Presiden-Presidenan

Teman, bagaimana kabarmu sekarang? Kelihatannya kamu tambah sejahtera dan bahagia saja.

Kamu katakan dirimu belum sukses? Ukuran sukses itu relatif, teman. Menjadi petani, nelayan, pegawai, atau apapun pekerjaanmu, terpenting bisa bemanfaat. Sebenarnya kamu itu sudah sukses.

Janganlah kamu ukur kesuksesan dirimu dengan melihat kesuksesan orang lain. Terlebih jika kamu mau membandingkan dirimu dengan saya,

Oh iya, teman. masih ingatkah kamu, saat dulu kita sama-sama duduk di bangku sekolah? Untuk pertama kalinya kita bertemu, berkenalan lalu kian akrab.

Saya rasanya ingin mengulangi masa-masa itu teman. Apalah daya. Kita tak mampu merayu waktu agar mau berjalan mundur.

Tapi, tiada mengapa jika kita mengulangi itu dengan berbagi cerita saja.

Baik, saya yang pertama bercerita, meskipun cerita saya tak seasyik kisah nyata yang sebenarnya, seperti apa yang saya dan kamu telah lalui.

Tahukah kamu, teman. Ada satu kejadian yang hingga saat ini, sulit saya lupakan. Saya, jika mengingatnya, sering tertawa sendiri. Demikian pula bila saya ceritakan ke istri dan anak-anak, mereka ikut ikut tertawa. Mereka sedang menertawai saya, atau cerita saya, entahlah.

Ah, bukan itu teman. Bukan saat kamu menulis surat untuk si Jelita, yang kamu titip melaui saya. Dan dia menolakmu. Tidak pantaslah saya mengenang duka laramu itu teman.

Tapi, yang selalu saya ingat dan membuat saya terpingkal-pingkal tanpa sadar, adalah saat kita masih siswa baru di kelas satu. Lalu, diospek oleh kakak senior.

Teman, dari sekian banyak permainan yang ditampilkan kakak senior kita dulu, ada satu permainan yang hingga saat ini tidak bisa saya lupakan. Bahkan, telah membuat saya terobsesi mewujudkannya.

Masa sih kamu sudah lupa?

Ya. itu, main presiden-presidenan. Masih ingatkah kamu aturan mainnya? Ah, sudah lupa juga? Padahal kamu tak pernah dihukum kakak senior, jika mereka memainkan, permainan ini. Selalu lolos, jalanmu sangat mulus. Tapi, bisa jadi karena kemulusanmu itulah, yang membuatmu tak mengingatnya sma sekali. Karena  menganggapnya sesuatu yang tidak istimewa, untuk dijadikan kenangan.

Pantas pula, kamu tak bisa jadi presiden kalau begitu. Main presiden-presidenan saja, enggan kamu ingat. Tapi, beruntunglah kamu lebih memilih bertani dan berkebun. Hidupmu pasti sangat tenang. Berbeda dengan yang berambisi jadi presiden, hidupnya selalu gelisah. Seperti yang saya alami teman.

Karena kamu tak ingat sama sekali. Tak apalah saya ulang peraturan permainan itu.

Setiap yang ditunjuk menjadi presiden, menyebutkan namanya terlebih dahulu, kemudian kata presiden, presiden. Lalu diikuti nama teman lain yang hendak ditunjuk. Misalnya. Ahmad pesiden, presiden Ali. Ali akan menjawab. Ali presiden, presiden Syukri. Begitu seterusnya.

Jika yang disebut namanya ternyata tidak menjawab, atau telat merespon. Akan dikasih hukuman oleh kakak senior. Kamu masih ingat kan, hukuman yang paling sering diperintahkan kakak senior?

Ya, betul itu yang saya maksud. Menyanyi, ketawa sepuluh macam, menulis nama pakai pantat, atau merayu kakak senior.

Untunglah, saat itu saya masih belum bisa merayu. Pasti kakak senior yang punya tahi lalat di pipi kanannya itu, akan menggelepar mendengar rayuan saya.

Buktinya, sekarang. Ribuan hingga jutaan orang mau mengikuti saya, itu karena kepiawaian saya merayu. Sebenarnya mereka tahu dan sadar, bahwa saya pandai merayu. Tetapi mereka percaya bahwa rayuan saya itu sangat bagus.

Kamu tahu teman, siapa yang mengajari saya rayuan? Itu, kakak senior yang memulai permainan presiden-presidenan yang sedang kita bicarakan saat ini.

Saya bertemu dengannya, saat dia menjadi penghuni terlama di kampus. Dan saya masih calon mahasiswa yang akan digunduli dan diospeknya lagi.

Ternyata, permainan presiden-presidenannya, dia bawa hingga ke perkuliahan. Lebih hebatnya lagi, dia terpilih menjadi presiden di kampus sampai tiga kali, gara-gara permainan itu. begitu katanya. Pasti kamu meragukan dan tak memercayainya, bukan? Saya pun demikian, awalnya.

Nah, pasti sekarang kamu sudah ingat, teman? Bukan. bukan senior itu yang saya minta untuk kamu ingat. Tapi, permainan itu.

Saat main permainan itu, saya selalu kena hukuman. Setiap saya yang ditunjuk untuk melanjutkan presiden-presiden. Saya hanya menyebut diri saya sendiri.

Waktu ospek di kampus pun, saya melakukan itu. Nah, saat itulah kakak senior itu, mengenali saya.

Dia bercerita. bahwa, saat diospek dia mendapatkan permainan itu di kampus. Padahal, sudah diketahuinya. Lalu, dia memainkan permainan itu. Sebagaimana saya memainkannya. Itulah yang membuatnya terkenal di kampus.

Satu sampai dua kali, kesalahan itu saya lakukan. Bahkan, tiga hingga empat kali. Saya masih saja dianggap salah. Padahal, saya menganggap diri saya benar.

Saya tidak mau menyebut atau menunjuk yang lain menjadi presiden. Hanya saya saja yang boleh menjadi presiden. Sekalipun itu hanya dalam permainan presiden-presidenan.

Teman-teman kita, termasuk kamu, selalu menunjuk orang lain untuk menjadi presiden. Hingga kalian tidak mendapat hukuman. Sementara saya. Saya ingin menjadi presiden. Meski hanya presiden-presidenan. Makanya saya menunjuk dan menyebut diri saya. Amir presiden, presiden Amir . Amir presiden, presiden Amir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *