Pilpres kali ini adalah ujian besar bagi bangsa ini. Kita diuji betul bagaimana bisa berbesar hati dengan segala macam perbedaan kita menilai kandidat. Selain itu Pilpres saat ini akan beririsan dengan problem subtansial, yakni kebermaknaan memilih. Apakah sebenarnya kita masih memiliki kesadaran dalam memilih. Jika memang masih ada, maka dari manakah kesadaran itu berasal?
Kebermaknaan memilih kali ini terancam punah bukan karena TPS akan ditiadakan ataupun KPU membatalkan melainkan karena kematian pilihan bagi masyarakat. Apakah kita benar-benar sadar memilih kandidat kita? Atau kita sebenarnya sedang tenggelam dalam ketaksadaran berjamaah atau collective unconscious seperti kata psikoanalis Carl Jung?
Sadar dan Kebermaknaanya
Secara harfiah sadar diartikan mawas diri (awareness). Sedangkan Dalam Oxford English Dictionary; kesadaran setidaknya mengandung makna pengetahuan atau keyakinan internal, keadaan mental yang sedang menyadari sesuatu (awareness), atau mengenali tindakan atau perasaan sendiri (direct awareness). Selain itu sadar juga bisa fahami sebagai kondisi di mana seorang (aktor) memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal maupun stimulus eksternal.
Bagaimana makna sadar dalam perihal politik saat ini? Kembali kita refleksi apakah kita punya pilihan politik? atau sebenarnya pilihan kita tak lain hanyalah sesuatu arahan eksternal yang tanpa kesadaran. Jika iya, maka kita terjebak pada pilihan palsu (psuedo choise). Penulis sementara mempersepsikan itu tanda kematian aktor sebagaimana yang dianasir oleh Slavoj Zizek. Sebenarnya kita tidak benar-benar punya pilihan secara merdeka melainkan memilih karena impuls kuat dari luar yang diintrodusir oleh kepentingan politik.
Jika fenomena ini ditelisik dalam perspektif Zizekian maka, pilpres betul-betul digerakkan oleh dessire machine. Mesin ini berupaya merekayasa pilihan politik melalui citra, simbol dan bahasa. Jika kita pinjam istilah Slavoj Zizek, pemilih saat ini sedang menjadi liyan (yang lain) bagi dirinya sendiri. Kita tak punya pilihan secara independen melainkan dari sesuatu yang lain. Coba perhatikan bahasa yang kita punya, bukankah ia sekadar bahasa yang kita konsumsi di media sosial. Kita telah kehilangan cara berbahasa sendiri dalam melihat diri sendiri dalam memilih.
Ada sesuatu yang lain yang sedang mengonstruksi hasrat kita, yah hasrat untuk memilih. Media sosial menjadi moda produksi bahasa dalam merekayasa sang subjek dalam mengambil keputusan untuk memilih siapa. Inilah yang dimaksud psikoanalisis marxian, Zizek sebagai desir de l’autre yakni hasrat kita tereferensikan dari yang lain.
Bahasa Otentik yang Hilang
Masyarakat tidak memiliki bahasa sendiri bagaimana ia harus memilih pemimpin. Percakapan kita hanyalah perpanjangan framing media. Masyarakat betul-betul berjarak dengan dirinya yang bertubuh politik. Padahal pada momentum seperti inilah maka potensi zoon politicon itu diletupkan.
Kita menjadi berpolitik karena punya cara sendiri dalam memilih bukan malah diseragamkan oleh media. Idealnya memilih pemimpinnya berdasarkan bahasa yang berbeda, mengapa? Karena mereka punya permasalahan yang berbeda? Masyarakat masing-masing punya konteks problem sosial, ekonomi yang khas. Nah yang khas itulah menjadi sunyi senyap terdengar saat-saat ini. padahal itulah yang benar-benar otentik yang masih dimiliki masyarakat dalam berkomunikasi secara politik terhadap calon pemimpinnya.
Jika masyarakat tidak terbangun dari ketaksadarannya hari ini maka secara semiotik sebenarnya kita tidak memiliki referensi untuk mengintrupsi proses pemerintahan kemudian hari. Mengapa? Karena sedari awal kita kehilangan cara membangun keterikatan politik dengan sang kandidat melaui bahasa. Itulah yang membuat mereka terkadang semena-mena karena kita memilihnya berdasarkan bahasa yang mereka produksi tentang dirinya sendiri.
Mungkinkah kita masuk dalam swalayan untuk berbelanja sesuatu tanpa mengenal merek produk yang akan kita beli? Terus dari mana kira-kira kesadaran yang kita punya terhadap merek produk tersebut jika bukan dari iklan? Nah, sebenarnya kita memilih produk tersebut bukan karena kita yang menghasrati melainkan karena bahasa hasrat dalam iklan yang terus diproduksi akhirnya membentuk semacam kesadaran. Mengerti kan? Inilah yang penulis maknai sebagai kematian pilihan politik, karena sebenarnya yang kita miliki hanya sebatas bahasa media terhadap si kandidat. Bukankah itu bahasa yang mereka miliki sendiri? Persis saat di atas panggung sang kandidat kemudian berteriak ingat pilih saya nanti.
Yang Hidup yang Berkreativitas
Aktor hanya bisa disebut aktor apabila bisa memproduksi makna sendiri. Sosiolog jerman Max weber menilai bahwa penanda aktor yakni vertehen artinya ia yang bisa mendefiniskan setiap makna secara kreatif. Aktor adalah ia yang mengkreasi makna bukan ia yang mengkonsumsi makna. Secara sosiologis kita terlalu konsumtif dalam politik dibanding produktif. Konsumsi adalah penanda esensial dari kebinatangan sedangkan manusia ditandai dengan produksi. Olehnya itu esensi manusia dalam berpolitik adalah apabila ia secara terus menerus memproduksi makna agar tidak teralihkan pada ekspektasi yang banal. Inilah yang dimaksud dalam karya terbaru Yasraf Amir Piliang sebagai ‘Medan Kreativitas’.
Dalam berpolitik kreatifitas harus tumbuh bukan dilumpuhkan karena itulah satu-satunya harapan kita dalam berdemokrasi. Dengan demikian, maka kita bisa benar-benar bebas dalam memilih berdasarkan cara dan kebutuhan kita masing-masing. Bukan berdasarkan kebutuhan politisi, karena dengan kreativitas kita baru bisa bermakna baru bisa hidup kembali. Dalam politik, politisi mati berkali-kali untuk hidup kembali namun itu tak boleh terjadi pada rakyatnya. Nalar rakyat harus tumbuh jika kita berharap berjumpa diakhir pilpres dengan bahagia.
Sumber gambar: https://www.theodysseyonline.com/teenagers-and-politics
Pengajar Sosiologi di FIS UNM, aktif di KNPI Sulssl, MASIKA Orda Makassar
dan Pegiat Literasi Edu Corner.