Disfungsi Hukum dalam Kontestasi Politik 2019

 

Sejak genderang politik telah ditabuh, situasi sosial politik di Indonesia kian memanas. Gelar pentas demokrasi yang menyuguhkan berbagai intrik dan polemik seolah semakin mempertegas akan carut marutnya pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Realitas objektif yang tampak dalam kontestasi politik tahun 2019 adalah rivalitas negatif, sentimen identitas, dan politisasi berbagi isu oleh masing-masing kubu.

Beberapa kenyataan dapat digunakan sebagai justifikasi teoritis maupun praktis bahwa pesta demokrasi di Indonesia tidak layak untuk dibanggakan. Beberapa kalangan berbicara tentang pemilihan umum jujur dan adil (jurdil), tapi kenyataan yang muncul adalah sebaliknya.

Salah satu fenomena yang menjadi sorotan saat ini adalah bukan lagi tentang perang tagar (hastag) melainkan politisasi hukum yang digunakan sebagai senjata politik. Kenyataan ‘lapor-melapor’ antar kontestan dengan dalil penodaan agama, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan lain sebagainya kian menghiasi hiruk pikuk pesta demokrasi saat ini. Kondisi yang demikian tentu menimbulkan tanda tanya besar dalam benak kita, hukum digunakan sebagai senjata dalam arus politik, sebuah keniscayaan atau kezaliman ?

Ironi Keranjang Sampah

Sebagai produk hukum, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi begitu populer dalam dinamika demokrasi saat ini. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa dari tahun 2008 hingga 2018 hampir setengah kasus UU ITE menggunakan pasal defamasi sebagai dasar pelaporan. Menariknya, 35,92% pelapor merupakan pejabat negara.

Polarisasi politik juga menunjukan bahwa laporan tindak pidana melalui UU ITE semakin meningkat seiring dengan kontestasi politik yang semakin memanas. Hukum (UU ITE) dalam hal ini seolah menjadi senjata untuk menjerat dan menumbangkan lawan poltik. Sehingga bila demikian, hukum tampak akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan untuk dapat masuk ke dalam skema-skema politik praktis.

Meningkatnya laporan pelanggaran UU ITE tentu semakin menambah beban dan kerja keras lembaga kepolisian sebagai penggerak mesin hukum formil yang pertama. Polri dituntut untuk mampu menyaring dengan bersih kasus yang memenuhi atau tidak unsur rumusan delik. Barangkali suatu laporan hanya didasarkan pada sentimen negatif belaka.

Realitas empirik telah menggambarkan bahwa dari sekian banyak kasus yang ada, tak berujung, mengendap dan hilang di tengah hegemoni ruang publik. Pada akhirnya, lembaga kepolisian kembali pada kenyataan dan penilaian lamanya yakni sebagai ‘keranjang sampah’, menampung limbah dari segala permasalahan.

Mengembalikan Fungsi Hukum

Berbagai negara sibuk dengan riset, inovasi, dan gagasan untuk dapat mengembangkan model penyelesaian perkara (Alternative Dispute Resolution), sedangkan kita masih terbelenggu oleh pemikiran dan praktik konvensional dalam berhukum. Hukum dipahami dan digunakan semata-mata sebagai alat atau senjata untuk mendukung segala bentuk politik praktis, dijalankan penuh dengan emosi dan dekadensi, sehingga nir-kepekaan terhadap nilai keadilan dan kemanfaatan.

Dinamika hukum tersebut tampak dalam potret kontestasi politik 2019, politisasi hukum sebagai senjata politik terbukti telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Para kontestan lantang bersuara untuk menegakkan hukum, namun lupa akan tujuan dan fungsi mulia hukum itu sendiri. Menegakkan hukum dengan menanggalkan fungsi hukum jelas sebuah kelaliman.

Nilai ekspresif dan instumental fungsi hukum untuk memelihara ketertiban, stabilitas, dan prediktabilitas harus tetap dijaga di tengah arus deras politik. Hukum harus dihidarkan dari penyalahgunaan fungsi, terlebih lagi terhadap kuasa politik dan ekonomi. Dengan demikian, esensi hukum dapat dihadirkan sebagai sebuah kontrol keseimbangan.

Kegelisahan ini bukan wujud dari pada sikap elitis ataupun skeptis terhadap pesta demokrasi saat ini, namun hanya sebagai perenungan dan sekaligus pencerahan awal. Pada akhirnya, segala pembicaraan tentang problematika demokrasi tidak terlepas dari manusia yang menjalankannya, karena itu segala bentuk gagasan untuk pengembangan dan penegakan etika bernegara harus terus kita dukung bersama.

 

Sumber gambar: https://www.lexisnexis.co.za/primary-law-publishing-services

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221