandeng pacar, ada pula yang merenungi sapaan angin dan ombak yang tak henti menampar tepi tanggul.
Pada sudut lain, gadis belia tertunduk tanpa ekspresi menatap kosong ke Pulau Karampuang yang beku, jauh dilepasan pantai Manakarra. Mungkin sedang patah hati. Ada juga yang sibuk bersolek, bergaya bak model tabloid dewasa Korea dan seorang karibnya bersiap merapatkan mata ke camera DSLR.
Senja itu, gerimis turun mengabarkan dingin. Namun, tak membendung hasrat binal pasangan muda untuk mencumbui deru ombak yang meringkuk dan tak putus menagih pantai yang dirampas tanggul. Tanggul yang memisahkan laut dan istana kerajaan Mamuju, zaman dulu (katanya).
Seorang anak melintas menjinjing box plastik, di tanganya terayun pula botol bekas air mineral berisi cairan orange. Namanya, Andri, jelas dia tidak sedang cuci mata. Juga tidak sedang berpacaran. Dia baru berusia 12 tahun. Lagi pula dia datang seorang diri menenteng keranjang plastik berisi pastel dan botol bekas air mineral berisi cairan warna.
Kehadiran Andri di senja hari, menjadi epik yang mewedarkan air mata. Tatkala ia berkisah tentang keluarganya yang menanti di gubuk jalan Pengayoman Mamuju dan hari-harinya yang terus berjalan mengelilingi kota, dari pagi hingga petang, bahkan tanpa alas kaki melawan deru panas aspal.
Pastel yang dijajakan itu juga bukan miliknya. Itu milik orang lain, Andri hanya diberi upah. Seratus potong pastel terjual habis, Andi kebagian Rp 20 ribu. Tapi kalau tidak, kisaran upahnya juga turun.
Ayahnya seorang penggayuh becak dan sudah mangkat ketika Andri menginjak usia sembilan tahun. Dialah yang mengambil peran ayahnya, menghidupi ibu dan dua orang adiknya.
Senja itu ia mengisahkan jika upahnya menjual pastel tandas pada beras seliter dan tempe atau tahu, sepulang ke rumah.
“Saya mau nabung supaya bisa sekolahkan adek,” kata Andri.
Tetapi, lanjut dia, apa yang mau ditabung. Untuk makan sehari-hari saja susah.
“Apakah Andri tidak sekolah,” tanya Saya.
“Sudah berhenti. Waktu ayah masih hidup, saya sekolah. Naik kelas dua SD, ayah meninggal karena kecelakaan ditabrak lari. Ibu tidak punya kerjaan, jadi saya berhenti dan menjadi penjual pastel,” jawab Andri.
Saya tak tahu cara seketika menolong Andri, apa yang datang menyapa dalam hidupnya adalah kilasan perjuangan yang melampaui batas-batas rigiditas konstruksi kuasa yang dipancangkan dalam pidato para pejabat, meski pada kenyataannya Andri, tetap meranggas dalam cobaan hidup yang keras.
Bukankah seharusnya anak seusia Andri sibuk dengan aktivitas belajar dan bersekolah?
Tetapi di tanggul yang berjarak puluhan meter dari gedung DPRD Mamuju ini, semua jadi lain. Bangunan hotel berbintang yang nampak megah, sangat kontras dengan kehidupannya. Dia hanya terus berjalan tanpa alas kaki, menyusuri selasar rumah adat hingga ke jalan raya, menawarkan pastel pada orang-orang yang dijumpainya, meski terkadang menuai bentak dan usir tanpa belas kasih.
Kisah Andri bisa menjadi renungan, bahwa bukan sesuatu anyar sesungguhnya ketika seorang anak kecil hadir menjadi tamsil mewartakan pesan moral dan ketidakadilan di sekeliling kita.
Andri adalah episode yang nyata tergurat pada jalur pendusta keadilan yang mulai lupa jalan pulang ke kampung akhirat.
***
Pada lekukan gedung yang angkuh dan lalu-lalang manusia, mata Andri tetap jatuh pada satu titik menangkap kerlip waktu pada keranjang plastik dan pada wajah awan yang goyah dalam pantulan ketimpangan.
Seketika saya sadari, Andri telah menjadi pejuang literasi, menulis tanpa aksara, “kami ada, kami juga manusia yang sedang menanti keadilan”.
Hingga bertahun setelah pertemuan itu, Andri masih sering melintas di tepi jalan raya menjinjing keranjang plastik berisi pastel
—
sumber gambar: antaranews.com
Pustakawan di Lentera Manakkara.