Di kedai kopi ini kulihat butiran hujan sedang bercumbu dengan jendela dan sejenak kemudian ingatanku terbayang olehnya.
***
Ingatanku kembali ke masa itu, kala saya jatuh hati pada seorang gadis pemilik senyuman yang indah, seindah mentari pagi yang terbit di celah bukit hijau nun ufuk timur sana. Pertama jumpa padanya saat kongkow-kongkow di kedai kopi langganan, kala itu ia mengenakan sweter hitam dipadupadankan dengan celana jeans tiga perempat dan sepatu kets. Gadis itu sedang asyik-masyuk duduk di dekat jendela dan menikmati secangkir cappuccino.
Di jemari tangannya kulihat ia sedang membaca sebuah buku, dari sampulnya sepertinya itu karya yang kurang familiar dibaca generasi milineal. Ernest Hemingway – The Old Man and The Sea, sebuah novella—novel pendek—yang ditulis pada tahun 1951 dan diterbitkan setahun kemudian, novella itulah yang membawa seorang Ernest Hemingway meraih nobel sastra di tahun 1954.
“Suka karya klasik juga yah?” kala itu saya langsung menghampiri gadis itu, dan duduk di hadapannya. Sejenak ia memandangiku dengan tatapan yang menyiratkan penuh tanya.
“Maaf sebelumnya kalau mengganggu, saya Yudha Pratama mahasiswa sejarah semester enam,” sahutku kemudian menjulurkan jemari ku. Awalnya gadis di hadapanku itu tampak ragu menggapai salamanku—tapi yah menurutku itu wajar, seorang gadis tetiba saja dihampiri seorang pria yang tak dikenal—namun selanjutnya ia pun menyambut uluran tanganku.
“Oh, maaf namaku Andiyaald Arkais,” sahutnya singkat, tentunya setelah kami bersalaman.
Lantas saya kemudian memesan secangkir cappuccino, sama dengan pesanannya. Tapi patut saya tekankan di sini bahwa sedari dulu saya memang gandrung akan minuman tersebut—cappuccino, espresso yang ditaburi buih susu. Bukan lantaran ikut-ikutan dengan gadis di depanku atau sekadar memberikan tanda bahwa “kita punya selera yang sama!”
“Maaf sebelumnya, saya tertarik dengan bacaan kamu, Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea. Sangat jarang menemukan perempuan muda membaca karya klasik seperti ini, biasanya sih gadis cantik sepertimu menyukai karya metro pop seperti Tetralogi Empat Musim-nya Illana Tan atau seri unyu-unyu nan baper-nya Trilogi Dilan karya Pidi Baiq,” sahutku, lantas gadis di hadapanku itu kemudian tersenyum, senyuman yang menghangatkan hati.
“Kamu bisa saja, saya memang suka membaca karya klasik, seperti Leo Tolstoy, Edgar Allan Poe, dan Hemingway. Tetapi tidak menandakan saya tak menyukai karya-karya sastra era milenial, Trilogi Dilan-nya Pidi Baiq saya senang membacanya, lucu dan menggemaskan. Andrea Hirata dengan Tetralogi Laskar Pelanginya saya suka juga, penuh inspirasi. Gadis Kretek karya Ratih Kumala juga saya pernah membacanya, dan termasuk karya fenomenal Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka.”
“Kalau baca cerita pendek?! Kamu juga suka?” tanyaku padanya, sesaat setelah menyeruput secangkir cappuccino.
“Iya, saya suka juga baca cerpen, terutama cerpen-cerpen yang diterbitkan di koran,” sahut gadis itu lalu menyeruput secangkir cappuccino di hadapannya. Lantas hujan di luar semakin menderas.
***
Di luar sana memang hujan semakin menderas, entah kapan akan berhenti, secangkir cappuccino di hadapanku sisa setengahnya, bulir-bulir hujan pun masih enggan menghentikan persetubuhannya dengan kaca jendela, dan kembali ingatan itu tertuju pada gadis bernama Andiyaald Arkais.
***
“Namamu tuh sastra banget yah?” tanyaku sekadar basa-basi dengannya, Andiyaald Arkais hanya tersenyum sembari bergelayut manja pada lengan kiriku, sedang jemari kananku menggenggam erat payung yang melindungi kami dari derasnya hujan.
“Kamu tuh bisa saja deh, namaku tuh tidak sastra banget. Kamu tuh yah basa-basi nya terkesan maksa banget.”
“Hahaha…,” saya hanya tertawa mendengarkan penuturannya, kadang kuberpikir mengapa kedua orang tua kekasihku itu menyematkan kata arkais yang memiliki arti ‘sesuatu—berhubungan dengan kata—yang tak lazim lagi diguakan’ seperti sekotah, tinimbang, memiuh, tafakkur, mentadaburi, dan seterusnya. Tapi menurutku kata yang tak lazim jika ditambatkan dalam tiap-tiap kalimat akan menambah daya tarik dari tulisan itu sendiri?! Toh menurutku tulisan akan terlihat seksi jika bertabur kata-kata klasik.
“Hahaha iya deh!, nama mu tuh unik nan seksi,” godaku padanya. Hujan pun semakin menderas, kami pun berjalan dengan khidmat menyusuri jalanan setapak menuju kampus.
***
Mungkin sudah lebih sejam saya menunggu hujan yang tak kunjung reda, guntur di luar sana juga semakin menggelegar, percumbuan butiran hujan dan jendela semakin menjadi-jadi, cappuccino di cangkir perlahan mulai mencapai dasarnya. Ingatan itu kembali menyeruak bersama aroma kopi di dalam kedai ini.
***
Saya masih ingat betul, kala jalinan cinta sudah hampir setahun, di semester delapan kami mulai disibukkan dengan urusan skripsi. Saya sedang mengkaji tentang perjalanan sejarah kesusesteraan di Indonesia, sedang kekasihku sedang membuat skripsi tentang antropologi budaya masyarakat pesisir. Walaupun disibukkan akan urusan menyelesaikan studi, tapi hubungan asmara kami baik-baik saja, di tiap ada kesempatan kami selalu bertukar kabar, saling menyemangati, dan tentunya menyisihkan waktu untuk merenda kasih, biasanya sih di akhir pekan menyempatkan nonton bioskop atau piknik ke taman kota, hitung-hitung juga mengendorkan urat syaraf yang dikarenakan tetek-bengeknya kehidupan mahasiswa tingkat akhir. Kadang kami juga kerap mengunjungi diskusi-diskusi literasi yang mulai marak.
Sewaktu berkencan di taman kota, kekasihku, Arkais sempat menanyakan kepadaku mengenai keseriusan hubungan asmara yang telah kami jalani. Apakah saya menganggap hubungan yang telah lama terjalin ini hanya sebatas having fun realationship ataukah sebuah hubungan serius yang nantinya akan bermuara pada pelaminan.
“Yudha, kamu sebenarnya seriuskan sama saya?” tanya Arkais yang merebahkan kepalanya di pangkuanku.
“Iya, saya serius,” sahutku sembari mengusap-ngusap rambutnya.
“Kalau begitu, datangi ayah saya kala kita sudah sarjana nanti,” sahutnya, ia memandangi sepasang bola mataku dengan begitu sendunya.
“Itu berarti kamu meminta saya tuk melamarmu?” tanyaku padanya, ia kemudian tersenyum, lalu entah kenapa ada sebuah keraguan yang tetiba mengganjal di hati.
***
Kini perlahan hujan di luar sana mulai mereda, sedang saya masih terpaku di kedai kopi ini sembari mereduksi masa lalu. Saya masih ingat dua bulan selepas sarjana, kuberanikan diri memberitahukan ayah, di depan halaman gereja saya menceritakan maksud untuk mempersunting gadis pujaan hati. Ketika kusampaikan ihtibar itu, ayah begitu senang bukan kepalang, ia menunjukkan gelagat untuk sesegera mungkin saya melamar kekasihku.
“Oh! Ternyata kamu punya pacar toh? Saya kira selama ini kamu menjomblo?! Rupanya kamu diam-diam menjalin kasih tanpa sepengetahuan ayah! Kata anak muda sekarang, backstreet.”
“Iya Ayah, nama kekasihku itu Andylaad Arkais, perempuan cantik yang sudah dua tahun lebih kupacari, saya bermaksud untuk mempersuntingnya.”
“Yaudah cepat lamar ia, ayah senang loh sekaligus kaget, senang karena kamu memutuskan tuk berumah tangga dan pada akhirnya memberikan saya cucu yang menggemaskan, sekaligus kaget karena selama ini kukira dirimu itu masih jomblo!”
Saya tertawa mendengarkan penuturan ayahku, di depan gereja sehabis kebaktian kuceritkana siapa gadis yang telah kutambatkan perasaanku padanya. Ayah hanya senyam-senyum mendengarkan anak semata wayangnya berkisah, wajahnya begitu merona bahagia, hingga pada akhirnya air muka bahagia itu berubah masam tatkala ayah mengetahui bahwa gadisku, Arkais, seorang muslim.
“Apa!!!” Seru ayahku.
“Iya Ayah, kekasihku itu seorang muslim,” sahutku datar.
Sejenak ayahku berpikir, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.
“Apakah ayah kekasihmu juga sudah mengetahui bahwa kamu memiliki keyakinan berbeda dengan-nya?”
“Tidak Ayah, sejauh ini ayah kekasihku hanya mengetahui bahwa saya dan Arkais pacaran. Pun ayah Arkais tak pernah menanyakan keyakinanku.”
“Jikalau ayah kekasihmu mengetahui jikalau anaknya menjalin asmara dengan lelaki berlainan keyakinan dan hendak mempersunting anak gadisnya, maka saya yakin ayah kekasihmu itu tak setuju. Kecuali kalau kau berpindah keyakinan. Nak, sebaiknya lepaskan saja ia, mencintai makhluk Tuhan itu baik, tapi di atas segala-galanya mencintai Tuhan jauh lebih baik,” sahut Ayahku, ia lantas menepuk pundakku dan berlalu meninggalkanku yang berdiri terpaku.
***
Kini hujan di luar sana telah berhenti, langit telah menuntaskan rindunya pada bumi. Sedang saya hanya menghela nafas panjang.
“Yah, bagaimanapun cinta itu suci, tapi apadaya diriku tak dapat mempersuntingmu kala itu, karena ada tembok yang memisahkan kita bernama agama,” sahutku pada diri sendiri sembari memerhatikan—melalui jendela—keadaan di luar sana, kulihat aspal masih basah oleh hujan di Bulan Desember.
-Sungguminasa, 10 Desember 2018-
Teruntuk : Hamsinah, Vindensia, Ima, Nugi’, dan Nur Qalam (Siswa SMAN 1 GOWA) serta untuk Yudha Pratama dan Shanti Palebangan (Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNM).
Sumber gambar: https://www.deviantart.com/eltonydereims/art/Separation-douloureuse-painful-separation-772420909
Ilyas Ibrahim Husain adalah nama pena dari Adil Akbar. Alumni S1 dan S2 Pendidikan Sejarah UNM. Pernah menjadi guru di SMAN 1 GOWA dan SMAN 3 MAKASSAR. Pun mengajar di SMAN 2 MAKASSAR dan SMKN 10 MAKASSAR
subhanallah… sedih bangat
sedih bangat