Bagai Paus 52-Hz

Satu dua katak melompat dari tepi sungai. Gesekan ranting dan dedaunan pohon serta deru air yang jernih membuat satu melodi indah. Sebotol susu dan sekotak roti menemaniku menikmati kedamaian alam. Sambil memandangi hamparan sawah dan jejeran-jejeran gunung. Sudah 15 tahun aku tak pernah berkunjung ke sini, wajar saja tak banyak orang yang kukenal. Hanya karena kakek tak kuat lagi mengunjungiku di kota, maka aku yang harus mengunjunginya di desa. Tak banyak memori tentang tempat ini, aku bahkan belum menemukan teman selama di sini. Sudah 3 hari aku duduk di bawah pohon dengan sebuah buku.

Sore hari ketika aku akan pulang ke rumah. Seorang gadis duduk di tepi sungai sambil memegangi sebuah kertas lusuh. Kuberanikan diriku untuk menyapanya, hanya saja ia langsung kabur setelah melihatku. Lalu kuperhatikan penampilanku. “Ah… tak ada yang salah denganku, lalu apa dia yang salah..?” gumanku dalam hati.

Keesokan harinya, aku berjalan-jalan berkeliling di pasar desa, tiba-tiba saja suara gemuruh dari sebuah toko kecil itu menghentikan langkahku. Seorang lelaki dengan tubuh besar dan kekar menyeret seorang gadis dengan beberapa lebam dan luka pada wajah dan tangannya. Lelaki itu mengumpat sambil terus memukuli gadis tersebut. Kuperhatikan orang-orang di sekelilingku, mereka hanya terdiam menyaksikan adegan mengerikan itu, bahkan beberapa orang sibuk dengan dunia mereka masing-masing seperti tak terjadi apa-apa. Yah… pemandangan ini tak asing lagi bagiku, kupikir juga tak asing juga bagi mereka yang ada di tempat ini. Hanya saja aku masih tak percaya adegan seperti ini juga terjadi di desa.

Hal lain yang membuatku heran adalah gadis yang dipukuli itu hanya tersenyum, seperti ia tak merasa kesakitan sama sekali. Kudekati gadis itu ketika lelaki yang memukulinya itu masuk ke dalam toko. “Apa kau baik-baik saja..?” Aku bertanya kepadanya sambil memperhatikan lukanya. Dia hanya mengangguk dan tersenyum kemudian beranjak meninggalkanku. Benar-benar orang misterius, kemarin dia lari saat melihatku dan hari ini dia pergi begitu saja saat aku berusaha membantunya.

Entah apa yang ada dalam pikiranku, aku terus saja mengikutinya seolah dia punya magnet, dan membuatku kelihatan seperti seorang penguntit. Tiba-tiba sebuah motor dari arah yang berlawanan melaju dengan kencang menuju gadis itu. Sontak saja kutarik lengannya ketepi jalan. “Dasar gadis bodoh, kau ingin mati..?” semburku setengah emosi. “Jika kau mau bunuh diri jangan di hadapanku, kau tahu betapa khawatirnya aku?” sambungku lagi, “Aku bukan mengkhawatirkanmu, aku khawatir jika aku harus jadi saksi kematianmu,” kataku lagi setelah melihatnya hanya tersenyum tanpa penyesalan. Ini benar-benar membuatku gila. Dia baru saja babak belur dan hampir mati, tapi dia hanya tersenyum dan tak mengucapkan apa-apa.

Aku mencoba menenangkan diriku lalu kubawa dia ke bawah pohon untuk membersihkan dan membalut lukanya. 5 menit, 10 menit, 20 menit. Tak ada pembicaraan, kami hanya menatap rumput-rumput hijau di depan kami, hening. “Bolehka aku tau siapa namamu..?” tanyaku membuka pembicaraan. “Aku rasa kita sebaya, apakah rumahmu dekat dari sini..?” tanyaku lagi melihatnya hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyannku. “Apakah aku membuatmu tak nyaman..? Maaf atas perkataanku tadi tentang kau bunuh diri..” Dia masih tetap tak menjawab dan hanya terus tersenyum. Aku bertanya-tanya, apakah dia tuli? Apakah dia bisu? Aku kemudian beranjak dan ingin pulang saja.

“Terimakasih.” suara itu menghentikan langkahku. Aku berbalik dan kembali duduk di sebelahnya. “Maaf membuatmu khawatir, dan terimakasih telah mengkhawatirkanku,” ucapnya dengan senyum yang tak pernah hilang itu. “Apakah kau baik-baik saja dengan luka-luka itu?” tanyaku. “Yah… aku baik-baik saja ini sudah biasa, kau tak usah mengkhawatirkanku lagi, sebaiknya kau pulang,” katanya sambil beranjak dan pergi begitu saja.

Hampir sebulan aku ada di desa, dan sudah seminggu aku terus mengunjungi gadis itu, bercoloteh ini itu kepadanya, meski dia hanya tersenyum kemudian pergi. Sudah sering pula aku melihatnya dipukuli oleh pemilik toko dan seorang lelaki di rumahnya, mungkin ayahnya, dan dia tetap tersenyum seperti biasa. Tetapi hari ini beda, dia tak ada di toko, dia juga tak ada di pinggir sungai tempatnya mencuci nampan, aku tak bisa menemukannya hari ini.

Hari-hari terus berlalu, sudah empat hari aku belum lelihatnya. “Kemana gadis bodoh itu pergi..?” ucapku kesal. Tiba-tiba seorang pemuda mendekatiku, umurnya kira-kira 25 tahun, gayanya sepertinya orang kota. “Hai, Mr. William Watkins,” sapanya sambil tersenyum. Aku melihat sekeliling tapi tak ada orang lain selain diriku di sini, lalu siapa yang disebut pria itu sebagai Dr.William? “Aku rasa kau sedang menunggu seseorang di sini. Tapi sepertinya dia kak akan pernah datang lagi” dia berbicara entah dengan siapa. Tapi aku memilih mendengarkannya. “Namaku adalah Bayu, aku seorang mahasiswa psikologi di salah satu universitas. Aku ke sini untuk meneliti dan objek penelitianku adalah orang yang kau tunggu.” Dia memperkenalkan diri tanpa diminta, dan aku semakin bingung.

“Aku memilihnya karena aku pikir ada sesuatu yang aneh dengannya. Yah, itu karena aku melihatnya dipukuli beberapa kali dan dia tetap tersenyum. Mungkinkah kau juga penasaran dengan hal itu..?” ucapannya kali ini membuatku tersentak. Sejak tadi dia membicarakan gadis itu, gadis yang sedang kutunggu. “Apakah kau tahu penyebannya?” tanyaku penasaran. “Sebenarnya namanya adalah Sekar, dia hidup bersama dengan ayahnya yang kasar. Ia dulunya anak yang ramah dan ceria, hanya saja semenjak ibunya meninggal ia harus dipukuli oleh ayahnya setiap waktu. Dan mendapat penghinaan dari banyak orang, akhirnya dia dikurung oleh ayahnya selama berhari-hari, tanpa diberi makan. Entah apa yang telah terjadi di dalam sana, tetapi menurut penelitianku ia ditimpa stres berat, ia tak lagi punya emosi. Tak ada ekspresi, seperti robot. Semuanya seperti terhapus dari kepalanya,” Jelas bayu.

“Lalu mengapa dia tersenyum?” tanyaku. “Dia bekerja di sebuah mini market dan dia harus selalu tersenyum kepada pelanggan yang datang. Dari situlah ia belajar tersenyum. Dia terus tersenyum tapi hatinya hampa, sepi, kosong. Hingga kau datang,” kata bayu. “Lalu kenapa kau memanggilku dr. William dan apa maksudmu mengatakan dia tak akan datang?” tanyaku.

“Yah.. Dia tidak akan datang, sebab 2 hari yang lalu seorang menemukan jasadnya di pinggiran sungai desa sebelah, sepertinya dia terjatuh di sungai dan dibawa arus. Dia telah pergi untuk selama-lamanya. Dan saat polisi melakukan investigasi, aku menemukan sebuah kertas di saku celananya, di sana ada namamu dengan gambar seekor paus.” Bayu kemudian memberikan kertas yang ditemukannya itu kepadaku. Aku membuka kertas kusut itu, ada gambar seekor paus kecil digambar dengan rapi, dan ada namaku di sana. Seketika saja air mataku menetes.
katya.

“Katya kau tahu kisah seekor paus kesepian?” tanya Bayu. Aku menggeleng tak tahu sambil terus terisak, tapi tetap mendengarkan Bayu. “Kisah ini bermula pada saat angkatan laut Amerika hendak mencari keberadaan kapal selam Rusia. Suara bising nyanyian seekor paus terekam. Paus pada umumnya bernyanyi 17 hingga 18 hertz tetapi paus ini berkomunikasi di 52-Hz. Dr.William Watkins menemukan nyanyian paus itu saat memilah rekaman, dan dia mempelajari paus tersebut. Ia adalah paus yang terpisah 20 tahun dari gerombolannya. Dia terus bernyanyi dalam lantunan yang begitu berbeda, sayup dan kesepian, tapi tak satupun temannya yang mendengarnya,” jelas Bayu. “Itu sebabnya kau memanggilku Dr.William..?” tanyaku. “Ya,” jawab Bayu.

“Katya, kau telah menemukan paus 52-Hz,” ucap bayu sambil memegang pundakku. Dia pergi dan meninggalkanku yang masih termenung.

Sumber gambar: http://www.romanjeunesse.com/2016/02/21/les-trois-peches-de-moby-dick/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *