Selain menjadi judul, kalimat di atas juga merupakan sebuah lapangan pekerjaan yang dengan senang hati akan saya lakukan. Andai saja saya tidak terikat kontrak dengan pekerjaan sekarang atau jika saja ide ini datang di saat saya mengais-ngais tumpukan harapan pekerjaan selepas menjadi alumni perguruan tinggi negeri terujung. Namun ide brilian ini saya dapatkan dengan cara tidak mudah, walau saya beri judul dengan alasan rating pembaca, itu mudah. Saya pun tidak akan mendapatkan ide ini, jika saja hidup saya tidak mengalami quarter life crisis.
Apa itu quarter life crisis? Singkatnya akan ada di mana kita mengalami kejenuhan dan mempertanyakan hidup kita, pada umumnya terkait dengan pekerjaan ataupun jodoh. Biasanya akan dialami oleh kaum muda dengan usia 25-30an. Saya sendiri cukup beruntung tidak mengalami keduanya secara sekaligus. Pekerjaan telah saya dapatkan dan jodoh pun layaknya mencari jarum dalam tumpukan jerami. Walau saya telah mengira mendapatkan jarum itu, ternyata hanyalah tusuk gigi.
Berkat pengalaman pahit itu, hikmah pun datang berkunjung dengan sangat tidak terduga. Dari mengikuti sebuah acara komunitas, saya menelpon seorang kawan bernama Abi, dalam bahasa Indonesia berarti bapak atau ayah. Ia kemudian menjemput putri tercintanya ini untuk pulang ke rumah. Di sepertiga perjalanan, ia bercerita mengenai kesibukannya menjalankan sebuah komunitas literasi di Bantaeng. Saya tahu betul agendanya, Senin hingga Jumat ia akan menjaga toko buku, Sabtu hingga Ahad, ia akan bersuka cita untuk bertamasya ala literasi. Saya pun demi menjaga kewarasan pasca pengalaman pahit menimpa, mencari-cari kesibukan atau pengalih otak ini. Sepulang dari bekerja buruh pendidikan, saya akan ikut bertamasya hingga slogan I hate Monday datang agar saya bekerja kembali.
Nah, di sinilah awal mula saya mendapatakan bulir-bulir pelajaran hidup. Sepanjang perjalanan selama kurang lebih tiga jam, saya dan beliau melakukan percakapan “anti manstream” hingga suara parau kami di dengar oleh beberapa penghuni mobil lainnya. Beliau tidak menanyakan pekerjaan saya ataupun update-an terkini perihal jodoh maupun masalah kesehatan. Entah melalui kalimat seperti apa, saya dan Abi berbicara mengenai beberapa hal:
“Panggung”
Pemaknaan kami di sini ialah terkait dengan banyaknya orang yang senang tampil dengan kesuksesaannya berkarir dalam kemanusiaan. Peruntukan panggung itu untuk hanya ia seorang, walau niatnya adalah untuk orang banyak. Semisal, sebut saja si Dedi diundang oleh bapak bupati untuk tampil di televisi karena telah berhasil membuat warga di Desa Labbo menuliskan bukunya sendiri. Dan Dedi menyambutnya dengan segera agar ia bisa dikenal oleh orang banyak. Namun, jika saja Dedi diganti dengan tokoh si Abi, ia akan menolak dan memberi pilihan agar para warga saja yang diwakilkan oleh satu orang warga untuk berbicara. Dan ini nyata adanya. Dengan alasan, ia tidak ingin terjadi penokohan secara individu.
Dalam beberapa kejadian terjadi pula hal yang sama, ia menjadi pembuka jalan bagi orang-orang terdekatnya. Maka, saya pun dengan senang hati akan ikut bersama Abi, agar bisa terkenal dan menjadi influencer. Walau saya tahu, itu hanyalah lelucon karena segala upaya daya akan saya keluarkan untuk berdiri di kaki sendiri. Terlepas dari orang tua hebat saya menjadikan panutan hidup dalam berbangsa dan bertanah air.
Dalam awal perintisan rumah bacanya ia akan menampilkan diri di beberapa panggung. Namun dalam beberapa tahun terakhir sejak sepuluh tahun berdiri ia akan segera menghadirkan sosok lainnya. Bahkan ia memiliki niat yang saya tidak akan bisa contoh di usia muda, komunitas literasi yang telah ia bangun, akan diberikan secara sukarela dan tentu saja dengan senang hati kepada warga Bantaeng. Dengan niat awal pendirian, diperuntukkan oleh warga. Konsistensi antara niat awal dengan proses terciptanya usaha itu tidak mudah dilakukan oleh semua orang. Saya mengakui kepada dia, jika saja saya tidak yakin akan mampu berbuat demikian. Dengan kebijakan diusia ke lima puluh dua tahun, ia berkata “Abi menjadi seperti ini juga membutuhkan proses yang panjang”. Jadi kesimpulan dari hidup berkualitas pertama yang saya dapatkan ialah proses itu sangat dibutuhkan oleh manusia.
“Pamer dalam Kebaikan”
Percakapan selanjutnya masih dalam keremangan perjalanan kami ialah, saya protes jika ia mengumbar saya mewakafkan buku. Padahal nilainya tidak seberapa, berbanding dengan pengeluaran konsumtif yang saya keluarkan tiap bulannya. Saya pun tidak ingin dilihat sebagai orang yang beramal. Namun Abi melihatnya dari sudut pandang siku-siku, agar orang-orang melihat hasil dari apa yang selama ini ia lakukan dalam ajakan mewakafkan buku. Jika usaha yang ia lakukan menghasilkan kebaikan untuk orang-orang yang membutuhkan. Tidak menjadi ajang wacana akan melakukan “a,b,c” namun sama sekali tidak bertanggung jawab atas apa yang diucapkan.
Alasan ini pula yang menjadi ia begitu aktif dan reaktif dalam menyebarluaskan kegiatan-kegiatannya sekaligus menjadi tips kepada para pustakawan di rumah baca di kaki pegunungan yang kami kunjungi agar bisa tetap berjalan. Entah post-ingan ataupun share ke grup whatsapp menjadi ajang berbalas emoticon, terutama jempol kuning kali tiga. Hal yang tidak saya sangka ialah taktik pamer kebaikan itu membawa kebahagiaan bagi orang lain walau nilai dari uang tersebut jumlahnya sama jika dibelanjakan untuk hal lainnya.
Selebihnya percakapan kami diisi oleh perbedaan generasi kami dalam memandang masalah, cara meng-generasi-kan ide, paslon no.urut 3 Nurhadi-Aldo yangs sedang booming, pelecehan seksual kasus Agni dan terakhir rasa terima kasih saya kepadanya karena ia mengerti pasangan hidup yang saya inginkan tidak semudah ketika ia bertemu dengan Umi berlandaskan kesukaan membaca dan kesempurnaan ibadah, karena ia tidak membebani saya keterkaitan antara umur dan jodoh, walau saya tahu ia pasti mengharapkan yang terbaik dengan secepat mungkin.
Setibanya kami di kota Bantaeng, kami pun beristirahat dengan agenda esok hari akan mengunjungi komunitas literasi.
“Petani Literasi”
Setelah kami melewati tanjakan-tanjakan dengan suara motor mendengik, akhirnya kami sampai juga di desa pelosok gunung. Rencana kami untuk sarapan menikmati kopi harus dihapuskan demi mengejar waktu yang telah dijanjikan. Berselang setengah jam, kegiatan ini belum juga dimulai. Kebiasaan hukum yang berlaku, peserta sudah harus lebih dahulu datang dari pemateri, membuat saya menanyakan kepada Abi keberadaan tak kasat mata para pustakawan ini.
Dengan tanpa beban, Abi menjawab, sebelum ke rumah baca, mereka ke ladang dulu. Selanjutnya para peserta sudah mulai berdatangan satu persatu, suguhan hasil ladang dan kebun turut disajikan. Dengan menggunakan papan tulis buatan berupa kalendar bekas, Abi memulai dengan dua kata komunitas literasi, sekaligus turut meresmikan rumah baca itu tanpa pengguntingan pita sekalipun. Beberapa penjelasannya mengenai pewakafan buku, kerja peradaban, sosial media, program atau kegiatan sederhana, ia selingi dengan bahasa lokal serta lelucon setempat. Penjelasannya begitu cair dan sangat sederhana. Tidak menggunakan istilah canggih apa pun. Apa guna kecanggihan itu jika tidak mudah dimengerti oleh mereka, kata Abi ketika saya menanyakan cara ia membawakan materi.
Sepulang dari rumah baca, kami singgah makan siang di pesta pernikahan yang diisi oleh komunitas musisi lokal dengan rasa internasional. Nama komunitasnya Komplen Mereka menggunakan biola, cello yang dipetik, bass yang begitu panjang, ukelele dan mixer. Sorenya Abi membawakan lagi materi menulis, sekali lagi dengan cara sangat mudah dimengerti kepada para Relawan Demokrasi KPU Bantaeng. Malam Minggu kami lewati dengan duduk berdua menonton live music di Pantai Seruni dengan obrolan canggih. Begitupun agenda kami keesokan harinya, mengunjungi komunitas literasi lainnya. Baik yang di pegunungan, maupun pinggir pantai.
Senin subuh kami sudah siap pulang ke Makassar. Abi dengan riangnya mengobrol sepanjang perjalanan dengan sopir langganannya, mengenai politik sekaligus mengajak dengan analogi sederhana untuk memilih paslon terbaik. Tiba di Makassar, segera saja kami memesan ojek online dengan rute berbeda. Abi melanjutkan hari dengan menjaga toko buku sedangkan saya kembali menjadi buruh pendidikan.
Nah, selesai sudah perjalanan singkat saya dengan kualitas HD. Dapat menjadi rujukan jika ingin membuat usaha tamasya ala literasi dengan catatan musti membawa kawan saya si Abi, atau ingin mendapatkan pengalaman demi kehidupan yang hakiki atau apa sajalah agar bermanfaat.
Catatan perjalanan ini, saya buat sebagai hadiah ulang tahun Abi yang ke-52, 20 Februari 1967-2019. Dibuat secara homemade penuh cinta, tulisan ini, hanya dalam waktu tiga jam saja. Selamat ulang tahun Abi, usia boleh saja menjadi tua namun keakraban kita jangan sampai punah .
Mari kita doakan, agar si tokoh Abi ini senantiasa diberi kesehatan, tetap bisa bertamasya melewati gunung, sawah dan pantai dengan kesederhanaannya.
Senang bergerak ke sana ke mari.
Suka….kata yg fantastis untuk sebuah tulisan yg mudah di maknai….