Hari ini, di penghujung petang yang sendu. Tunai sudah buku Corat-coret di Kaki Langit saya eja. Buku kedua buah fikir dari Kanda Muhammad Rajab ini berisi esai-esai yang berangkat dari hal-hal paling sederhana yang dilaluinya setiap hari, baik sebagai wakil rakyat ataupun sebagai rakyat yang diwakili, dari buku ini pula saya sedikit banyak terinspirasi ihwal pengabadian momen dan diri melalui tulisan.
Buku ini amat menarik bagi saya, apatah lagi saya adalah tipe orang yang memang menyukai buku berisi esai. Hemat saya buku esai mudah dicerna oleh orang-orang seperti saya yang kadang telmi (telat mikir)dan tidak terlalu suka berfikir hal-hal yang pelik, Hehe. Namun petuah-petuah bijak nan bajik di dalamnya tetap menjadi makanan gurih nan bergizi bagi jiwa saya yang kering ini.
Salah satu hal menarik dalam buku ini terdapat pada halaman 216 yang berkisah tentang perjalanan Nabi Musa pada suatu waktu. Ceritanya begini;
Suatu ketika Nabi Musa berjalan menuju Gunung Tursina, tempat Nabi Musa menerima perintah-perintah Tuhan. Di tengah perjalanannya, Nabi Musa bertemu dengan seorang Abid (ahli ibadah) yang sedang berkhalwat. Begitu melihat Nabi Musa mendekatinya, Sang Abid berdiri menyambutnya dengan penuh semangat.
“Wahai Nabi Allah, pasti engkau ingin menemui Tuhan. Tolong tanyakan kepada-Nya, gerangan di surga tingkat keberapa tempat aku nanti di akhirat?” tanya Si Abid kepada Nabi Musa.
“Loh, bagaimana engkau bisa memastikan dirimu masuk surga?” tanya Nabi Musa heran.
“Bagaimana tidak, wahai Nabi Allah. Aku berkhalwat sudah 40 tahun. Selama ini aku tidak pernah melakukan dosa. Aku telah meninggalkan segala-galanya. Aku hanya berzikir dan beribadah kepada-Nya. Aku tidak makan jika tidak ada daun-daun yang jatuh ke pangkuanku. Aku tidak minum kalau bukan air hujan. Tidak pantaskah aku masuk surga?”
Nabi Musa pun melanjutkan perjalanannya. Di gunung Tursina, ia “berjumpa” dengan Allah.
“Ya Allah, di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang hamba-Mu yang menghabiskan waktu dan tenaganya hanya rukuk dan sujud kepada-Mu. Dia ingin mengetahui di surga tingkat keberapa gerangan tepatnya kelak?”
“Wahai Musa, sampaikan kepadanya, tempatnya nanti di neraka.”
Nabi Musa terkejut. Ia kembali menemui Sang Abid.
Melihat Nabi Musa datang. Sang Abid bergegas menemuinya. Ia penasaran hendak mengetahui tempatnya kelak di surga.
“Di surga tingkat keberapa tempatku nantti? Katakan secepatnya wahai Nabi Allah”. Abid itu menggenggam bahu Nabi Musa seraya mengguncang-guncangkannya. “Katakan, wahai pesuruh Allah. Jangan biarkan aku menderita.”
Nabi Musa kesulitan menemukan kata yang tepat untuk memulai. Ia mematung. Abid itu terus mengguncangkan bahu Nabi Musa.
“Sabar, wahai sahabatku. Tuhan bilang, tempatmu nanti di neraka.”
“Bagaimana mungkin wahai Musa. Ibadah 40 tahun diganjar dengan neraka? Tidak mungkin. Pasti engkau salah dengar. Tolong kembali kepada-Nya. Tanyakan, di surga keberapa tempatku kelak?”
Nabi Musa kembali. “Iya, yah. Jangan-jangan aku salah dengar.” Nabi Musa bergumam di tengahjalan.
“Tuhan, hamba-Mu ingin kejelasan. Apa benar tempatnya nanti di neraka?”
“Katakan, tempatnya di surga.”
“Jadi, Tuhan, tadi itu apakah aku salah dengar?”
“Tidak, kekasihku. Engkau tidak salah dengar. Aku memang tadinya menempatkan orang itu di neraka. Aku menciptakan manusia bukan untuk hidup egoistis, apapun alasannya, termasuk alasan spiritual. Manusia aku ciptakan untuk menjadi khalifah, untuk memikirkan sesamanya. Abid tadi bukan mendekatkan diri kepada-Ku. Ia melarikan diri dari realitas.”
“Tapi, secepat itukah keputusan-Mu berubah?”
“Pada saat engkau berjalan ke sini, Si Abid itu tersungkur sujud, menangis sejadi-jadinya. Ia meminta, kalau benar ditempatkan di neraka, agar tubuhnya diperbesar sebesar neraka jahannam, supaya tidak ada orang lain yang masuk ke dalamnya selain dirinya. Pada saat itu, ia tidak egois lagi. Ia kembali ke pangkuan realitas. Ia telah memikirikan kepentingan orang lain.”
Sebuah kisah yang diambil dari buku Rusli Malik tentang puasa ini menyadarkan kita semua akan pentingnya kesalehan sosial. Salah satu aspek yang sering kita lupakan sebagai manusia yang terkadang melihat hidup hanya sebatas urusan pribadi dengan Tuhan tanpa mau peduli dan ambil pusing dengan kehidupan sosialnya di dalam masyarakat.
Rasulullah SAW bahkan menafikan keimanan seseorang jika sekiranya ia abai terhadap kehidupan sesamanya. “Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhori Muslim). Menyatalah betapa Islam amat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian.
Lantas, bagaimana dengan firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”? Bukankah salat itu termasuk dalam upaya menyembah Tuhan? Iya memang betul demikian, namun dalam ayat ini, kata menyembah ataupun ibadah memiliki makna yang lebih luas lagi cakupannya.
Sejatinya, menyembah Allah ada banyak rupa dan ragamnya. Ibadah tak melulu harus di masjid. Jika masjid didefinisikan sebagai tempat beribadah, maka saya berpandangan bahwa alam raya ini sesungguhnya adalah “masjid” besar di mana setiap laku dan lakon anak manusia juga bisa bernilai ibadah. Kadang tanpa sadar, kita telah melokalisasi Tuhan, menjadi begitu shaleh dan dermawan ketika berada di masjid, dan berubah binal dan korup ketika sudah meninggalkannya. Seolah-olah Tuhan hanya berada di masjid. Kita sering lupa dan mungkin sengaja lupa bahwa Tuhan ada di mana saja.
Ibadah, sebagaimana yang banyak dijelaskan oleh para cendekiawan muslim dibagi dalam dua hal; ibadah mahdhah (murni) dan ibadah ghairu mahdah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah, baik itu bentuk, kadar maupun waktunya seperti yang tertera dalam rukun Islam yang telah kita hafal sejak kanak-kanak dulu. ibadah ghairu mahdah adalah segala aktivitas lahir batin manusia yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sedangkan dalam pandangan Muhammad ‘Abduh, ibadah bukan hanya sekadar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.
Kasadnya, segala hal yang kita lakukan adalah tergantung dari niat. Jika tulisan ini dibuat dalam rangka mendekatkan diri pada-Nya, maka akan terhitunglah ia sebagai ibadah. Pun dengan salat yang kita lakukan, meskipun dilaksanakan di masjid bila dasarnya bukan karena Allah (riya), maka alih-alih mendekatkan diri padanya, justru kita telah membangun demarkasi yang begitu besar.
Akhirnya, hemat saya, setiap ibadah ritual yang dilakukan oleh manusia haruslah memiliki implikasi dalam kehidupan sosial. Ada begitu banyak dalil dan dalih mengenainya, baik dalam al-Qur’an ataupun hadis Nabi, namun sependek pengamatan dan pengetahuan saya, masih sedikit mubalig maupun mubaligah yang berani mengeksplorasi lebih jauh perihal kesalehan sosial ini. Hingga jamak kita saksikan dewasa ini ahli ibadah yang tekun tapi abai terhadap kehidupan sosial; menjadi orang-orang yang rajin shalat namun masih suka menghujat, rajin puasa namun nafsu masih berkuasa, sedekah setiap hari namun masih saja serakah, haji berulang kali namun masih senang mencaci. Naudzubillah.
Selamat berpuasa, teman. Semangakki