Menulis itu Mudah

Hari itu, rasa malas dan kantuk masih menerungku di kamar tidur, dan dinginnya udara pagi seolah menggoda hasrat raga ini untuk tidur dan melanjutkan mimpi. Di sela pergulatan batin  itu, seorang tamu datang ke rumah mencari keberadaan saya. Mendengar suara tamu yang tidak asing itu, lantas bergegas ke teras rumah, dan ternyata Pak Dusun sekaligus inisiator Rumah Baca Panrita Nurung bertandang ke rumah untuk sebuah hajat. Tak lain adalah perihal perbaikan atap rumah baca kami. Percakapan berlangsung singkat dan saya diminta untuk membeli paku di toko terdekat. Saya pun bergegas menuruti permintaan beliau.

Sekadar informasi, atap rumah baca kami beberapa hari yang lalu sempat sobek oleh derasnya hujan dan kencangnya angin. Kala itu, atap rumah baca kami memang masih menggunakan atap terpal yang diikat setiap sisinya dan masih bersifat sementara, sekadar untuk menghalau terik matahari dan air kala hujan. Hingga pada suatu hari, hujan datang begitu derasnya hingga bambu penyangga tidak sanggup lagi menahan debit air yang berada di atas terpal. Beruntung kala kejadian itu berlangsung, seorang karib sigap mengungsikan buku ke tempat yang aman, meskipun beberapa buku sempat terkena cipratan air.

Cukup lama kami memutar otak untuk memperbaiki atap tersebut. Pelbagai usulan dikemukakakan. Ada yang mengusulkan tetap menggunakan atap terpal saja untuk sementara, namun disanggah oleh teman-teman yang lain, takut jika kejadian yang sama terulang kembali dan buku-buku tidak sempat kami selamatkan. Apatah lagi sekarang ini sedang musim hujan.

Dalam keadaan genting seperti ini kadang terlintas dalam benak saya.  Kalaulah saja masyarakat tidak menjadikan masjid sebagai satu-satunya tempat bersedekah, kejadian seperti ini mungkin tidak akan terjadi. Seolah Tuhan hanya dapat ditemui di masjid. Dan Jika sudah demikian uang sumbangan tentu saja akan terus bertumpuk dan tidak tersalurkan. Waima tersalurkan juga cenderung dipaksakan, hingga berujung pada pembelian-pembelian yang menurut hemat saya tidak strategis. Sebut saja ubin yang masih bagus akan diganti dengan alasan sudah kuno dan ketinggalan zaman ditambah dengan sejuta legitimasi lainnya.

Di tengah kebimbangan itu datanglah berita gembira dari seorang karib yang mengatakan ada donatur yang siapa menanggung semua biaya pembelian seng. Kami pun merespon niat baik tersebut dengan mengebut pengerjaan rangka atap. Berhubung dalam beberapa pekan ke depan ada agenda besar yang menanti untuk dituntaskan.

****

Setelah paku berada di tangan, saya bergegas menuju lokasi. Ternyata dua orang tukang telah mulai bekerja memotong dan memaku balok yang akan dijadikan rangka atap. Dengan gesit tangan mereka memaku tanpa meleset mengenai tangannya, seperti yang sering terjadi pada orang awam kebanyakan, termasuk saya. Menyatalah ungkapan yang sering didengungkan guru kala saya sekolah dulu experience is the best teacher (pengalaman adalah guru terbaik).

Pikiran saya langsung melayang ke masa lalu, mengingat masa-masa romantis kala masih berstatus mahasiswa dulu. Kala itu, di masa awal perkuliahan, waktu lebih banyak saya habiskan dalam kesia-sian; bermain game, jalan-jalan, dan sesekali berbelanja. Barulah ketika masa mahasiswa memasuki usia semenjana, saya dipaksa Almarhum Ihsan (semoga Allah Merahmatinya) senior sekaligus sahabat saya untuk bergabung di dalam salah satu organisasi mahasiswa besar, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) namanya. Di sanalah saya merasa menemukan pencerahan dan merasakan kerendahan diri serendah-rendahnya ketika diperhadapkan pada ilmu pengetahuan yang begitu luas dan dinamis. Cakrawala saya terbuka, jiwa saya terguncang. Merasa bodohlah saya kala itu, dan alhamdulillah itu terbawa sampai sekarang. “Satu-satunya yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak tahu”, petuah bijak socrates menggema.

Dari situ mulailah saya berkenalan dengan berbagai macam aktivitas organisasi, mulai dari kajian, membaca, berdiskusi, tapi tetap tak pernah ikut demonstrasi, hehe. Di penghujung masa mahasiswa barulah saya berkenalan dengan dunia tulis menulis, saya nimbrung di Kelas Menulis Paradigma Institut. Saya hanya ikut pada pertemuan pertama, di tahap orientasi kelas. Selebihnya, ketika mentor “mewajibkan” membawa tulisan meski hanya satu kata, saya tidak pernah datang lagi. Menghilang ditelan skripsi. Biaya kuliah sungguh mahal, saya harus selesai cepat.

Seturut dengan itu, kadang timbul penyesalan dalam diri, kalaulah dulu saya berkenalan lebih cepat dengan kelas-kelas demikian, mungkin saat ini saya tak lagi kesulitan untuk merangkai kata menjadi sebuah tulisan utuh. Namun apa boleh dikata nasi sudah terlanjur jadi bubur, yang bisa saya lakukan hanyalah menikmati bubur tersebut, sembari berharap suatu hari dengan latihan dan pengulangan yang cukup, saya bisa menuliskan setidaknya satu kalimat bagus untuk saya posting di media sosial apatah lagi untuk anak cucu di masa yang akan datang.

Waima demikian, saya selalu menguatkan diri dengan merapal petuah-petuah bijak bestari dari para penuntut ilmu. Tidak pernah ada kata terlambat selama kita mau berusaha dan terus belajar.

“Menulis itu mudah!”, kata Bapak Bupati Bantaeng  kala menghadiri acara launching buku Literasi dari Desa Labbo di Desa Labbo beberapa bulan yang lalu.”Berbahagialah warga Desa Labbo, karena mereka telah mengabadikan diri dalam tiap huruf yang mereka tuliskan”, gumamku dalam hati. Membangun stereotip dalam benak bahwa menulis itu mudah memanglah penting, amat penting malahan. Karena dengan begitu, setiap orang akan mulai menulis, mulai dari hal paling sederhana seperti catatan harian ataupun status bermutu di dinding facebook. Sampai hal pelik seperti filsafat, politik, ekonomi, agama dan sebagainya.

Menulis itu serupa bermain sepakbola. Untuk menjadi pemain bola terbaik di dunia seperti Cristiano Ronaldo (versi penulis) hehe, dibutuhkan latihan yang keras dan pengulangan yang serius untuk menguasai teknik bermain bola yang baik. Sama halnya dengan menulis, untuk menghasilkan tulisan yang gurih dan bergizi baik serta memenuhi kaidah kepenulisan yang ada, dibutuhkan latihan dan pengulangan setiap waktu. Dengan begitu secara otomatis “otot-otot” yang ada dalam otak kita bisa terbiasa dan tak lagi kesulitan menghubungkan antara kalimat yang satu dengan yang lainnya serta memilah dan memilih kata yang tepat yang akan digunakan dalam tulisan. Di luar semua itu,  mulailah menulis. Sebab menulis adalah kata kerja.

“Menulislah secara bebas (free writing). Tulislah lakon yang kamu alami, lalu masukkan pesan-pesan yang hendak kamu sampaikan. Tidak perlu terlalu terikat dengan kaidah penulisan ilmiah yang rumit-rumit itu. Tulis saja yang dipikirkan dan dirasakan. Menulis itu bukan untuk diteorikan, tapi untuk diperbuat. Selanjutnya nanti akan terbentuk dengan sendirinya.” Begitulah wejangan seorang karib dari Kanda Muhammad Rajab  yang saya ambil dari bukunya Corat-coret di Kaki Langit yang bukunya saya baca di sela pengerjaan rangka atap.

Tentu saja, selain latihan. Dibutuhkan pula kebiasaan membaca yang gila. Seperti ungkapan yang sering kita dengar, “penulis yang hebat adalah sekaligus pembaca yang hebat”. Dengan membaca, kita bisa memperkaya kosa kata, mengenal berbagai jenis tulisan, serta menambah wawasan tentunya. Ibarat paku dalam rangka atap Rumah Baca Panrita Nurung yang mengokohkan hubungan setiap balok. Membaca akan  menambah dan menghubungkan setiap pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sehingga bisa menghasilkan sebuah pemikiran utuh.

Terlebih lagi dalam salah satu etape perjalanan Nabi Muhammad SAW, diceritakan bahwa beliau sekali waktu pernah membebaskan para tawanan perang badar dengan satu syarat, yaitu mereka harus bersedia mengajarkan umat islam baca tulis. Hal ini menandakan bahwa kemampuan baca tulis memang salah satu syarat yang harus dipenuhi sebuah masyarakat jika menginginkan sebuah peradaban yang lebih baik. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *