“Inilah harta yang sebenarnya. Kemanapun kita pergi ada tanaman. Ada makanan yang tumbuh. Aku petani dan anak petani dan inilah yang kumengerti. Dibandingkan dengan tanah miskin kita yang sulit berkebun. Sulit untuk hidup. Jika kita hidup di sini, kita bisa memberi makan semuanya. Takkan ada kelaparan.’’
Dialog di atas diucapkan Ragnar—tokoh utama dalam cerita serial film Vikings. Ragnar sebelumnya adalah seorang petani biasa. Berbekal sebuah kompas sederhana ia mencoba menantang maut bersama beberapa teman untuk mengarungi lautan demi mencari sebuah daratan di wilayah yang disebut dengan ‘’barat’’.
Bukan keberhasilan menemukan jarahan baru berupa emas yang banyak yang diinginkan Ragnar, tetapi jauh dari itu semua adalah tanah dan itu tidak mudah. Ada darah yang harus dibayar lewat perang karena pada dasarnya tidak ada yang ingin lahannya dikuasai begitu saja.
Ragnar tidak seperti kebanyakan orang viking atau kepala suku yang hanya berpikir untuk sebatas menjarah harta berupa emas dan perak. Ia berpikir jauh kedepan bahwa pertanian adalah masa depan yang sesungguhnya. Itu yang ia pertaruhkan makanya menantang maut ingin ke Barat.
Lewat pertanian tidak akan ada lagi kelaparan dan tidak perlu lagi berperang. Begitu kira-kira pikiran Ragnar. Ia seperti membaca masa depan melampaui masanya bahwa perang akan sumber daya akan jauh lebih ganas.
Melangkah ke masa kini nyatanya ‘’perang’’ terhadap kepemilikan tanah masih subur terjadi. Petani-petani harus berhadap-hadapan dengan pemilik modal yang berlindung di balik jubah negara beserta aparatnya.
Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator KPA Wilayah Sulsel, di situs Mongabay Indonesia menjelaskan pada 2017 lalu terdapat 659 kejadian konflik agraria dengan luasan 520.491,87 Ha dan melibatkan 652.738 KK.
Sementara itu, Federasi Petani Sulsel mencatat terdapat 37 kasus kriminalisasi atas petani dan pejuang agraria di sejumlah daerah, antara lain di Kab. Takalar, Gowa dan Soppeng pada kurun waktu dari tahun 2016 sampai 2018.
Tentu saja ada dampak dari masifnya perebutan lahan ini. Ini bisa kita lacak dari hasil wawancara saya dengan Dg Lili (35 tahun), warga Takalar yang mengadakan aksi dalam rangka Hari Tani Nasional tahun 2015 lalu. Ia mengaku tidak bisa lagi bertani karena lahannya diambil alih oleh pihak PTPN XIV.
“Lahan saya diambil. Saya sekarang tidak bisa bertani lagi. Saya tidak tahu lagi harus kasih makan apa anak-anak ku,”ungkapnya.
Sebagaimana Ragnar, Jokowi sebagai pemimpin Indonesia saat ini perlu melihat lebih jauh bahwa kedepan perang yang nyata dan terbuka yakni soal perang ekonomi terutama pangan.
Prediksi jumlah penduduk dunia saat mengalami krisis energi pada tahun 2043 mencapai 12.3 miliar jiwa yang berarti hampir 4 kali lipat populasi ideal penduduk Bumi. Konsekuensinya pemenuhan kebutuhan energi, pangan dan air juga meningkat.
Data tersebut mestinya menjadi alarm bagi Jokowi bahwa pemerintah tidak bisa hanya tinggal diam menjadi penonton. Sebab semua negara akan berlomba mencari makan dan energi.
Sementara secara jelas di depan mata bahwa pemerintah seringkali berpihak ke perusahaan yang ingin menguasai lahan, kemudian mengumpulkan pundi rupiah untuk dinikmati segelintir orang saja. Bukan untuk penguatan pangan.
Reforma agraria sejatinya menjadi salah satu jalan agar konflik lahan bisa teratasi dan penguatan pangan bisa dicapai. Apalagi jika menilik program Nawacita butir ke-5 pemerintahan Jokowi-JK soal agenda Reforma Agraria ini telah menjadi prioritas kerja nasional dalam pembangunan Indonesia melalui Perpres No.45/2016.
Inti dari pembaruan agraria adalah redistribusi kepemilikan dan penguasaan atas tanah. Reforma Agraria akan membuat akses petani untuk mendapatkan tanah semakin besar. Mencegah ketimpangan pemilikan atas tanah. Intinya perlu kesungguhan pemerintah untuk berpihak ke petani agar mereka bisa mengelola lahan secara lebih merdeka.
sumber gambar: http://www.deviantart.com/sunrise666/art/Indonesian-rice-field-409979378