Tahun Politik dan Defisit Etika Publik

Salah satu tantangan serius yang dihadapi bangsa Indonesia, utamanya di tahun-tahun politik adalah persoalan etika publik, yaitu soal pilihan antara yang baik dan buruk, lakukan atau jangan lakukan. Di sanalah problem mendasar penyelenggaraan kehidupan berwarga dan bernegara kita. Itulah kenapa etika publik menjadi penting dan mendesak untuk terus dipercakapkan dan dirawat.

Tahun politik seringkali menampilkan dua paras. Paras yang eksploitatif dan paras yang emansipatif. Kita membayangkan tahun politik menjadi stasiun persinggahan untuk menuju stasiun akhir cita-cita politik, yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bukan tipu-menipu, hoaks, jegal-jegalan dan hujat-hujatan. Politik, etika dan kepublikan adalah tiga hal yang sebetulnya berbeda tapi tak dapat dipisahkan. Memisahkannya berarti membunuh demokrasi dan ide republik. Pelayanan publik, kebijakan publik, argumentasi di ruang publik, hukum dan seterusnya adalah merupakan produk dalam arena politik. Oleh karena itu politik tidak boleh dipisahkan dari etika publik.

Politik boleh dibilang adalah DNA umat manusia. Tak ada peradaban tanpa politik. Peradaban tumbuh, besar dan bertahan karena politik. Tetapi seringkali bubar, hancur, runtuh, juga disebabkan oleh politik. Lalu apa sebetulnya politik itu? kata Aristoteles, politik adalah cara mendistribusikan keadilan, kemakmuran  dan menumbuhkan kemajemukan di dalam masyarakat. Atau kata Hannah Arendt—mengutip Demokritus—politik adalah cara menggelar hal-hal hebat dan cemerlang. Tentu yang cemerlang dan hebat itu adalah yang menghormati kebebasan, kesetaraan dan kemajemukan. Bukan yang menebar ketakutan dan kerakusan. Demikianlah politik sebagai ide publik.

Di dalam politik terdapat dua kutub yang dalam sejarahnya saling tarik menarik, kadang saling mengafirmasi tetapi kadangkala juga saling menegasi, bertikai atau berlawanan. Kutub pertama yaitu kutub kuasa, kemudian kutub kedua yaitu kutub etos. Dua-duanya sebetulnya sama pentingnya. Mendahulukan salahsatunya hanya akan menyebabkan kerusakan dan keretakan sosial. Kutub kuasa untuk merumuskan keputusan dan membangun konsensus.

Sedang kutub etos untuk menertibkan kuasa agar tidak bergerak sewenang-wenang atau serampangan. Agar nilai-nilai kemanusiaan, kewargaan dan prinsip-prinsip ekologis tidak dilanggar. Sayangnya seringkali kutub kuasa menguasai panggung politik. Sedangkan kutub etos dipinggirkan ke selokan politik. Akhirnya yang terjadi adalah transaksi kepentingan di atas panggung dan di belakang panggung politik, untuk berkuasa maka politisasi ayat, uang, suku, status sosial dan jabatan publik dihalalkan.

Akhirnya wajah politik menjadi menyeramkan dan menjijikkan, seolah-olah politik hanya soal rebut-rebutan kuasa dan sekadar mempertahankan kekuasaan. Parasnya menjelma tujuan menghalalkan segala cara. Akhirnya yang terjadi kesewenang-wenangan. Padahal politik sejatinya bersifat altruis, emansipatif dan profetik. Tetapi karena kutub kuasa yang memonopoli panggung politik maka yang terjadi adalah tenggelam di tengah kerumunan kapital dan arus kuasa.

Defisit Etika Publik

Defisit integritas di panggung politik kita, utamanya di partai politik, parlemen, istana dan pengadilan barangkali disebabkan oleh defisit pikiran dan etika publik. Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi defisit pikiran. Itulah kenapa gagasan etika publik begitu mendesak untuk dipercakapakan kembali dan terus menerus. Agar politik lebih literatif dan emansipatif.

Secara teoritis etika atau moralitas adalah cabang filsafat yang mencoba untuk menentukan baik dan buruk, bajik dan bajingan, serta memberikan panduan bagaimana orang harus bersikap secara etis dalam bermasyarakat (Denhardt, 2006). Sederhananya etika adalah artikulasi standar moral praktis yang bisa digunakan untuk mencaritahu yang benar dari yang salah, dan membantu individu untuk hidup sesuai dengan norma-norma kebajikan. Atau bisa juga didefinisikan sebagai standar etis dalam merespon isu-isu seperti hak asasi manusia, keadilan, kemajemukan, kebebasan serta masalah integritas publik seperti ketidakjujuran, kesewenang-wenangan,  keserakahan dan memburuknya tanggungjawab publik.

Etika publik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan kearifan politik, keadilan, kesetaraan, kemajuan dan kemajemukan. Prinsip ini menuntut pekerjaan politik pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep “publik”. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap feodalisme, imperialisme, kapitalisme dan teokrasi di dalam institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran yang ilmiah, beradab, bebas dan setara.

Kata Rocky Gerung kewarganegaraan adalah percakapan di antara mereka yang tidak fanatik, eksploitatif dan monopolistik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal pemikiran. Di dalam Republiklah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai “zoon politicon”, merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan-kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik yang sebetulnya. Dengan kata lain, intervensi feodalisme ke dalam ruang publik tidak boleh terjadi. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan diskursus rasio publik.

Ide etika publik menghendaki terjadinya tukar tambah pengetahuan dan keadaban di ruang publik. Bukan tukar tambah kepentingan apalagi transaksi kekuasaan. Karena itu di dalam masyarakat demokratis prinsip-prinsip kemanusiaan, kewargaan dan keilmiahan dipelihara. Tidak hanya demokrasi (sebab sangat antroposentris) juga dibutuhkan ide ekodemokrasi atau kosmokrasi. Sebuah pikiran dan sikap yang menghendaki terselenggaranya keadilan, kemajuan, kesetaraan dan kemajemukan di atas kesadaran ekologi.

Demikianlah politik yang kita bayangkan. Sebuah kontestasi yang mengarusutamakan etika publik; keadaban, kearifan dan kabajikan publik. Bukan mengabdi pada penguasa dan korporasi perusak lingkungan, korup dan pelanggar HAM. Bila bukan Karena itu, lalu apa yang kita harapkan dari pemilu?

 

Sumber gambar: https://dailytrojan.com/2018/09/28/opinion-usc-must-support-free-speech-not-defend-shapiros-hate-speech/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *