Ali Syariati: Sang Raushan-fikr

Apa yang harus dilakukan ? Darimana kita mesti mulai ? Dua pertanyaan kunci ini, selalu saja menjadi alas pijak bagi saya, tatkala terlibat dalam setiap perbalahan. Perkakas pikir tersebut, saya dapatkan dari seorang intelektual tercerahkan, Ali Syariati.

Tetiba saja, saya terkenang pada sosok ini. Apatah lagi, hingga kini, posternya masih bertengger gagah di dinding ruang baca saya. Dan, ketika tulisan ini saya bikin, jika saja Syariati masih hidup, maka usianya tepat 85 tahun.

Adalah Mazinan, sebuah desa di pinggiran Masyad, di timur laut Khurasan, Iran, yang menjadi saksi tanah tumpah darah pertama dari seorang Ali Syariati. Tepatnya, pada tanggal 24 november 1933, Ali Syariati di lahirkan, dari pasangan Sayyid Muhammad Taqi’ Syariati dan Zahra. Syariati adalah putra sulung dari kedua pasangan keluarga tersebut.

Latar belakang keluarganya cukup disegani di desa tersebut, sebagai seorang tokoh spiritual. Sebenarnya, nama asli Syariati adalah Muhammad Ali Mazinanin, tetapi ia mengubahnya ketika akan meninggalkan Iran menuju London, pada tanggal 16 mei 1977, guna mengelabui petugas keamanan.

Masa kecil dan remaja Syariati dijalani di desa tersebut bersama dengan sang ayah. Dan bagi Syariati, guru pertamanya, yang sekaligus sangat mempengaruhinya adalah ayahnya sendiri.

Setelah masa-masa remaja dilalui, pada tahun 1950-an, Syariati menjadi Mahasiswa di Primary Teascher’s Training College sambil mengajar. Lalu mulai belajar di Universitas Masyhad. Dan tahun itu juga Syariati menikah. Nanti pada 1958, Syariati meraih gelar BA dalam bahasa Arab dan Perancis, yang kemudian tahun selanjutnya 1959 lulus ke Sarbone University di Perancis.

Di Sarbone inilah Syariati mendalami kajian sastra dan sosiologi, dan bertemu serta menelaah karya-karya seperti; Henry Bergson, Jack Berque, Albert Camus, A.H.D. Chandell, Franz Fanon, George Gurwitsch, Louis Massignon, Jean Paul Sartre, dan Jacques Schwartz.

Pada tahun 1963, Syariati menyelesaikan program doktornya di Sarbone, dengan desertasi yang membincang komentar kritis naskah Persia abad pertengahan Fadha’il Al-Balkh (“Les Merites de Balkh”). Setelah itu, Syariati pun kembali ke Iran, bersama isteri dan kedua anaknya guna mengabdi pada negaranya, rakyatnya dan agamanya, Islam.

Namun di luar dugaan, begitu Syariati tiba di Bazargan –perbatasan Iran dan Turki – ia ditahan di hadapan isteri dan anak-anaknya dan langsung dipenjarakan. Selama pengasingan di penjara, Syariati tidak diperbolehkan bertemu dengan isteri dan anak-anaknya, termasuk ayahandanya, sang guru pertamanya sekalipun.

***

 Pijakan terpenting dari pemikiran syariati adalah terletak pada cara memahami Islam. Bagi Syariati, persoalan cara atau metode menjadi sangat menentukan, karena dengan menggunakan cara atau metode kita dapat memahami Islam secara komprehensif.

Salah satu cara atau metode memahami Islam adalah dengan cara melakukan perbandingan. Bagaimana mengenal Allah, dan membandingkannnya dengan sesembahan agama-agama lain. Mempelajari Al-Quran dan membandingkannya dengan kita-kitab lainnya. Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkan beliau dengan tokoh-tokoh besar yang pernah hidup dalam sejarah. Dan terakhir, mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dengan membandingkan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.

Bertolak dari asumsi itulah, saya coba menelusuri pemikiran-pemikiran Syariati dalam pelbagi tema, seperti: agama, filsafat, etika, sosiologi, sejarah, sastra, dan biografi. Sehingga, dalam berbagai karya Syariati, saya bersua pandangannya, bagaimana karakter Tuhannya Musa dan Isa di perbandingkan, maupun konsep-konsep Tuhan lain, dengan Tuhannya Muhammad.

Demikian juga halnya dengan pemikiran-pemikiran filsafat atau aliran-aliran pemikiran. Bagaimana Humanisme, Marxisme, Eksistensialisme diperbandingkan dengan Islam sebagai mahzab pemikiran.

Dalam hal agama pun diperbandingkannya, bahkan secara internal agama Islam, maupun dalam mahzab Islam Syiah yang dianutnya, termasuk ritus-ritus keagamaan yang Syariati anggap keliru. Dan, selanjutnya bagaimana Syariati menulis tentang sosok semisal: Nabi Muhammad dan Imam Ali, Fatimah Azzahra, Imam Husain dan Abu Dzar Al-Giffari, yang tentu masih dalam kerangka perbandingan pemikiran dalam sejarah.

***

 Ali Syariati pernah bertutur, “Saya memberontak maka saya ada.” Dan, pada bagian lain ungkapaannya yang sangat terkenal, bahkan pada saat revolusi sosial Islam di Iran terjadi, dan ditulis dalam bentuk spanduk dan pamflet, “Setiap hari adalah Assyura dan setiap tempat adalah Karbala.” Meski Syariati tidak sempat menyaksikan jalannya revolusi, tetapi peranannya sebelum rvolusi tidak bisa diabaikan. Bahkan Syariati dianggap sebagai salah seorang arsitek dan ideolog Revolusi Islam Iran.

Mengapa Syariati terlibat dalam gerakan revolusioner? Karena Syariati telah mendefenisikan bahwa bila merindukan perubahan, maka dibutuhkan Raushan-fikr (orang-orang yang tercerahkan). Dan rupanya, julukan raushan-fikr patut pula diberikan kepada Syariati, karena sang raushan-fikr, merujuk pada penabalan Abdul Hadi WM,  adalah “Individu-individu yang sadar dan tanggungjawab utamanya adalah membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu khud-agahi (kesadaran diri) masyarakat.” Sebab hanya kesadaran diri yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif.

Keterlibatan Syariati dalam gerakan revolusioner, bukan hadir secara tiba-tiba. Tetapi sejak muda ia telah terlibat dalam berbagai macam gerakan revolusioner. Pada tahun 1940-an, Syariati telah bergabung dengan Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan dan organisasi Pusat Penyebaran Islam yang didirikan oleh ayahnya.

Di tahun 1950-an, Syariati kemudian aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minyak Iran, dan selanjutnya mendirikan Persatuan Pelajar Islam di Masyhad. Yang akhirnya dibui karena aktivitas politiknya.

Memasuki tahun antara 1959-1964, ketika sudah belajar di Sarbone University Perancis, Syariati aktif dalam kehidupan politik di Perancis bersama Mustafa Chamran dan Ebrahim Yazdi, mendirikan Gerakan Kebebasan Iran, di Luar Negeri. Lalu ikut dalam pembentukan Front Nasional Kedua, dan selanjutnya bergabung dengan gerakan Aljazair, yang kemudian diterungku karena memberikan kuliah kepada mahasiswa revolusioner Kongo.

Pada tahun 1964, Syariati kembali ke Iran, kemudian ditahan di perbatasan dan selanjutnya dipenjarakan selama 6 bulan. Setelah keluar dari terungku, Syariati kemudian mendirikan Husayniah Irsyad, dan menjadikannya sebagai basis pergerakannya.

Selanjutnya, tahun 1972, Husayniah Irsyad menghentikan aktivitasnya, lalu Syariati pun ditahan. Berikutnya, tahun 1975, oraginasisi-organisasi internasional, kalangan intelektual Paris dan Aljazair membanjiri Teheran dengan petisi untuk kebebasan Syariati, akhirnya dibebaskan dari bui. Tetapi, setelah itu, hingga tahun 1977 dikenakan tahanan rumah.

Sesudah dikenakan tahanan rumah, tepatnya pada bulan Mei 1977, Syariati mampu meloloskan diri ke luar negeri. Setelah mampir di Paris, ia melanjutkan perjalanan menuju London, Inggiris, dengan maksud akan meneruskan perjalanan ke Amerika Serikat. Dan, sebulan kemudian, Juni 1977, Syariati meninggal secara misterius di rumah kerabatnya, dengan petunjuk-petunjuk kuat bahwa ia telah syahid di tangan Savak, polisi rahasia bentukan rezim Syah Reza Pahlevi.

***

 Berdasarkan harapan dan keingininan Syariati, yang sering diucapkannya, untuk dikuburkan dekat kuburan Zaenab, saudara Imam Husain — yang menyaksikan peristiwa Karbala, dan menyiarkan kesaksiannya – maka jenazahnya dibawa ke Damaskus-Syiria, lalu dimakamkan di sana. Pada tahun 1979, Syariati mendapatkan anumerta atas penerbitan kumpulan karyanya, yang hingga 1986, telah terbit 35 buah buku.

Sayangnya, Syariati hanya hidup dalam waktu yang singkat, 44 tahun. Padahal masih banyak yang dibutuhkan dari pemikirannya dan gerakan-gerakan revolusionernya. Tetapi seperti kata seorang penulis biografi Syariati, Abdul Aziz Sachedina, “Tidak mudah untuk menganalisa pribadi-pribadi seperti Syariati, yang dalam pemikiran-pemikiran dan perbuatan-perbuatannya tampaknya berdimensi banyak. Adalah merupakan fenomena yang hebat dalam sejarah orang-orang besar bahwa dalam karirnya mereka meninggalkan begitu banyak yang tidak terpecahkan, sehingga orang selalu mengiginkan kiranya mereka dapat hidup sedikit lebih lama guna memecahkan teka-teki yang banyak ini.”

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *