Pendar Literasi di Pucuk dan Akar Tahun

“Semuanya ini menimpamu karena aku. Badai bulan Desember… Desember.” (Ucok Aka Harahap)

“Januari… Januari yang biru. Asmaramu asmaraku membisu.”  (Andi Meriam Mattalatta)

“Badai Bulan Desember”, tembang rock bernada lembut dari Ucok Harahap, personil  AKA, group band rock legendaris, senantiasa menghidu saya, manakala memasuki bulan Desember. Tak kecuali tahun 2018. Tapi, siapa tertimpa dan penimpanya? Saya hanya menyodorkan tembang ini sebagai metafor semata.

Selaku pegiat literasi, di pucuk tahun 2018, saat Desember menyata, saya diterungku badai literasi. Selama bulan itu memanjangkan masanya, sederet aktivitas literasi saya setubuhi. Jiwa dan raga saya, berkali-kali bersua orgasme literasi. Tak jelas lagi, siapa yang menimpa dan apa yang tertimpa badai literasi. Apakah saya pengusung badai literasi, ataukah saya tersapu badai literasinya bulan Desember.

Berderetlah penggalan-penggalan badai literasi itu. Baru saja Desember unjuk waktu, tepatnya Ahad, 2 Desember 2018, saya sudah mengkhusyukkan diri pada satu even literasi, turut menjadi pembincang, bertajuk Diskusi Kampung Budaya. Penyelenggaranya, Komunitas Pakampong Tulen (Komplen) Bantaeng. Tema percakapannya, “Tunrung Tallau dalam Bentuk Penyajian dan Perspektif Sakralisasi”. Bertempat di halaman rumah, seorang warga, jalan Lingkar Bissampole Bantaeng. Pun, didukung oleh sekaum pegiat literasi, tergabung dalam Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Wakil Bupati Bantaeng, H. Sahabuddin, hadir mensahkan helatan.

Adakah sawala budaya itu punya sangkut paut dengan literasi? Pastilah ada. Sebab, yang diperbalahkan pada sawala itu, merupakan hasil skripsi dari salah seorang pentolan Komplen, Iswandi Idrus, ketika masih menempuh pendidikan terakhirnya di Jurusan Sendratasi, Fakltus Seni dan Desain, Universitas Makassar. Apatah lagi, rekomendasi diskusi itu, peserta mengharapkan skiripsi  itu, setelah mengalami pengayaan lewat even ini, diterbitkan. Ini penanda literasi, semacam literasi budaya.

Dua hari kemudian, Selasa, 4 Desember 2018. Bertempat di Kafe Taman Perintis Tamalanrea, Makassar, ada hajatan diskusi, sebagai rangkaian dari satu dekade Rumah Baca Philosophia. Saya pun didapuk selaku  pembicara, bersama Nurhady Sirimorok, sosok penulis produktif, guna mempercakapkan satu tema,”Geliat Literasi di Makassar”. Pun esok malamnya, masih rangkaian hajatan, mendengar orasi kebudayaan dari Alwy Rachman, seorang kuncen budaya, berjudul, “Literasi Tiga Jendela”. Setelahnya, percakapan informal berlangsung hingga larut. Memperbalahkan moncernya gerakan literasi, khususnya di Sulawesi Selatan.

Badai literasi belum juga reda. Tiga hari berikutnya, Sabtu, 8 Desember 2018. Terlibat dalam pusaran Launching dan Diskusi buku, Imajinasi-Imajinasi Sosial, anggitan Sawedi Muhammad, dosen Universitas Hasanuddin. Berlokasi di Warkop Bundu, Jalan Hertasning, saya bersama seorang penulis produktif, Saprillah Syahrir Albaqunie, membedah buku tersebut.

Masih dalam keadaan teler, akibat badai literasi. Dua hari kemudian, Senin, 10 Desember 2018. Perhelatan literasi menyata lagi. Diajak untuk mempercakapkan buku baru dari Fadli Andi Natsif, pengajar  di Universitas Islam Alauddin Makassar, berjudul, Ketika Hukum Berbicara. Saya bersama seorang advokat, Farid Wajdi, menimbang sekumpulan pikiran dalam bentuk esai-esai dalam buku tersebut. Arenanya unik, merupakan sarang pegiat literasi, Dialektika Coffe & Bookshop Samata, depan pintu 2 Universitas Islam Alauddin Makassar.

Untuk sementara badai literasi itu reda. Saya pun meninggalkan Kota Makassar, menuju Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Menghadiri perkawinan ponakan saya. Ini sebentuk liburan. Lari dan menghindar dari badai litersi di Bulan Desember. Lebih sepekan saya berlibur.Tapi apa lacur, badai itu ikut ke arena perkawinan. Betapa tidak, saya bersua dengan beberapa orang, sekotahnya menanyakan aktivitas literasi. Bercakap di sela-sela hajatan pernikahan. Mereka adalah anak-anak yang pernah bersentuhan dengan Paradigma maupun Papirus. Memang  kedua intitusi ini, sejatinya adalah toko buku, namun ada komunitasnya. Dan, saya penanggung jawab akan dua komunitas itu. Ini serona reuni komunitas literasi.

Sepulang dari Pomalaa, langsung diterjang badai. Terjanganya lumayan menyita tenaga. Menggawangi sawala buku pasangan saya, Mauliah Mulkin,  Metamorfosis Ibu. Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, 22 Desember 2018, sawala buku ini digelar. Berlangsung di Kafe Taman Perintis Tamalanrea Makassar. Saya tidak ambil bagian dalam percakapan. Sudah ada 3 orang pembincang. Alwy Rachman, A.Olle Mashurah, dan Hernita Rachman. Mereka sangat khusyuk  mempercakapkan buku itu. Meski hujan deras mengiringi sawala, tidak menyurutkan hasrat para pencari pengetahuan kepengasuhan, literasi parenting. Saya hanya menjadi panitia di hajatan ini. Nyaris jadi ketua panitianya.

Sepekan kemudian, saya ke Bantaeng. Sabtu, 29 Desember 2018, di Aula Kantor Desa Bonto Jai, siang hingga sore, berlangsung perhelatan “Sekolah Literasi Desa”. Pemerintah Desa Bonto Jai, lewat kepala desanya, Amiluddin Aziz, bercita-cita menjadikan desanya sebagai desa literasi. Karenanya, gagasan ini dihadirkan. Saya ikut menyumbang gagasan pada helatan ini, bersama dua pegiat literasi lainnya, Aziz Ambae, dan Dion Syaef Saen.

Setiba malam minggu. Ada lagi undangan untuk membawakan orasi kebudayaan dari Rumah Baca Panrita Nurun. Mengambil tempat di sekretariatnya, pada halaman rumah, Dusun Borong Ganjeng, Desa Tombolo, Gantarangkeke Bantaeng. Tema orasinya  amat provokatif, “Literasi dan Perubahan Sosial”. Ratusan penghadir malam itu. Mulai dari anak kecil, remaja, pemuda, dan orang tua. Tokoh masyarakat dan tokoh agama tak ketinggalan. Jajaran pemerintah kecamatan dan desa, hadir menguatkan acara refleksi akhir tahun itu. Penyelenggaranya, komunitas literasi dan karang taruna.

Seolah badai pasti tidak berlalu. Badai literasi mendekat lagi. Pada hari berikutnya, Ahad malam, KPU Bantaeng mengajak untuk berbalah lewat acara NGOPI (Nobrol Pemilu), berlokasi di halaman kantor KPU. Hajatan ini mempercakapkan, “Pemilu yang Berintegritas untuk Indonesia yang Bermartabat”. Ada tiga narasumber. Muhammad Saleh (Ketua Bawaslu Bantaeng). Hamzar Hamna (Ketua KPU Bantaeng, dan saya selaku Pegiat literasi. Topik bagian bincang saya seputar, pemilu berintegritas dalam perspektif pegiat literasi.

Perkiraan saya ternyata meleset, seperti perkiraan cuaca, kadang kurang akurat. Saya bersiap menikmati pekan terakhir bulan Desember. Berharap badai literasi benar-benar reda. Hanya satu soal masih mengganggu, penasaran menanti kedatangan buku Literasi dari Desa Labbo yang sudah selesai cetak di Yogyakarta. Bimbang dalam penantian. Tiada kepastian waktu datangnya. Gelombang pengiriman barang di akhr tahun melonjak. Banyak kiriman antrin. Saya bagai menanti balasan surat cinta, ketika remaja dulu.

Kala kebimbangan membuncah, tetiba saja ada permintaan yang sulit saya tolak. Saya diinterupsi oleh  Abdul Rasyid Idris, seorang penulis produktif, sekaligus penulis tetap di Kalaliterasi.com.  pada rubrik “Kembara”. Sesarinya, permintaan itu merupakan wujud dari rencana lama, tentang akan menerbitkan satu buku kumpulan esai, berlapik rubrik ini. Dan, buku tersebut diberi judul Perjalanan Cinta. Saya kebagian menulis epilog. Sebagai pemimpin redaksi, saya kesulitan menghindari ajakan itu. Maka epilog pun saya torehkan. Buku ini sementara proses cetak. Perkiraan, Februari nanti bisa diluncurkan. Tunggu saja undangannya.

Penantian saya berpucuk. Kiriman buku dari Yogyakarta tiba di mukim saya pada hari Sabtu, 29 Desember 2018. Hari itu juga saya minta agar dikirim ke Bantaeng. Ahad sore, 30 Desember 2018, saya dan Kepala Desa Labbo, Sirajuddin Umar, bertandang ke Rumah Jabatan Bupati, menemui Bupati Bantaeng, Ilham Azikin, guna membincang acara launching dan dan diskusinya. Sepakatlah kami menggelar acara pada Sabtu, 5 Januari 2019.

Badai bulan Desember berlalu jua. Badai literasi dicukupkan pada pucuk bersua bupati dan hajatan KPU Bantaeng. Tanggal 31 Desember 2018, saya berkeliling kota Bantaeng saja, melebarkan pikiran, melapangkan hati. Malam tahun baru saya habiskan dengan tidur panjang. Rasa-rasanya saya tidur selama setahun. Saya tidur setelah tunaikan Isya di tahun 2018, nanti  terbangun sekira pukul 02.00 di tahun 2019. Tak ada suara terompet, letusan petasan, raungan suara kendaraan, dan gemerlap kembang api saya saksikan. Apatah lagi, memang malam pergantian tahun di Bantaeng, pemerintah daerah menghimbau masyarakat agar tidak pesta, melainkan diisi dengan zikir dan doa.

1 Januari 2019. Tatkala terjadi pertengkaran antara subuh dan pagi hari, saya dijemput oleh oto langganan saya kembali ke mukim, Makassar. Sejatinya saya akan menunggu hingga 5 Januari 2019, saat launching dan diskusi buku Literasi dari Desa Labbo. Namun saya putuskan balik. Sebab, bila saja saya tinggal menanti, besar kemungkinan permintaan epilog buku Abdul Rasyid tidak selesai. Setiba di mukim, saya istirahat sepanjang hari. Saya diwanti-wanti oleh editor dan penerbit, agar paling lambat, Kamis, 3 Januari 2019 epilog sudah ada. Tepat batas waktu yang dipatenkan, epilog itu tunai sudah. Bagi saya, ini awal tahun yang baik. Pekan pertama Januari sudah mekar bunga literasinya.

5 Januari 2019 pun tiba. Di hari Sabtu itu, mengambil lokasi di Aula Kantor Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu Bantaeng, hajatan launching dan diskusi buku Literasi dari Desa Labbo digelar. Penghadir lebih 150 orang, berdasarkan daftar hadir yang diedarkan. Saya ikut mempercakapkan buku, bersama Ilham Azikin (Bupati Bantaeng), Sirajuddin Umar (Kepala Desa Labbo), dan seorang perwakilan penulis, Hamsir Jaelani. Sebagai penyunting buku ini, saya amat terharu dan bahagia. Pun, para penulis juga demikian.

Ilham Azikin, menggunting lilitan pita pada buku Literasi dari Desa Labbo, menandai resminya buku ini beredar. Ungkapan bangga dan bahagia turut ia tuturkan. Berharap desa lain meniru capaian Desa Labbo. Ditegaskannya, pemerintah kabupaten, lewat kewenangan strukturalnya, akan mendukung gerakan literasi ini. Jika pemerintah lewat  jalur struktural, maka pegiat literasi menempuh  jalan kultural dalam memoncerkan gerakan literasi. Ibaratnya, bertautlah dua sejoli dalam asmara. Asmaramu dan asmaraku.

Tertautlah saya pada satu tembang dari Andi Meriam Mattalatta, bertitel “Januari yang Biru”. Potongan syairnya menggugah kalbu, “Januari , januari yang biru. Asmaramu asmaraku membisu.” Asmaramu (struktural) dan asmaraku (kultural), memang masih seperti membisu. Tapi sesungguhnya  menyatu dalam tubuh Bantaeng. Masyarakat literasi Bantaeng.  Dalam kebisuan, sesungguhnya ada kedalaman hasrat meliterasikan warga Bantaeng.

Januari 2019 memang ranum. Mempertemukan asmara literasi, tindakan struktural dari pemerintah daerah dan aksi kultural pegiat literasi.  Waima awalnya ditandai  “Badai Bulan Desember”, badai literasi berakhir di pucuk tahun, namun “Januari yang Biru”, hadir sebagai akar. Gerakan literasi kembali mengakar di Januari yang biru. Itulah pendar literasi, menghidu saya di pucuk dan akar tahun. Bagaimana dengan kisanak dan nyisanak?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *