Memimpin adalah jalan derita (prinsip H. Agus Salim)
Mengawali tulisan ini, penulis mengutip falsafah penantian sosiolog dan cendekiawan muslim Iran, Ali Syariati. Dalam buku yang berjudul Para Pemimpin Mustadhafin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan Penindasan dan Kezaliman (2001), ia menjelaskan, penantian adalah sintesis dari dua prinsip yang bertentangan yakni kebenaran dan kenyataan. Penantian merupakan jalan untuk mengatakan tidak terhadap realitas (yang timpang dan kontradiksi dengan kebenaran). Seseorang yang sedang menanti adalah bentuk sanggahan atas kondisi yang ada sekarang. Lanjut Ali Syariati:Orang yang menanti memiliki harapan dan orang yang berharap adalah hidup. Penantian adalah keyakinan pada masa depan, dengan maksud menolak masa kini. Orang yang puas dengan masa kini tidaklah menanti. Sebaliknya, ia konservatif. Ia takut akan masa depan, ia khawatir terhadap segala peristiwa. Ia menyukai status quo dan mencoba untuk mempertahankannya. Berangkat dari uraian tersebut, setidaknya bangsa ini menanti dua hal: Presiden pemberani dan Indonesia baru.
Presiden Pemberani
Presiden pemberani adalah presiden yang mampu mengambil sikap dan tindakan dalam segala kondisi. Presiden yang dalam kondisi sulit mampu menentukan pilihan, tanpa rasa takut apalagi ragu dalam mengambil keputusan. Hanya presiden pemberanilah yang mampu menolong rakyatnya, hanya presiden pemberanilah yang mampu menyelamatkan bangsa ini dari kubangan korupsi, kemiskinan, ketidakadilan ekonomi, ancaman disintegrasi nasional, jebakan politik utang luar negeri, dominasi asing atas aset-aset bangsa (kapitalisme global) dan berbagai permasalahan bangsa lainnya. Adapun persoalan kepintaran dan kecerdasan dalam memimpin, bagi penulis adalah hal kedua. Mengapa? Kepintaran dan kecerdasan tak akan berguna tanpa modal nyali atau keberanian bertindak. Tapi sekali lagi perlu digarisbawahi, berani yang dimaksud ialah dalam konteks untuk menolong rakyat dan bangsanya dari berbagai kemelut.
Mereka yang Berani
Para pemimpin bangsa kita nampaknya harus belajar dari keberanian beberapa presiden yang (sedang) pernah menjabat di masing-masing negaranya. Dari literatur yang ada, Presiden Bolivia Evo Morales yang menjabat untuk ketiga kalinya, berani melakukan kebijakan nasionalisasi atas sejumlah perusahaan asing yang beroperasi di negaranya, seperti perusahaan gas alam, perusahaan listrik milik Spanyol, dan melakukan renegosiasi yang lebih menguntungkan Bolivia, tinimbang pihak asing.
Mantan Presiden Argentina, Nestor Kirchner (1950-2010) menjabat dari tahun 2003 hingga 2007 pernah mengangkat menteri khusus untuk memburu mantan presiden yang kejam. Ia berjasa membebaskan negaranya dari krisis ekonomi. Ia pun menolak membayar utang luar negeri. Dari total utang negaranya sekitar 102,6 miliar dolar AS, Netsor Kirchner menyatakan hanya sanggup membayar US$38,5 ─ US$41,8 miliar.
Almarhum Hugo Rafael Chaves Frias (1954-2013) yang lebih akrab disapa Hugo Chaves waktu menjabat Presiden Venezuela juga pernah menetapkan kebijakan nasionalisasi. Seperti menasionalisasi berbagai proyek minyak bernilai miliaran dolar yang dipelopori perusahaan raksasa minyak Exxon Mobil dan ConocoPhilips, ia pun mengambil alih kepemilikan perusahaan telepon milik Amerika Serikat, bank milik Spanyol, perusahaan tambang emas milik Kanada, perusahaan daging asal Inggris dan pengeboran minyak perusahaan Amerika Serikat.
Dapat kita tegaskan, dalam kamus politik pemimpin-pemimpin di atas tak mengenal rasa takut untuk dikucilkan dari pergaulan global, tak takut akan kecaman dunia internasional demi memperjuangkan kepentingan nasionalnnya
Yang lebih gila lagi tentang keberanian beberapa pemimpin untuk memangkas gaji, agar anggaran negara lebih banyak dipergunakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Seperti Evo Morales yang melakukan pemotongan gaji untuk semua kabinetnya, bahkan gajinya sendiri pun ia pangkas sekitar 50 %. Evo Morales tak sendiri, seolah-olah ia menginspirasi beberapa presiden pemberani lainnya. Sebut saja Jose Mujica, semasa memimpin Urugay dari tahun 2010 hingga 2015 rela gajinya yang kisaran Rp. 141,4 juta dipotong sampai 90 %. Mantan Presiden Brasil, Dilma Rousseff yang memimpin sejak 2011 sampai 2016 juga pernah memangkas gajinya sekitar 10 % pertahun, termasuk gaji wakilnya (dulu) Michel Temer dan jajaran menteri dalam kabinetnya ia potong.
Hal yang sama akan dilakukan oleh Presiden baru terpilih Meksiko (dilantik Desember mendatang), Andres Manuel Lopez Obrador yang bersedia memangkas 60 % gajinya sebagai upaya penghematan keuangan negara. Ia berkomitmen hanya akan menerima gaji sekitar Rp. 82 juta perbulan, ini kontras dengan presiden Enrique Pena Nieto yang menerima gaji lebih dari 200 juta perbulan.
Keberanian menempuh kebijakan yang populis tidak hanya dalam hal nasionalisasi dan pengurangan gaji, sejumlah presiden juga menunjukkan kebijakan yang sangat berpihak kepada rakyat miskin. Sebutlah kebijakan di bidang kesehatan Hugo Chaves yang meminta satu orang dokter harus bertanggung jawab terhadap beberapa keluarga miskin. Fidel Castro (1926-2016) semasa hidup dan memimpin Kuba pernah menetapkan pendidikan gratis untuk semua jenjang buat penduduknya. Mahmoud Ahmadinejad yang memimpin Iran dari tahun 2005 sampai 2013 pernah membangun perumahan rakyat miskin, selain itu ia juga dikenal sebagai pemimpin politik yang sering mengecam kebijakan ekonomi politik Amerika Serikat dan kerap menyerukan anti Israel.
Sebenarnya bangsa Indonesia juga pernah memiliki pemimpin pemberani seperti Ir. Soekarno yang menempuh kebijakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh Belanda sekitar tahun 1957─1960. Lalu apakah mungkin pemimpin bernyali besar akan lahir kembali di negeri ini, di era sekarang ini ? Wallahu a’lam bish-shawabi. Saya sendiri melihat, banyak pemimpin yang lahir dari pemilu demokratis tetapi ‘tak punya’ nyali atau keberanian dalam bertindak mengubah keadaan, mengambil kebijakan mesti tidak menyenangkan atau ditentang pihak asing. Kita lihat saja nanti.
Indonesia Baru
‘Indonesia lama’ adalah Indonesia yang penuh dengan KKN, kekerasan, pelanggaran HAM, dan utang luar negeri. Indonesia lama adalah negara yang anti kesejahteraan sosial, anti keadilan. Indonesia lama, mengutip istilah Amin Rais (2001) penuh dengan mentalitas permisif, penuh money politic, hipokrisi, mentalitas egosentris, lemahnya patriotisme dan nasionalisme bangsa. Kata Amin Rais, “dengan adanya globalisasi dan liberalisasi, kita telah dengan secara tidak sadar melacurkan kepentingan nasional kepada kepentingan asing”.
Negara Indonesia lama itu masih berkutat pada penyakit mental seperti yang pernah dikemukakan oleh antropolog termasyhur Indonesia, Koentjaraningrat. Dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974), Koentjaraningrat memaparkan kelemahan-kelemahan dalam mentalitas masyarakat kita : (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu; (2) sifat mentalitas yang suka menerabas; (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri; (4) sifat tak berdisiplin murni; (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Sedangkan ‘Indonesia baru’ adalah Indonesia yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Indonesia baru adalah negara yang sejahtera, adil, dan demokratis, bebas dari utang luar negeri dan penyakit mental, yang bersungguh-sungguh membumikan konsep Trisakti Bung Karno: kemandirian-kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan.
Indonesia lama adalah masa lalu, sedangkan Indonesia baru adalah masa depan. Indonesia lama adalah realitas, Indonesia baru adalah impian dan harapan (idealitas). Indonesia lama adalah jalan mundur sedangkan Indonesia baru merupakan jalan menuju kemajuan di segala lini kehidupan. Indonesia baru menuntut keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang ini. Indonesia baru masih tertimbun oleh watak manusia lama, yang kontra kemajuan dan keadilan. Indonesia lama masih jauh’ dari misi dan tujuan negara, sedangkan Indonesia baru amat dekat dari tujuan negara. Dan untuk memajukan dan mewujudkan Indonesia baru itu, kita butuh presiden yang pemberani. []
Literatur Penunjang :
Ali Syariati, Para Pemimpin Mustadhafin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan
Penindasan dan Kezaliman, Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001
Eko Prasetyo, Inilah Presiden Radikal, Yogyakarta: Resist Book, 2006
Amin Rais, dkk., Reformasi dalam Stagnasi, Jakarta: Yayasan Al-Mukmin, 2001
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1974)
https://id.m.wikipedia.org
www.berdikarionline.com
m.liputan6.com
https://nasional.kompas.com
https://www.bbc.com
https://m.detik.com
https://international.sindonews.com
Sumber gambar: https://www.deviantart.com/firmanjp/art/Jokowi-Prabowo-in-WPAP-465059763
Guru PPKn SMK Telkom Makassar dan Alumni Sekolah Demokrasi Program Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Jakarta