Rasa yang Hidup di Kelut Hati

Apa kabar sang pemilik hati ?

Denting nada masih mengumandang dari ufuk timur. Ayam-ayam menyapa ‘kita’ yang masih terlelap tidur, dan sebagian makhluk jelata ada yang menjelajah, menunda buana, serta tersungkur. Para pemabuk terkapar di jalanan atau tentang rumah pantai yang akan kita tempati tempati untuk memenanam rindu kepada jarak.

Mentari pun mengkedokan cahayanya, seinci demi seinci mulai memasuki jeda jendela yang terbuat dari kaca-bersolek penuh pesona. Butiran air benih embun di rerumputan hijau membawa riuh angin sejuk ke dalam diri yang terbungkus ‘kain sutra’ “sontak-sontak diri, betapa dinginnya suhu pagi.”

Pagi bernuansa, memainkan rasa yang kian tumbuh membumbung tinggi, bak embun dengan mentari selalu merindu dalam lirih. Membuai jiwa-jiwa dalam petikan lagu. Hingga mendendangkan rindu yang menjelma di kelut hati. Gilasannya teramat sedikit dan sangat menyemit hingga sipit, sedangkan netra-Nya berlika-liku di tiap lekuk gerakmu.

“Bangunlah, bangun !! Rindu yang terbenam saat malam yang berkesimpuh kepada adzan subuh.”

Ada rahasia yang takjub kepada Tuhan yang Maha Esa, para malaikat pun turun membawa teka-teki dan hadiah di ‘sunrice’ yang menanti. Ini adalah hari yang panjang bahwa kita mengambil dua, bukan hanya kau dan aku yang akan kita kenali, lebih banyak ‘insan’ di dunia bisa di ambil cuti. Juga bagai angin yang memberi kesejukan kedati serta tak pernah ternampak dari luput gengaman.

Daun-daun yang berseliweran dan berguguran di halaman, telah rela tersapu angin tanpa arah tujuan. Lalu, mengungkir kata itu di hamparan padi basah tempat senyum mendarat di hati, kemudian terbang tinggi melewati jendela rasa yang hinggap, dan berkeciap menjelma menjadi burung-bung yang melantungkan “kerinduan”

***

Kukecup udara dengan aroma kopi yang melekat hinggap di pinggir-pinggir bibir. Aroma doa pun merasuk-masuk ke pelupuk paru-paru hingga tembus ke dalam hati.

“Aku mengamini doamu tentang menua di suatu bukit atau di tepi pantai.”

Langit putih lazuardi memodifikasi rasa yang menjeletup di kelut hati. Melati pun memandang hati pada bulan januari. Aku merumuskan teka-teki dan matematika untuk lika-liku jalan menuju pintu hati. Dengan begitu, logika untuk kau lupakan, tidak mudah seperti membalik telapak tangan untuk mencari kebebasan mengonta-ganti hati.

Kita masih dalam luka dan kerinduan yang sudah cukup lama menetap diam terpenjara oleh hati, sedih pun tak akan mampu mengubah ke adaan untuk hari kedepan.

“Aku pikir kamu tidak akan lelah, kamu tidak akan bosan berbicara denganku setiap harinya. Aku pikir kamu akan tinggal di dalam lubuk hati berabad-abad tahun lamaynya.”

Di penghujung sudut kamar dengan secangkir kopi yang kuracik di atas meja tak beralas. Tiba-tiba ilusinasi mendobrak dinding batok kepalaku. Gelas kaca yang kugenggam pecah begitu saja. Ada sampiran kaca yang menghadang kesadaraan batin, hingga lunglai dalam suara mistik. Lalu mengucap, “Astagfirullah”. Terlahir namun lupa bagaimana caranya merindu. Sementara aku mengurai serpihan-serpihan kaca itu, hingga menggores ujung telunjuk jemariku.

“Apakah kau terluka ?” ujar seseorang kekasih dari ujung dapur.

Mencucur darah dari goresan yang meleleh di sela-sela jemariku hingga ke telapak tanganku. “Apa kau perlu aku obati, Wahai ! pemilik hati ini ?”

“Ya tentu, aku butuh di obati. Sebab, iman dan ilmu yang akan menuntun dan menguatan pergelangan tangan untuk menggenggammu menjelajahi bumi. Dengan menulis, aku bisa mengandeng-mu menuju hidup abadi !! di pangkuan ilahi rabbi.”

Senja pagi yang sedang mengobati luka di jemari. Kulihat dari ratap matamu yang menyimpan sejuta pancaran cahaya yang sejuk menghipnotis hati. Serupa sedang memahami teka-teki terbesar yang telah melipur gundah di hati, melukis sederet aksara yang berbait puisi. Berada di dekatmu, aku merasa kedamaian di dalam hati yang bertubi-tubi menghancurkan sebuah ilusinasi. Dan di hatimu adalah rumah ternyamanku, seolah-olah dunia hanya ada, hanyak untuk kita berdua, segala keluh-luluh dan rasa sakit-pun bisa membuatku sembuh dalam mimpi.

Tiba-tiba…..

“Cukup Sudah !! Waktuku telah habis. Saatnya aku pergi.” Kau acungkan jari telunjukmu di antara wajahku yang sedang berilusi.

Membalik tubuh yang pesonamu itu dan membelakangiku serta terus melangkah jalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Kau tinggalkan aku yang menyendiri diselimuti sepi, dan hanya rindu yang men-sweeping hati setelah engkau pergi jauh dari alam sadarku, mengiris-menyayat-menebus ‘Fuad’ yang dingin dan basah. Tersentak aku terbangun kaget…

“Nyatanya, kau hanya mimpi !! Ya, semuanya hanya mimpi yang menyulam di kelut hati. Dasar penipu, Tau-kah kau ketika rasa ini tumbuh di dalam hati ? Dasar kau, Penipu hati !!”

Kini, aku terbangun di mimpi bulan Januari. Meski mentari sudah menghangatkan bumi, hati sudah tertusuk onak yang berduri, dan ‘aku tidak ingin berhenti bermimpi, jika berhenti !! pasti rasa di dalam hati telah mati, dan kamu ternyata hanyalah bayang-bayang yang terbenam dalam angan-angan ilusi antara sadar dan tak sadar. “Kau boleh dengan yang lain, tapi jangan engkau berikan hati-mu kepada orang lain.”

Meskipun semua itu hanya mimpi, aku masih bersamamu yang telah hidup di kelut hati. Karena entah bagaimana, kadang-kadang dalam hidup ini, aku bisa mengalami terluka dan bisa merasakan sakit yang menyebar di nadi-nadi-ku saat pagi dini.

“Ketika aku bukan apa-apa, tapi aku bisa terluka.”

 

Sumber gambar: https://www.deviantart.com/cameliabaican/art/The-Shadow-Woman-762706432

One thought on “Rasa yang Hidup di Kelut Hati”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *