Tahun Pemilu memang bisa dibilang tahun perebutan simbol dan ruang. Banyak ruang milik publik akhirnya diakui dan disimbolkan menjadi milik partai tertentu.
Pada tahun 2018 lalu, saya tinggal di Kelurahan Pacerakang. Setiap hari saya melewati begitu banyak lorong di kawasan Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Semuanya biasa saja. Tidak ada yang spesial.
Namun seiring berjalannya waktu, tampak ada yang berubah saat memasuki tahun 2019. Terutama saat makin dekat dengan bulan April, yang notabene merupakan masa Pemilu.
Lorong-lorong tadi satu persatu dihias dan dipasangi sebuah palang besar berlogo partai. Milik partai “A” dengan tulisan yang mencolok dengan lampu menyorot dan menarik perhatian siapapun yang lewat di depannya di malam hari.
Jika hanya dilihat sekilas, sebagian orang atau pengendara yang lewat di depan lorong tadi terkecoh dan menganggap lorong tersebut hasil kerja partai.
Bahkan salah seorang teman yang saya sampaikan persoalan klaim lorong milik partai ini awalnya sempat menganggap program penataan lorong tersebut merupakan program partai. Artinya niat partai menarik perhatian memang terpenuhi.
Setelah saya tunjukkan data dan sejarah lorong tersebut bisa berubah, ia pun mengerti jalan pintas yang ditempuh partai membranding lorong itu sebagai hasil kerjanya.
Bagi warga sendiri yang tinggal di lorong tersebut, ini jelas merupakan klaim sepihak saja. Wargalah yang bekerja keras menata lorong mereka sendiri. Tanpa campur tangan partai tertentu. Maka wajar tidak berselang lama aksi klaim lorong tersebut mendapatkan resistensi atau perlawanan warga.
Siapa yang berhak atas lorong?
Belakangan ramai diberitakan warga menjadi kesal dengan upaya menjadikan lorong milik partai. Warga memasang sebuah spanduk protes bertuliskan “Ini lorong rakyat, bukan lorong (menyebut merek partai)”.
Lorong tentu saja milik warga yang ada di sekitar atau publik. Tidak ada landasan dan alasan, partai tiba-tiba harus mengakui lorong tertentu merupakan miliknya.
Pun saya sangat yakin, belum tentu dengan mengakui lorong tersebut milik partai tertentu, lorong itu “berubah”. Berubah yang saya maksud katakan lah seperti lorong tersebut akhirnya lebih indah dan bersih atau bisa mendatangkan nilai ekonomis bagi warga.
Jika memang lorong itu lebih indah dan bersih, itu karena jerih payah warga sendiri, bukan dibuat oleh partai. Lantas jika kemudian lorong itu memang “dipercantik” oleh partai, tapi sampai berapa lama lorong itu akan menjadi perhatian? Atau adakah yang bisa menjamin setelah pemilu berlalu, lorong tersebut tetap mendapatkan perhatian partai tersebut.
Komodifikasi Lorong
Komodifikasi digambarkan secara sederhana yakni sesuatu yang awalnya tidak bernilai jual ditransformasikan menjadi sesuatu yang bernilai jual.
Sebelumnya lorong hanya sebuah ruang yang biasa saja. Tidak dilirik. Minim penerangan. Pengap dan jauh dari perhatian. Belakangan memang mulai ditata melalui program Walikota Makssar, Danny Pomanto. Ada lampu di pasang sehingga jadi terang. Ditanami tumbuh-tumbuhan. Ada juga lukisan atau grafiti yang mempercantik tampilan.
Melihat lorong mendapatkan perhatian. Gelagat partai pun muncul. Dianggap dapat menjadi “jualan”. Dapat diklaim sebagai sebuah prestasi partai. Ujung-ujungnya diharap bisa meningkatkan penerimaan partai di mata masyarakat dan dikonversi menjadi suara dukungan bagi partai.
Separasi
Jika dibahas lebih lanjut, terkait “lorong partai” juga bisa dilihat dari sisi semiotika sosial yang dipopulerkan oleh Halliday. Pemikir pascastrukturalisme ini mengungkapkan sebuah konsep separasi dan segregasi. Separasi dalam hal ini pemisahan secara spasial antar entitas.
Dikaitkan dengan lorong partai, separasi akan membuatpemisahan antar masyarakat lorong satu dengan lorong lainnya. Memojokkan yang berbeda karena ada lorong yang merasa hebat dibandingkan lorong yang lain. Rentang terjadi konflik. Hingga di suatu titik masyarakat antar lorong saling memisahkan diri.
Cukup. Cukup jalanan dan televisi yang terampas menjadi milik para kontestan politik. Menyesakipandangan dengan poster sepanjang jalan. Menyapa setiap menit di layar televisi. Hadir setiap saat di sudut kota.
Sejenak. Sejenak saja, biarkanlah lorong tetap tenang. Tetap milik warga. Biarkan damai ada di lorong.
Saya teringat sastrawan besar Indonesia, Pramoedya pernah mengingatkan “ Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya. Ini soal tafsir. Kini, memasuki masa-masa pemilihan umum, rasa-rasanya tafsir lorong pun beralih. Kita bisa menyatakan “Lorong sungguh sederhana. Menjadi hebat karena pemilu”.
Muhclis Abduh
Warga kota Makassar.
Ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/566679565599277209/
Pekerja media. Tinggal di Makassar