Muasal Jagung, dari Milho ke Milu

Perjalananku kali ini melintasi negeri nyiur melambai ditemani gerimis hujan sore hari. Senja hanya nampak sebagian karena sebagiannya sedang bertirai gerimis. Suasananya sedikit romantis, perpaduan gerimis hujan dan senja memerah saga. Dalam suasana seperti itu, kenangku berkelebat jauh ke masa-masa kala masih kanak di Kota Makassar. Waktu itu, kondisi negeri ini sedang tak berdaya, daya beli masyarakat sedang anjlok hingga ke titik nadir. Antrian panjang untuk mendapatkan beberapa bahan pokok seperti minyak tanah, beras, dll., itu kita dapati di mana-mana khususnya di sekitar mukimku di sebuah pasar tua di Makassar.

Di warung makan sederhana di daerah Tumpaan namanya, di Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel) setelah Kabupaten Minahasa dipecah menjadi beberapa kabupaten sejak reformasi dikumandangkan untuk mendekatkan dan memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat. Di warung sederhana itu, aku memesan nasi milu alias nasi jagung. Nasi jagung inilah yang mengundang kenangku jauh ke masa silam. Seperti yang kujelaskan di atas, bahwa, nasi milu adalah adalah nasi kenangan masa silam kala beras begitu sulit menemukannya. Jadi, untuk menyiasati kekurangan beras, orang tua kami mencapurnya dengan milu atawa jagung maka jadilah nasi jagung atawa nasi milu.

Yang membedakannya antara nasi milu dahulu kala di masa kanakku dengan nasi milu sekarang adalah, bila dulu nasi milu dikesani sebagai makanan orang bawahan atawa orang miskin sehingga orang-orang menyarapnya secara sembunyi-sembunyi. Sehingga D’Loyd sebuah group band lawas di tahun tujuh puluhan merilis sebuah lagu yang menggambarkan betapa siksanya tahanan penjara waktu itu, dengan salah satu gambarannya “bangun pagi makan nasi jagung.” Tapi, ternyata di daerah ini, secara khusus Tumpaan dan Minahasa serta Bolaangmongondow, nasi milu adalah nasi yang cukup digemari dan bukan pertanda pengkomsumsinya sebagai warga kelas dua dan semacamnya.

Dari buku Garis Besar Sejarah Amerika yang diterbitkan oleh Depatemen Luar Negeri Amerika Serikat, bahwa jagung telah dikembangkan manusia Indian sekitar tahun 8000 sebelum masehi, kemudian berkembang ke Amerika bagian utara. Pada tahun 3000 sebelum masehi, jenis jagung Purba telah ditanam di lembah-lembah sungai New Mexico dan Arisona. Selanjutnya jagung semakin berkembang di Benua Amerika hingga tahun 1492. Christoper Colombus yang pertama kali melihat jagung di Kepulauan Karibia, tertarik dan membawa bibitnya pulang ke Eropa.

Beberapa tahun kemudian seorang penjelajah Spanyol yang bernama, Ferdinan Magelhaens membawa benih jagung dari Spanyol ke Asia lewat jalur barat. Sebelum menguasai kepulauan Filipina pada 1543, Spanyol menjadikan Manado Tua sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Perdagangan barter hasil bumi termasuk jagung dan pengembangan perkebunan kopi berkat kesuburan tanah dan hubungan baiknya dengan penduduk dataran jazirah utara pulau Sulawesi ini. jadi sebelum kedatangan Bangsa Portugis dan Bangsa Eropa lainnya, masyarakat Sulawei bagian utara termasuk manusia Gorontalo dan Philipina telah mengembangkan tanaman jagung yang dibawa armada penjelajah Spanyol yang sisanya pulang ke negerinya lewat jalur timur (Tanjung Pengharapan). Dari jazirah bagian utara pulau Sulawesi inilah jagung menyebar ke seluruh pelosok Nusantara pra-Indonesia. (Sumber : Makalah, Ambo Tang daeng Materru “Jagung : Menguntungkan Atau Membuntungkan Petani.”)

Di Gorontalo, Bolaangmongondow, Minahasa, dan Sangir, empat etnis besar di jazirah utara Sulawesi  tempatku bersentuhan dan lalu-lalang mengais nafkah beberapa tahun terakhir ini, membilangkan jagung sebagai milu yang dalam bahasa Spanyol disebut “milho” jadi dari kata milho ke milu. Jagung yang bahasa kerennya teosinte (Zea mays ssp paviglumis) termasuk jenis rumput-rumputan yang dahulu kala telah menjadi bahan makanan pokok, bersama ubi, pisang, sagu, dan beras. Hingga setelah kemerdekaan Indonesia mewujud dan pemerintah mencanangkan kebijakan swasembada beras dan produksi beras melimpah yang mencapai puncak keberhasilannya pada tahun 1984, berbagai makanan pokok lainnya perlahan terpinggirkan menjadi bahan makanan substitusi, pencampur dan pelengkap selain sebagai pakan ternak.

Gorontalo sebagai provinsi tempatku mengais nafkah yang baru beberapa bulan terakhir, adalah provinsi yang menjadikan jagung sebagai produk pertanian unggulan dalam program agropolitan. Jagung menjadi komoditi export yang menguntungkan. Volume ekspor jagung Provinsi Gorontalo dari tahun 2001 – 2010, 271.114.397.11 Kg dengan harga 50.193.448.93 $. Sebuah angka yang cukup besar sebagai salah satu sumber pemasukan daerah. Walau sejak diluncurkannya program ini masih menyimpan pelbagai plus minus. Di antaranya, pembukaan lahan yang tak terkendali yang bisa merusak lingkungan dan pembukaan hutan yang lebih luas. Harga beli dari petani yang belum menguntungkan petani secara baik karena harga produksinya masih hampir sama dengan dengan harga jual secara keseluruhan apatahlagi bila bahan produksi pertanian seperti pupuk, petani masih berutang pada tengkulak dengan harga yang tentu mencekik. Semoga bengkalai-bengkalai ini dapat teratasi dalam waktu yang tak telampau panjang.

Dalam perjalanan panjang dari Kota Kotamobagu menuju Kota Manado dan ke Kota Gorontalo, berbagai penganan dengan  varian substitusi dan pokok dari bahan jagung dengan mudah ditemukan. Di Tumpaan Minahasa Selatan aku menyesap nasi milu. Sedang di kota Manado aku disuguhi tinutuan atawa bubur manado, sedang di Gorontalo aku kembali menyesap penganan khasnya, binte bilahuta yang juga jagung menjadi menu utamanya.

 

Sumber gambar:   https://www.flickr.com/photos/8180199@N02/3036917907

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *