Entah kenapa, beberapa tahun belakangan ini, bencana yang terjadi selalu saja menjadi ajang show up kesalehan beberapa orang ataupun kelompok. Bencana sudah jauh bergeser dari sebagai ajang empati bagi seluruh manusia di negeri ini untuk datang membantu, menguatkan dan kembali membangun, kini malah menjadi ajang justifikasi dan menspesifikasi bencana itu disebabkan oleh apa dan siapa yang patut disalahkan.
Keberingasan dalam menspesifikasi bencana ini sepertinya sudah jadi candu bagi mereka yang gemar menunjukkan kealiman dirinya yang di satu sisi gemar pula mencari-cari keburukan pada orang dan kelompok lain yang terkena bencana. Sebut saja gempa Lombok yang dihubungkan dengan TGB yang merapat ke Jokowi, gempa Palu yang dikaitkan dengan festival adatnya dan entah keburukan apa lagi yang kali ini akan disematkan pada saudara-saudara kita di Banten, Lampung dan terakhir di Sukabumi
Tahukah anda sekalian, jikalau memang kemaksiatan dan kemungkaran menjadi satu-satunya penyebab bencana, maka sudah jauh-jauh hari dunia ini dikiamatkan, karena mustahil menemukan satu petak daerah di dunia ini yang tidak memiliki noda sama sekali. Daerah antartika yang minim penghuni pun nyatanya dipenuhi dengan kemungkaran dengan dibunuhinya spesies Paus Minke demi beberapa bagian tubuhnya yang dijadikan komoditi industri hingga makanan mahal di restoran-restoran Jepang
Secara garis besar, bencana itu disusun oleh Tuhan dalam dua konsep besar. Konsep yang pertama dan paling sering dilupakan adalah konsep hukum alam, atau yang mungkin banyak di antara kita yang lebih kenal dan sreggg dengan istilah sunnatullah. Gempa Lombok dan Palu adalah bagian dari sunnatullah yang kita yakini itu, karena di sana memang Tuhan simpan lempengan-lempengan buminya yang masih aktif. Ibarat anda yang sedang tidur namun sesekali anda berputar ke kiri dan ke kanan demi mencari posisi nyaman maka itulah yang disebut keseimbangan.
Lempengan bumi sedang mencari titik keseimbangan dan posisi nyamannya untuk tidur beberapa puluh tahun kedepan sebelum bergerak dan mencari posisi nyamannya lagi. Dan saking baiknya, Tuhan memberi kita karunia akal dan pengetahuan untuk menganalisa gempa, tsunami bahkan liquifeksi yang telah terjadi sebelumnya untuk mengantisipasi bila sunnatullah itu terjadi lagi di masa depan. Tapi apa lacur, tetap saja investor yang haus fulus dan pemerintah yang haus PAD menerbitkan izin pembangunaan.
Perlu kita ketahui, daerah-daerah terdampak liquifeksi di Palu saat ini jauh sebelumnya memang sudah diprediksi dalam berbagai penelitian mengenai potensi liquifeksi di dalamnya, namun apa daya, maha benar anggaran dengan segala kuasanya. Boro-boro merancang sebuah blue print pembangunan nasional berwawasan bencana, Perda terkait perencanaan bangunan tahan gempa saja baru direalisasikan oleh sekitar 30 % kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Bila total ada 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, maka hanya sekitar 154 kabupaten dan kota yang mulai melek bencana. Dan kalau kita melihat peta rawan gempa di Indonesia, cuman Kalimantan yang bersih, lainnya, amburadul rekam jejak sejarah gempanya, sangat kelam. Oya, data perda gempa ini baru ngomongin yang udah melek yah, kita belum ngomongin yang betul-betul sudah melek, bangun tidur dan cuci muka.
Konsep kedua ini adalah konsep yang paling sering disalahgunakan, yakni konsep muhasabah. Konsep ini pada dasarnya mengarahkan kita untuk mengingat dan menilai personal kita masing-masing bila sedang terkena bencana. Karena memang, harus pula diakui bahwa bencana itu ya karena ulah manusia, karena keburukan dan kerusakan yang dibuat manusia sendiri. Keburukan apakah itu? apakah festival adat, atau mungkin cuman karena konser musik? Argumen-argumen tersebut terlalu sempit.
Mari melihat perilaku KKN pejabat dan anggota legislaatif yang kerap dilakukan dengan kerjasama yang sangat rapi, atau hutan-hutan yang digunduli, limbah-limbah yang dibuang ke sungai, udara yang dicemari, sampah-sampah plastik hasil limbah rumah tangga yang numpuk di laut, karang-karang yang dihancurkan, laut-laut yang ditimbuni, direklamasi, ketimbang ditanami dengan bakau-bakau yang terbukti melindungi. Kita terlalu fokus pada kemungkaran-kemungkaran personal dan abai dengan kemungkaran berjamaah yang jauh lebih merusak dan boleh jadi membikin Tuhan jengah.
Konsep muhasabah inilah yang kini juga melahirkan wakil-wakil Tuhan yang baru yang mengumumkan secara spesifik ini bencana karena apa dan ulah siapa. Tuhan menginginkan kita memuhasabah diri masing-masing dan bukannya menuduh penuh keyakinan pada yang terkena musibah. Kita terkadang terpolarisasi dalam sebuah kebiasaan mencari-cari keburukan dan kesalahan mereka yang terkena bencana dan mengabaikan segala apa pun kebaikan mereka di dalamnya. Kita lupa, bahwa boleh jadi, bencana yang Tuhan timpakan ke Lombok, Palu dan terakhir ini di Banten adalah sebagai wake up call dari Tuhan untuk orang-orang di Sulawesi, Kalimantan, Jakarta, Bandung hingga Jogja yang masih nyenyak tidur malamnya namun sangat senang berbuat kemungkaran. Tuhan mungkin juga memilih mereka sebagai martir untuk menebus dosa-dosa dan keburukan kita di daerah lain yang hari-harinya masih cerah bahagia.
Atau boleh jadi bencana ini memang murka Tuhan. Murka Tuhan pada manusia-manusia Indonesia yang diberi karunia akal dan ilmu pengetahuan tentang bencana tapi masih saja memaksakan pembangunan yang tak berwawasan bencana sama sekali. Tuhan seolah jengah selalu diabaikan oleh hamba-hamba yang sanngat disayanginya. Berulang kali Tuhan memberi pelajaran namun berulang kali pula kita lebih mengutamakan investasi dan anggaran serta nyawa yang kadang jadi prioritas kesekian. Yang lebih ngeri, boleh jadi, di depan, ada murka bencana Tuhan yang jauh lebih dahsyat menanti, apalagi ketika banyak di antara kita yang kini sudah pede mewakili Tuhan. Bahar Smith saja ngamuk sampai bonyok-bonyokin orang yang ceramah dan ngaku-ngaku jadi dia, apalagi ini ngaku jadi wakilnya Tuhan? Ingat, untuk urusan azab, takdir dan bencana, Tuhan tak perlu diwakili.
Sumber gambar: http://lampung.tribunnews.com/2019/01/02/
Pria kelahiran Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan ini adalah alumnus dari UIN Alauddin Makassar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saat ini salah satu kesibukan utamanya adalah sebagai ASN di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bantaeng. Juga sebagai Direktur Ranu Prima College cabang Bantaeng dan inisiator Ikatan Guru Indonesia ( IGI ).Bantaeng. Dan, bergiat di komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Telah menerbitkan buku Sawah dan Kebun Kurma di Tengah Laut (2019) dan Mengikat Rindu di Ranting Rapuh (2019).