INI subjektif belaka. Terkait perkenalan saya dengan penulis buku ini. Kak Arman, begitu sering ia disapa, pertama saya tahu adalah seorang aktivis kampus. Ia sering mondar-mandir di depan ruang kuliah saya. Kala itu, rambutnya yang dibiarkan tergerai panjang menjadi ciri khasnya.
Saya masih ingat, menggunakan sepatu gunung dan kemeja terbuka yang melapisi kaos oblong di dalamnya, ia sering nongkrong di lapakan penjual buku yang berada tepat di sudut gedung perkuliahan saya. Belakangan saya baru menyadari, si penjual buku ini ternyata menjadi magnet tersendiri bagi aktivis kampus masa itu. Bukan saja sekadar menjual buku, si penjual buku ini malah menjadi “guru” bagi orang yang sering menghabiskan waktu berdiskusi dengannya.
Nanti, ketika saya menjelang semester akhir, saya semakin dekat dengan penulis. Di situ pula saya baru mengetahui ia ahli bermain gitar. Sering kali kedekatan kami dihabiskan menyakikan lagu-lagu yang sering dinyanyikan ketika demonstrasi. Dari situ saya banyak bertukar pikiran, ngopi bareng, dan main gitar sembari merokok bersama-sama di sebuah kamar kos yang disewa secara patungan.
Di situ pula, saya semakin tahu, sejak ia lulus ddari mahasiswa, ada satu hal yang tidak berubah dari beliau: kebiasaannya menulis. Ya, beliau adalah salah satu figur di kampus yang dikenal memiliki skil menulis. Sudah sejak dari mahasiswa tulisan-tulisannya banyak nangkring di koran-koran.
Itulah sebabnya, dari sepak terjangnya, dia sedikit banyak menginspirasi saya–juniornya yang waktu itu pelan-pelan mulai menyukai dunia tulis menulis.
Nah, di buku ini merupakan jejak pikirannya yang sudah ia mulai sejak mahasiswa lalu. Sebagian tulisan dalam buku ini adalah refleksinya ketika masih menjadi mahasiswa. Makanya, jika melihat tanggal penulisannya, banyak ditemukan tulisan-tulisan yang ia buat saat masih mengenyam bangku perkuliahan.
Walaupun kini ia sudah berprofesi sebagai seorang guru, tulisan-tulisan yang ditulis belakangan masih kental dengan idealisme saat ia masih sering bersentuhan dengan wacana kampus —sesuatu yang saya duga banyak berubah ketika ia menjadi guru. Yang paling mencolok dari semua itu adalah konsistensinya menggarap tema yang menjadi kekuatan negara-negara berkembang belakangan ini: Demokrasi.
Patut diduga, tema demokrasi yang menjadi ciri khas buku ini adalah habituasi penulis yang telah berproses panjang sudah semenjak mahasiswa. Ia —yang semasa mahasiswa menempuh disiplin ilmu kewarganegaraan—dengan kata lain, dalam buku ini sulit melepaskan kecenderungannya, lantaran boleh dikata sudah dari sananya tema ini mendarah daging. Suatu hal yang wajar sebenarnya, mengingat disiplin ilmunya ini-lah juga yang sehari-harinya ia bicarakan saat menjadi seorang guru kewarganegaraan kelak.
DALAM Kampus yang Minus Demokrasi, penulis gamblang mengkritik penerapaan demokrasi sebagai representasi intitusi pendidikan. Tulisan ini dengan jeli memperlihatkan kontradiksi yang sering terjadi ketika keterbukaan dan kesetaraan di hadapan ilmu pengetahuan, menjadi terhambat akibat kepempimpinan birokrasi kampus yang otoriter.
Melalui UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3: “...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, penulis bersuara keras melalui tulisan ini dengan memberikan dasar argumentasi bahwa kampus seharusnya menjadi ruang paling terbuka ketika mempraktikan gagasan demokrasi. Mengingat kampus adalah tempat mengeramnya cikal bakal ide-ide demokrasi sebelum merekah di ruang publik.
Sebagai seorang mantan mahasiswa, tulisan ini bukan sekadar wacana yang datang dari pengamatan jauh sang penulis, melainkan merupakan bagian pengalaman yang sampai sekarang ikut membentuk pemahamannya mengenai kampus yang ideal. Di tulisan ini, kampus yang ideal itu dinyatakannya sebagai ruang yang mesti menjamin kebebasan berpendapat, menjadi ruang pendidikan politik, dan sekaligus ajang bertukar gagasan. Sayangnya, dari tulisan yang disuguhkanya, banyak fakta-fakta sebaliknya yang kerap menjadi isu negatif di dalam kampus, yang sering kali bertindak otoriter dan nondemokratis.
Dari beberapa fakta di mana banyak kampus melakukan tindakan di luar dari prinsip-prinsip demokrasi, penulis tanpa ragu menyebut peristiwa itu sebagai penerapan demokrasi yang setengah hati.
Dari sisi ini, mengingat perhatian yang besar terhadap dunia kampus, menarik melihat respon penulis kepada kasus pelecehan seksual yang dialami seorang mahasiswa perempuan di UGM beberapa waktu belakangan. Mirisnya, dalam menyelesaikan persoalan yang melibatkan mahasiswanya sebagai pelaku dan korban, pihak UGM berusaha menghambat penyelesaian kasus ini.
Kasus ini bisa terungkap karena keterlibatan pers kampus yang berani mengungkap peristiwa yang terjadi di lokasi KKN itu. Sulit membayangkan betapa pihak UGM –seperti yang diistilahkan penulis—justru nampak setengah hati berbicara terbuka dan legowo untuk mengusut tuntas kasus yang malah tidak berpihak kepada korban pelecehan. Seperti kampus-kampus yang direflesikan penulis dari pengamatannya selama ini, UGM tidak sama sekali mencerminkan intitusi yang terdepan berbicara mengenai keterbukaan informasi, sesuatu yang menjadi semangat demokrasi itu sendiri.
“(Belakangan banyak kampus mengkriminalisasi mahasiswanya yang kritis dari sisi akademik dan moral, karena dinilai tidak mewakili asas kepatutan sebagai mahasiswa)”
Berbicara keterbukaan informasi, tulisan yang berjudul Pemblokiran Situs di Negara Demokrasi cukup mewakili perasaan umum warga Indonesia yang sampai sekarang masih resah mengenai fake news yang tidak ada habis-habisnya.
Dalam tulisan ini penulis menangkap fenomena khas dari negara demokrasi terkait dengan merebaknya media sosial sebagai kekuatan baru demokrasi. Walaupun sifatnya problematis, di tulisan ini memberikan semacam jalan keluar ketika ada warga yang masih bingung mengartikan kebebasan di alam demokrasi.
Disebutkan kebebasan adalah gen bawaan demokrasi. Tapi ketika itu tidak disertai dengan logos –mengikuti pandangan Aritoteles—risikonya adalah saling silang pendapat yang sulit terbendung. Masing-masing atas nama kebebasan berpendapat akan dengan leluasa menyatakan opininya di ruang publik tanpa mengindahkan batas-batas yang sudah ditetapkan. Fenomena seperti ini jamak ditemui sekarang, bahkan, ada satu dua tokoh yang dijerat hukum karena dipandang salah menggunakan kebebasan berpendapatnya.
Nah, di tulisan yang terbit di salah satu harian cetak ini, penulis menyertakan aturan main agar tidak kebablasan mengartikan kebebasan berpendapat. Menurutnya, selain negera ini adalah negara demokratis, negara ini juga negara hukum. Negara demokrasi mengandaikan kebebasan berpendapat, sementara negara hukum mengandaikan perlunya aturan yang mengatur kebebasan berpendapat agar berjalan tertib.
Dari kacamata ini penulis menyebut cara di atas sebagai pandangan konstitusional, yang mengaitkannya dengan dua pasal. Pertama pasal 28 E ayat (3) ditegaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Sementara pada pasal 28 F berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Sekilas dari pasal ini kebebasan berpendapat dilegitimasi secara gamblang tanpa harus mewaspadai hambatan yang muncul atasnya. Dengan kata lain, pasal ini bakal menjamin siapa pun untuk berkata apa pun dalam keadaaan apa pun dan dengan tujuan apa pun.
Namun, pemahaman kita akan terbelah jika tidak mengikutkan satu pasal yang dapat dipakai untuk memberikan dasar pengertian berkaitan dengan kebebasan. Dalam pasal 28 J ayat (2) berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Jelas sekali di atas bagaimana undang-undang ikut mengatur kecenderungan kebebasan dalam ranah publik. Disebutkan di situ kebebasan mesti berjalan sesuai dengan tuntunan keadilan dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Di akhir pasal itu disebutkan semua ini diupayakan di dalam masyarakat demokratis, dengan arti seluruh prasyarat demokrasi mesti menjadikan prinsip di atas sebagai syarat mutlaknya.
“Apakah Pancasila kini masih menjadi sebuah dasar, cara pandang, atau ideologi hidup bernegara baik bagi rakyat maupun pejabat-pejabat negara, ataukah dia telah lama ditinggalkan? Apakah Pancasila mampu bertahan di tengah arus perkembangan zaman (globalisasi)? Apakah Pancasila yang sering dipersepsikan sebagai ideologi terbuka justru semakin kabur dan tenggelam di tengah pergaulan negara-negara asing yang berbeda ideologi? (hal.151)”
ADA BANYAK kata demokrasi menjadi terma pilihan judul: 12 kata demokrasi, 5 berkaitan dengan negara dan ideologinya, dan sebagian besar menggunakatan kata politik dan hukum. Tapi, hanya ada lima nama orang yang dipakai sebagai judul tulisan; tiga di antaranya tokoh sejarah, satu di antara Gayus Tambunan, dan yang terakhir adalah Daeng Nape: sahabat sekaligus kawan diskusi penulis hingga sekarang.
Lebih banyaknya kata demokrasi dan politik dapat dipahami karena betapa besarnya perhatian penulis kepada sistem makro. Dengan kata lain, perhatian penulis lebih banyak mengarahkan tinta penanya kepada masalah-masalah makro tinimbang soal-soal yang lebih merakyat. Memang ada beberapa tulisan yang sedikit banyak menyoroti kasus-kasus kerakyatan, semisal dalam tulisan yang dijadikan judul buku ini. Tapi tetap saja, perhatian yang besar terhadap masalah makro ini mengisyaratkan betapa penulis belum menukik ke dalam tema demokrasi orang-orang kecil.
Uniknya, dalam suatu tulisan yang berjudul Daeng Nape: Karakter dan Idelogi Gerakan, sosok merakyat itu direflesikannya kepada orang terdekatnya. Ini menandai bahwa ada minat kepada orang-orang dekat sebagai bagian kritis yang direflesikan penulis dalam tulisan-tulisannya. Walaupun tidak banyak, refleksi dalam tulisan ini mengangkat lokalitas sebagai bahan yang kadang terlupakan dalam membicarakan demokrasi.
Tiga tokoh lainnya adalah Soekarno, Bung Hatta dan Tan Malaka. Akan aneh memang ketika berbicara konsep kebangsaan tanpa menyebut ketiga nama ini. Kenapa demikian? Gampang ditebak, tiga nama ini adalah puncak gunung es yang mendasari paham kebangsaan yang kerap ditemui dari aktivis kampus. Jadi jika ingin melacak bagaimana paham kebangsaan penulis yang terpantul di sana sini dari setiap tulisannya, maka akan keluar tiga nama ini. Sesuatu yang mesti bahkan.
Terakhir, buku ini layak dimiliki mahasiswa. Hampir semua isinya adalah wacana yang masih relevan dibicarakan di dalam kampus. Bahkan, tidak berlebihan jika mengatakan buku ini menyerupai ensiklopedi tentang demokrasi dan kewargaan, sehingga cukup mewakili kegandrungan obrolan mahasiswa yang masih memiliki perhatian kepada negara ini.
Bukankah negeri ini sedang oleng? Tidak selamanya bermakna buruk. Negeri yang oleng menandai ia masih bergerak. Masih memiliki harapan menemukan secercah cahaya mentari di tengah langit yang sedang mendung.
Identitas Buku
Judul Buku : Republik yang Sedang Oleng
Penulis : Arman Syarif
Penerbit : Liblitera Institute
Cetakan Pertama : Desember 2018
Jumlah hlm/tebal buku : 356 halaman
Ukuran buku : 14×21 cm
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).