Asian Para Games yang baru saja diselesaikan beberapa bulan yang lalu menujukkan semangat kebersamaan yang luar biasa. Selain karena Indonesia berhasil meraih prestasi yang membanggakan, kita juga dibuat terenyuh dengan pemberian jumlah honor yang sama dengan yang diraih oleh atlet Asian Games sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kita sudah melakukan satu lompatan besar di bidang olahraga bagi kaum disablitas. Kita memberikan perlakuan yang adil dengan menunjukkan bahwa tidak ada lagi harga keringat dan air mata perjuangan yang murah hanya karena berasal dari kaum disabilitas.
Setelah Asian Para Games ini berlalu, kita tentunya masih sangat menantikan lompatan-lompatan positif apa lagi yang akan diberikan oleh Negara bagi para penyandang disabilitas. Tapi yang jelas, saya selalu geregetan dengan sikap diskriminatif yang dilakukan terhadap mereka. sebaliknya, setiap perlakuan positif yang diberikan pada mereka akan selalu membuat saya turut larut dalam kebahagiaan.
Meski perhelatan Asian Para Games sudah menjadi penanda, namun di era borderless ini, masih ada begitu banyak orang yang belum terbiasa dengan kaum disabilitas. Banyak yang belum bisa membedakan antara tuna daksa, rungu, grahita dan wicara. Masih banyak juga yang belum bisa membedakan betul yang mana pengidap autisme dan yang mana pengidap Down Syndrome. Masyarakat pada umumnya masih sering menyamaratakan mereka semua sebagai “orang cacat” yang memiliki kekurangan.
Secara pribadi, Tuhan menganugerahkan kepada saya sebuah keluarga yang lengkap. Kami tiga bersaudara. Kakak tertua saya kini adalah seorang ASN di Pengadilan Agama dan saya sendiri sejak 2015 juga sudah menjadi seorang ASN di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja. Tapi, bukan karena kami berdua telah menjadi seorang ASN, menikah dan memiliki anak yang lantas menjadikan kami keluarga yang lengkap, tapi seorang wanita berumur 39 tahunlah yang menjadikan keluarga kami lengkap dan sempurna. Nama lengkapnya Sufatmi Fitrianingsih, kadang kami panggil dia dengan nama Nengsi, dia adalah kakak saya, dan dia pengidap Autisme. Keberadaan Nengsi dalam keluarga menjadikan saya lebih memahami bagaimana hidup dan saling berbagi dengan kaum difabel.
Kelahirannya 39 tahun lalu di sebuah kabupaten kecillah yang nampaknya tidak terlalu memberikan dia akses terhadap pendidikaan inklusif yang memadai. Namun melihat hal tersebut, orang tua kami tidak pernah menyerah, Nengsi dididik dirumah dan diajarkan menjalani peran sesungguhnya sebagai seorang manusia, khususnya sebagai seorang wanita.
Sejak Nengsi kecil, dia mulai diajarkan disiplin. Dia diajarkan mengenai kebersihan. Dia wajib mandi minimal sekali sehari dengan bersih, meskipun kadang harus bentrok dengan Ibu, namun ibu tetap “memaksakan” itu. dia tidak boleh kotor dan bau seperti banyak orang tua kaum difabel pada saat itu yang cenderung mengabaikan kebersihan anaknya. Dia tetap diajak jalan-jalan sore oleh ayah dan ibu. Motor vespa tua bapak menjadi saksi kami berempat menaikinya. Bapak yang memegang kendali di kursi tengah, ibu di kursi belakang dengan Nengsi, dan saya di depan ngumpet dibawah kaki ayah. Mungkin kamilah salah satu pelopor boncengan ala cabe-cabean yang baru rame sekarang.
Setelah magrib, biasanya Nengsi tetap diminta untuk ikut belajar bersama saya sewaktu kecil. Dia sering menyaksikan saya dijitak oleh ayah karena belum mengerti apa yang ayah jelaskan saat mengerjakan PR. Meski tak pernah mengerti dengan proses belajar yang saya dan ayah lakukan, namun dia sangat mengerti bahwa saya sangat tersiksa, dan dia pun malah tertawa. Dia tahu betul bagaimana caranya bersenang-senang di atas penderitaan adiknya. Kekinian banget kan dia?
Meski kesulitan dalam berkomunikasi, tapi Nengsi sangat paham dengan bahasa kami. Mungkin karena pola komunikasi yang kami lakukan secara intensif sampai melibatkannya juga untuk seharian nongkrong di depan Televisi dan menonton sinetron, maka alhasil pemahamannya terhadap banyak hal kadang sangat sempurna. Dia tidak mampu mengatakannya tapi dia mengerti. Dia bisa menyalakan dan mematikan televisi, mengoperasikan mesin cuci dan mengerti bila masakan sudah mendidih dan segera mematikan kompor gas. Salah satu kemampuan paling mutakhirnya saat ini yang berhasil diajarkan oleh ibu adalah memasak nasi. Dia tahu bagaimana cara menghitung berapa liter beras untuk satu panci masakan, bagaimana cara mencuci beras yang baik, bagaimana takaran airnya saat akan dimasak dan bagaimana memasaknya di Rice Cooker.
Dan terakhir, Nengsih juga dipercaya untuk mengatur barang-barang perkakas yang ada dirumah dan dipercaya untuk mengatur dan menyimpannya. Dia juga memiliki memori dan insting yang sangat kuat untuk mencari benda-benda yang hilang di rumah. Kita mungkin sering terjebak dalam keanehan ini, di saat kita hendak mencari gunting kuku, yang ketemu kunci, di saat kita mencari kunci, yang ketemu gunting kuku. Tapi untuk Nengsi, rumus ini tidak berlaku. Kami sangat bergantung pada dia untuk menyimpan barang-barang dengan rapi atau untuk menemukan barang-barang yang sebelumnya kami taruh secara serampangan.
Sering kali terjadi, jika saya sedang kesulitan mencari headphone atau headset, maka saya cukup mengepalkan kedua tangan saya dan menaruhnya di kedua telinga sambil berkata “Nengsi, dimana Headphone/headsetku?” maka tak butuh waktu lama, hanya sekitar 3 sampai 10 menit, dia akan membawakan gadget saya sambil berbicara seperti seorang anak balita berumur 3-4 tahun “Ya Allah, astagfirullah, nih HP mu nih, gimana sih” ucapnya seperti meniru apa yang dia biasa saksikan di sinetron. Makanya, kami punya anekdot sendiri dalam keluarga kami yang berbunyi, “Bila barang yang anda cari tidak dapat ditemukan oleh Nengsih, maka okeh fix, barang itu sudah hilang!”
Maka melihat betapa semakin bergantungnya kami kepada Nengsi, dan betapa sempurnanya Nengsi dalam banyak hal. Kadang saya berfikir, yang disabilitas sebenarnya siapa? Selamat Hari Disabilitas, setiap tanggal 3 Desember, untuk kita semua.
Pria kelahiran Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan ini adalah alumnus dari UIN Alauddin Makassar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saat ini salah satu kesibukan utamanya adalah sebagai ASN di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bantaeng. Juga sebagai Direktur Ranu Prima College cabang Bantaeng dan inisiator Ikatan Guru Indonesia ( IGI ).Bantaeng. Dan, bergiat di komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Telah menerbitkan buku Sawah dan Kebun Kurma di Tengah Laut (2019) dan Mengikat Rindu di Ranting Rapuh (2019).