Refleksi atas buku Metamorfosis Ibu
Dua pesona tersemat pada Metamorfosis Ibu, ditulis oleh Mauliah Mulkin, di publikasi pada 2018. Pertama, karya ini berdiri di atas jangkar konsep “parenting”. Muasal “parenting” datang dari khazanah bahasa Latin. Maknanya: “bringing forth”, “memindahkan ke (masa) depan”. Itu sebabnya, “parenting” bermatra transformatif, bergatra perubahan abadi,
berdimensi peristiwa eventual, terjadi hanya sekali dan tak akan berulang. Transformasi memang bukan reformasi.
Hukum-hukum alam mengajarkan pembeda utama antara transformasi dan reformasi; Ulat bertransformasi menjadi kupu-kupu, setelah sekian lama kesepian di kepompong; Kupu-kupu tak akan pernah kembali menjadi ulat. Ular tetap ular, sekali pun berganti kulit berkali-kali; Ular tak akan pernah berubah menjadi satu bentuk “lain”. Ulat setara dengan transformasi; Ular sebangun dengan reformasi.
Pesona kedua buku ini bersandar pada konsep “keluarga”. Dalam khazanah ekspresi bahasa Inggris, “keluarga” dibilangkan sebagai “family”. Semantik “family” berakar bahasa Latin: “famulus”, “familia”, bermakna “household servants”, yaitu “pembantu rumah tangga”. Tak berkelebihan, jika “keluarga” adalah institusi pembantu rumah tangga. Siapa pun — ayah, ibu, anak — tak lebih dari pembantu keluarga. Pembantu bukan “lian”, pun bukan orang “lain”. “Lian” dan “lain” adalah dua hal berbeda. “Lian” dibilangkan sebagai imajinasi tentang makhluk mirip manusia tetapi bukan manusia; “Lain” dimengerti sebagai manusia yang bukan anggota keluarga.
Metamorfosis Ibu diapit oleh Prolog dan Epilog, dua posisi ulasan berbeda tetapi kaya akan gagasan. Prolog, ditulis oleh Syafinuddin Al-Mandari, berisi deskripsi dan argumentasi perubahan sosial lewat metafor darah biru, darah merah dan darah hitam. Biru, merah, dan hitam adalah citra perubahan dinamik antara bangsawan, pahlawan, dan ilmuan. Inti dari deskripsi dan argumentasi di prolog ini tak lain adalah dinamika keluarga. Orang-orang kebanyakan tetapi tumbuh di keluarga transformatif bisa menggeser pesona darah bangsawan dan darah pahlawan.
Di Epilog, ditulis oleh Andi Olle Mashurah, gagasan tentang “ruang hidup” di institusi pembantu rumah tangga dapat dicerna. Baginya, sosok ibu tak hanya bagian dari hukum kausalitas, hukum sebab-akibat, tetapi di sana ada kesadaran. Kalau saja kata “kesadaran” disepadankan dengan
“consciousness” dalam ekspresi bahasa Inggris, maka “kesadaran” bisa dibilangkan sebagai “cahaya yang berkelebat dalam pikiran” lalu membangkitkan kewaspadaan dan kemawasan. Posisi memikat dari Andi Olle Mashrurah adalah soal toleransi. Ia bilang secara retorik, sosok ibu adalah pribadi toleran atas kesalahan anak orang “lain” ketimbang anak kandung. Penegasan seperti ini ibarat refleksi: Jangan-jangan kebenaran ada pada orang “lain”.
***
Tubuh Metamorfosis Ibu dibangun di atas 56 kisah dan disebar ke dalam empat bagian. Bagian pertama berfokus pada anak. Di bagian ini, anak-anak didudukkan di dunia pendakian tinggi, dibilangkan sebagai dunia “transendensi”. Anak-anak di dunia transendensi bisa ditemukan di lipatan berpikir filsuf dan sufi. Mahatma Gandhi dan Khalil Gibran adalah contoh sederhana.
Gandhi dengan legasi anti-kekerasan, belajar dari cara menerima hukuman karena berbohong ketika masih kanak-kanak; Gibran dengan imajinasi transformatif tentang dunia anak-anak, mengajarkan pada banyak orang bahwa anak-anak bukan keserupaan ayah-ibu, apalagi orang “lain”.
Dengan penghayatan atas dunia “transendensi”, Mauliah Mulkin mengekspresikan ragam keprihatinan terhadap “dunia faktual” anak-anak. Revolusi Industri 4.0 memungkinkan anak-anak kehilangan keterampilan sosial, memunculkan ketakmampuan mendengar, dan kehilangan empati. Sekolah dan rumah tangga pun diperbincangkan; Sekolah tak lagi sepenuhnya menjadi pusat toleransi; Rumah tangga tak lagi seutuhnya sebagai pusat spiritualitas.
Bagian kedua berisi kisah-kisah reflektif tentang pemerdekaan anak-anak. Pemerdekaan setara dengan kecintaan, sebangun dengan pembebasan dari amarah. Benar, anak-anak kini hidup di tengah orang dewasa penuh amarah. Dalam cakrawala Pankaj Mishra, amarah telah datang, membuat kita tak dapat memetik buah peradaban.
Bagian ketiga Metamorfosis Ibu, kesepadanan peran institusional ayah-ibu dipercakapkan melalui gaya tulis reflektif. Sosok ayah didudukkan sebagai tugu ingatan, ibarat monumen kokoh tempat menjangkarkan ingatan masa kanak-kanak; Sosok ibu yang tetap setia pada tanahnya sendiri tetapi tak pernah lari dari peran tangguh “penyelesai masalah”.
Bagian keempat berfokus pada soal literasi parenting. Melalui ragam peristiwa, ragam konteks, ragam peran, parenting dideskripsikan sebagai rentetan tindakan untuk menggerakkan. Bukan soal peradaban besar atau peradaban mungil. Paling penting adalah tindakan sadar transformatif. Tak ada kupu-kupu tanpa kepompong, wadah bagi ulat untuk bertranformasi; Tak ada sosok berkarakter tanpa keluarga sebagai wadah kepompong.
Dengan menghayati Metamorfosis Ibu, ingatan saya tertuju pada seorang pemikir, Julian Janes. Melalui The Origin of Consciousness in The Break-Down of The Bicameral Mind, dipublikasi pada tahun 2000, Janes bilang: “Kesadaran bukanlah sesuatu yang disadari. Kesadaran dibentuk oleh kejelasan imaji, dimulai dari pemahaman atas kondisi mawas, suasana hati dan kasih sayang, penghargaan atas ingatan, pikiran, perhatian dan kehendak.
Akhirnya, saya sejatinya menambahkan pendakuan Janes: “Otak manusia manusia bekerja di dua kamar (bicameral mind ): Kamar satu adalah kamar berbicara; Kamar dua adalah kamar mendengar.” Mauliah Mulkin telah berbicara melalui Metamorfosis Ibu, saya pun usai mendengarkan sepenuhnya. Mauliah Mulkin telah menyatakan suasana hati dan kasih sayangnya, saya pun berempati mengapa sosok Mauliah berdedikasi pada literasi parenting. Pesan penting di karya Mauliah: “Kita sejatinya belajar bertransformasi untuk tak semena-mena memandang manusia sebagai orang “lain”, apalagi sebagai “lian”.
Ditulis di Makassar, 18 Desember 2018
Budayawan Sulsel