Buku Perjalanan Cinta dibuka dengan secuplik figur Maemunah. Seorang ibu penjaja warung makanan kecil-kecilan di sebuah kota kecil Sulawesi Utara. Esai ini tidak berbicara banyak selain dari kebajikan Ibu Maemunah yang berhasil “dipungut” dari sekian banyak kisah-kisah inspiratif nan menggugah tentang kebaikan yang dilakoni “orang-orang kecil”.
Di esai ini kesimpulannya cukup sederhana, tapi mahal harganya: apa pun lakon Anda, bekerjalah dengan jujur, ikhlas, dan senantiasa berpikir positif. “Insya Allah, hidup kita akan mabarakka‘ (berkah)” ungkap Maemunah di esai berjudul Bunda Maemunah itu.
Itu kisah Ibu Maemunah, yang “dicuplik” Abdul Rasyid Idris, penulis buku ini. Di esai ke-42 penulis menulis kisah lain: kisah hari Paskah.
Paskah, judul esai ini, menangkap fenomena toleransi di sebuah kota yang tidak jauh dari Gorontalo. Di Festival Paskah itu, penulis menyatakan diri kaget, fenomena yang disaksikannya itu beranggotakan panitia inti yang berkeyakinan muslim. Bagaimana mungkin perayaan Hari Paskah, berpanitiakan perempuan-perempuan muslim? Bukankah semestinya setiap hari besar agama-agama umumnya hanya digelar oleh pemeluknya sendiri? Itukah yang disebut toleransi?
Di halaman 54 Abdul Rasyid, menulis kisah seorang office boy –yang sebenarnya seorang perempuan– yang bekerja sambil menjual penganan melalui lapakan yang ia gelar begitu saja. Bagi pegawai-pegawai tempat office boy itu bekerja, untuk membeli jajalan penganan tinggal ambil kemudian pergi tanpa berinteraksi dengan si penjualnya. Bagaimana cara mereka membayar? Disebutkan, sepulang bekerja baru para pembeli membayar satu-satu penganan yang sudah sebelumnya diambil. Ketika ditanya apakah tidak tekor cara bayar seperti itu? “Tidak bahkan selalu lebih karena di antara pencicip itu ada yang sengaja melebihkan pembayarannya”. Di esai ini, penulis menangkap suatu hal yang istimewa: “Ibu Office Boy itu memulai suatu usaha kecil-kecilan dengan prasangka baik dan ketulusan…”
Tiga kisah di atas adalah kisah orang-orang di “pedalaman” keseharian. Kisah tentang fenomena dalam arti sesungguhnya, yang sering kali jarang ditangkap sebagai suatu pengertian, atau pembelajaran bagi kita. Kisah-kisah kecil yang memiliki daya gugat demikian besar bagi pengalaman hidup bersama yang seringkali diabaikan.
Di buku ini, kisah-kisah demikian ditulis dengan sederhana, langsung, dan lugas oleh penulis tanpa bermaksud membesar-besarkan peristiwa yang dialaminya.
Peristiwa di atas hanyalah contoh bagaimana penulis merasa peka dengan gejala keseharian, yang dengan sendirinya membuat tulisan-tulisannya cukup dekat dengan imajinasi pembaca. Bukannya memilih peristiwa-peristiwa yang sedang trend dan banyak dibicarakan orang, sebagian besar esai-esai buku ini lebih menekankan kepada sejumlah kejadian yang lebih sosiologis ketimbang politis–tema tulisan yang paling banyak mengemuka belakangan ini.
Proses kreatif Perjalanan Cinta dikembangkan penulis dari persentuhannya dengan berbagai tempat yang dikunjunginya. Sembari bekerja sebagai konsultan CSR di penjuru pulau Sulawesi dan beberapa kali ke luar Sulawesi, tidak lupa penulis mengisahkan pengalamannya melalui narasi-narasi deskriptif, dan tidak jarang merefleksikan pengalamannya ke dalam suatu tilikan yang semi ilmiah.
Walaupun nampak sederhana, dan ditulis a la travel writing, langsung maupun tidak, tidak sedikit tulisan di buku ini menyuguhkan ulasan-ulasan yang bersifat etnografik, historis, dan bahkan religius.
Perjalanan Cinta, dengan kata lain, karena ditulis menyerupai travel writing, membuka peluang dirinya dapat berbicara banyak hal. Satu hal yang dapat dikatakan kekuatan sekaligus kelemahan buku ini.
Sebagai seorang yang melakukan perjalanan, interaksi adalah ihwal penting untuk menemukan informasi berkaitan suatu tempat, entah sejarahnya, budayanya, ekonominya, dan sebagainya, yang sayangnya tidak menjadi perangkat investigasi dalam sebagian besar esai buku ini.
Hal di atas cukup elementer mengingat nuansa esai ini menyandarkan dirinya pada “perjalanan” sebagai kekuatannya, yang notabene ibarat pelancong yang ingin banyak tahu setiap tempat yang dikunjunginya. Walaupun demikian, kekurangan ini cukup tertutupi melalui bagian-bagian reflektif-kritis yang dihasilkan melalui penjarakan penulis dengan peristiwa yang melingkupinya.
Apabila melihat isi buku ini melalui temanya, nampak jelas “aliran” buku ini sesuai dengan di mana sang penulis berada. Kadang suatu waktu di warung kopi, di pedalaman desa, surau masjid, di kamar tidur, kampus, coffee shop, gedung kesenian, mall, toko buku, dll, yang semuanya sengaja ataupun tidak memberikan insight bagi penulis untuk menggerakkan penanya.
Namun, jika dikembalikan kepada simpul apa yang dapat mengikat beragam tema di buku ini, rasanya sulit untuk dilakukan. Perjalanan Cinta jika disebut tema utama, rupanya hanya dua judul di antara esai-esai di buku ini.
Ketimbang mengambil tema umum yang mampu mengcover keseluruhan esai di buku ini, Perjalanan Cinta lebih tepat diartikan sebagai catatan yang merefleksikan pekerjaan penulis dari pada bagian proses kreatif untuk melahirkan tulisan-tulisan buku ini.
Di sisi ini, muncul pertanyaan mendasar atas buku ini? Yang mana paling menentukan, apakah ide/obsesi tulisan-tulisan yang lahir dari “perjalanan” pekerjaan penulis, ataukah profesi penulis itu sendiri yang kebetulan memberikan akses yang luas untuk mengenyam banyak perjumpaan di keberbagaian fenomena yang ditemuinya.
Dengan kata lain, jika sang penulis tidak melakukan tanggung jawab pekerjaannya di daerah-daerah, apakah akan melahirkan buku ini?
Sejumlah polemik ini, dengan sendirinya akan menggugat beberapa hal semisal seberapa lapang-kah “intuisi” kepenulisan penulis jika sebelumnya tidak mengikuti rutinitas tanggung jawab profesinya? Bukankah intuisi kepenulisan tidak mesti terkondisikan dengan faktor-faktor yang telah menjadi rutin seperti misalnya pekerjaan? Lalu, seberapa reflektifkah tulisan-tulisan yang dilahirkan dari kejar-kejaran rutinitas tanggung jawab pekerjaan. Pertanyaan ini akan lebih mudah dijawab jika tidak ada dualisme dari sisi diri penulis itu sendiri, apakah penulis adalah konsultan yang “nyambi” sebagai penulis, atau penulis adalah penulis yang kerja satu-satunya hanyalah menulis?
Terlepas dari itu, buku ini justru menjadi bukti kekuatan kreatif penulis. Di sela-sela tanggung jawab pekerjaannya, dapat menarasikan sejumlah pengalamannya ke dalam kertas putih. Di sinilah unsur subjektivitas penulis mengambil peran lebih jauh “membunyikan” sejumlah peristiwa yang sama-sama banyak dialami orang-orang. Setiap orang dapat menjalani satu peristiwa yang sama, tapi tidak semua dapat “mengabadikannya” melalui proses kreatif kerja-kerja kepenulisan.
Syahdan, buku ini alih-alih bukan berupa esai-esai yang membuat pembaca menemukan kebaruan sudut pandang dan sejumlah proposisi yang memantik sejumlah pertanyaan di benak pembaca, melainkan lebih menjadi tulisan yang bisa membuat pembaca merasakan pengalaman penulis ketika mengunjungi suatu tempat. Dari aspek ini, tulisan demikian cukup berhasil menghidupkan indera (dan juga imajinasi) pembaca walaupun tidak sedang mempersepsi langsung objek di hadapannya.
Terakhir, melalui bahasanya yang mudah dan tidak bertele-tele, buku ini cocok dibaca siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Identitas buku:
Judul: Perjalanan Cinta
Penulis: Abdul Rasyid Idris
Penerbit: Liblitera
Tahun: Januari 2019
Tebal halaman: 302 Halaman
Nomor ISBN: 978-602-6646-19-4
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).