Anak dan Sekolah

Seperti biasa, mendung memeluk pagi dengan mesranya, menjadikan pagi yang mestinya terang berubah muram. Pagi ini saya bangun lebih cepat dari biasanya, gelap dan dinginnya subuh masih sempat saya nikmati, juga bau tanah basah sisa hujan semalam, menjadikan saya semakin khusyuk menafakuri kebesaran Tuhan.

Setelah menunaikan ibadah, saya kembali merebahkan punggung ke kasur sambil memeriksa gawai, memeriksa hasil liga Champion dini hari tadi. Pertandingan dua tim besar antara Totenham Hotspurs vs Manchester City berakhir dengan kemenangan Totenham 1-0. Menjadi berlipat kebahagian mereka, apatah lagi mereka menang di depan puluhan ribu suporternya di stadion baru mereka.

Sesudah menyaksikan cuplikan gol-golnya di youtube, saya bergegas mengambil peralatan mandi. Sikat gigi dan sabun muka menjadi senjata utama yang harus dibawa kala memasuki arena pertarungan. Selesai menunaikan hajat di kamar mandi. Saya kembali ke rumah yang jaraknya sekira 20 meter.

Dengan bertelanjang kaki saya berjalan di atas kerikil dan bebatuan kecil, sekadar untuk memperoleh pijatan refleksi pada telapak kaki. Kebiasaan yang sudah jarang dilakukan oleh orang kebanyakan yang katanya sudah modern.

Padahal ilmu kedokteran telah membenarkan bahwa di bawah telapak kaki ada titik-titik kunci yang perlu untuk dipersentuhkan dengan kerikil sesering mungkin, guna melancarkan dan merangsang sirkulasi darah dalam tubuh.

Sesampai di rumah saya berpakaian olahraga, dengan training hitam dipadu baju putih. Tidak lupa jam tangan andalan melingkar di tangan kiri.

Sebagai guru olahraga di SD memang demikianlah pakaian yang saya kenakan saban harinya. Sangat berkebalikan dengan guru lainnya yang kadang berpenampilan necis dengan sepatu pentofelnya yang mengkilat menyilaukan mata.

Setelahnya saya berangkat ke sekolah seperti biasa dengan mengendarai motor. Jaraknya tidaklah jauh dari tempat saya bermukim, sekira 3 km. Letaknya berada di antara kebun warga, dan jauh dari suasana ramai, tidaklah mengherankan jika sekolah tersebut sering disebut dengan sekolah borong (hutan) oleh sebagian masyarakat dengan nada sinis tentu saja.

Di dekatnya hanya ada satu rumah warga, tak lain adalah anak dari pewakaf tanah di mana sekolah tersebut didirikan. Selebihnya, untuk perkampungan yang ramai harus menempuh jarak sekitar 1 km.

Sesampainya di sekolah, ternyata  telah banyak anak-anak yang hadir. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang bermain kelereng, berlari, bersepeda, bersenda gurau dan sebagainya.

Saya selalu berbahagia melihat tingkah laku polos mereka, serupa memasuki lorong waktu dimana ingatan saya terbang jauh ke masa lampau. Ketika saya masih anak-anak dulu, bermain adalah hal paling menyenangkan. Tanpa beban pikiran apatah lagi beban utang.

Bermain dan belajar adalah cinta pertama anak-anak. Di sanalah dunia mereka yang sesungguhnya. Maka guru haruslah pandai melihat celah itu. Jika pelajaran dibuat serupa dengan bermain, tanpa kekakuan dan keakuan maka anak-anak akan berbahagia dalam kelasnya.

Dewasa ini guru yang kreatif dan membumi memang dibutuhkan oleh pendidikan kita. Guru tidak bisa bersikap elitis di sekolah. Mereka harus bisa berbaur dengan anak didiknya, karena hanya dengan demikianlah anak-anak akan merasa nyaman berada di samping gurunya. Jika sudah demikian, maka sampai tahap ini saya yakin bahwa anak akan mencintai sekolahnya.

Namun kiwari ini, sependek pengamatan saya, anak cenderung terpasung dan terkurung dalam kelas dalam makna yang sesungguhnya. Di kelas mereka dipaksa melakukan hal-hal yang tidak disukainya. “dipaksa” menulis dan membaca meski si anak lebih suka melakukan hal lain yang disukainya. Seturut dengan itu anak yang tidak mau mendengarkan gurunya langsung kemudian diberi label sebagai anak yang nakal dan label lain yang hemat saya tidak bijak.

Mereka  serupa penjahat yang sedang menghabiskan waktunya di dalam penjara, sangat membosankan. Tidaklah mengherankan jika bel istirahat berbunyi anak-anak langsung berteriak dan berhamburan keluar kelas seolah-seolah ingin merayakan kebebasannya. Bebas dari proses belajar mengajar yang menerungku raga dan jiwanya.

***

Usai  memarkir kendaraan, saya dihampiri oleh sekelompok anak yang menagih janji saya beberapa hari yang lalu. Mereka meminta komik, saya tersenyum saja sambil menjawab keinginan mereka. Ya, buku tipis bergambar itu telah menjadi bacaan wajib mereka kala istirahat.

Sejak saya pertama kali membawa komik dari Bank Buku Boetta Ilmoe ke sekolah, setiap anak tak hentinya menagih setiap harinya. Padahal buku yang saya pinjam itu jumlahnya terbatas, jadilah saya berpesan kepada mereka untuk saling bergantian membaca.

Membawa komik ke sekolah adalah upaya kecil saya menjemput bola dalam dunia literasi. Menumbuhkan minat baca anak bukanlah perkara yang pelik. Ketika mereka menemukan buku yang cocok dengan usia mereka, maka mereka akan membaca dengan sendirinya, tanpa seruan apalagi suruhan.

Jadi jika ada penelitian yang mengatakan bahwa minat baca kita (Indonesia) rendah, maka hal tersebut patut ditinjau kembali, mempertanyakan apa indikator dan standar yang digunakan dalam penelitian tersebut.

Selang beberapa menit, bel masuk berbunyi. Murid langsung mengambil barisan sesuai dengan tingkatan kelasnya masing-masing. Beberapa murid maju ke depan untuk memimpin jalannya apel pagi. Masing-masing telah diberikan tugas.

Ada yang bertugas sebagai pemimpin, pembaca pancasila, pembaca rukun islam, pembaca rukun iman, janji murid dan terakhir menjadi dirigen lagu wajib nasional.

Semua rangkaian apel tersebut tentu saja memiliki pesan dan makna tersendiri. Namun dalam pengaplikasiannya, anak-anak cenderung hanya menghafal semata tanpa penghayatan dan pengamalan. Mereka tampil karena sebuah keharusan seremonial belaka. Ironi dunia pendidikan kita demikian. Anak diberikan pengetahuan tanpa melalui proses berfikir, mereka disuruh menghafal dan menghafal. Jadilah mereka manusia-manusia mekanis yang kehilangan nalar kritisnya.

Lantas di manakah peran guru?

Peran guru hemat saya amat sederhana. Saya hanya ingin memaparkan dua peran mudah. Tanpa maksud menggurui siapapun, dalam hal ini saya hanya ingin berbagi secuil pengetahuan dan pengalaman saya kepada para pembaca. Dua hal yang saya maksud adalah memberikan teladan yang baik serta terus menerus melakukan pembiasaan.

“…. Guru haruslah mengajar dengan teladan sebelum mengajar dengan kata-kata…. ”, tutur Kahlil Gibran dalam salah satu larik puisinya. Jika diibaratkan sebuah kertas, maka anak adalah kertas kosong yang bersih dari segala coretan. Setiap hal yang mereka lihat akan secara otomatis menjadi coretan dalam fikirannya yang akan mewarnai aktivitas kesehariannya.

Sekali waktu penulis pernah melihat seorang anak yang menendang temannya, saya yang terkejut melihat hal demikian sontak langsung bertanya mengapa ia melakukan hal itu. Si anak dengan polosnya langsung menjawab bahwa ia menyaksikan tendangan seperti itu di film yang ditontonnya tadi malam.

Sebuah hal yang memilukan tentu saja. Namun anak tak bisa dipersalahkan begitu saja. Anak hanya melihat dan meniru, tak kurang dan tak lebih. Menyalatalah ungkapan “anak adalah mesin fotokopi terbaik”.

Selain itu, pembiasaan juga penting dilakukan. Habit is a second nature (kebiasaan adalah watak kedua). Menanamkan kebiasaan baik kepada anak dengan pengulangan yang baik tentu akan memberikan kesan khusus pada anak, kebiasaan-kebiasaan tersebut akan berubah menjadi sesuatu yang melekat pada anak tersebut alias menjadi kepribadiannya.

Hal ini pernah saya alami. Salah satu masalah yang sering terjadi di sekolah adalah ihwal kebersihan lingkungan sekolah. Setiap hari sampah plastik makanan ringan selalu saja berserakan, entah itu di lapangan, depan kelas ataupun di kantin. Jika melihat anak yang melihat sampah sembarangan saya akan langsung menegurnya dan memintanya dengan sopan untuk membuang sampah pada tempatnya, jika sudah tertangkap basah begitu, anak biasanya hanya tersenyum dan langsung memungut sampahnya. Hal ini terus saya lakukan setiap waktu.

Hingga sekali waktu, saya melihat sekelompok anak berjalan di sekitar gerbang sekolah dan telah menghabiskan makanannya, tiba-tiba anak tersebut meninggalkan temannya dan berlari ke belakang sekolah menuju tempat pembuangan sampah.

Jaraknya lumayan jauh, namun demikianlah hukumnya jika anak sudah faham dan sadar akan hal yang ia lakukan. Hingga hari ini, kejadian tersebut sudah menjadi hal lumrah di lingkungan sekolah. Hal kecil yang berdampak besar, dan tentu saja menggembirakan.

Untuk mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan semua itu, tentu saja sinergitas semua pihak amat dibutuhkan, baik guru, orangtua dan masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Karena mewariskan generasi yang baik adalah tanggung jawab bersama.

***

Setelah seremoni apel selesai, murid membubarkan diri dan masuk ke kelasnya masing-masing. Proses belajar mengajar pun dimulai. “Semoga kalian berbahagia bersekolah”, gumam saya dalam hati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *