Foto ini menggambarkan banyak hal, tampak seorang anak mengusap air mata Ibunya. LI Junyang, seorang anak belia dari kota Shanghai, China. Dia berusia 3 tahun dan diagnosa mengidap kanker neuroblastoma. Orang tuanya kehabisan dana tak mampu membayar, tampak ibunya terseduh seduh menangis menyaksikkan anaknya. Menyedihkan memang, seorang anak lahir, sejenak di dunia, tiba-tiba harus bertarung melawan sakit yang mematikan.
Dari kisah ini, pertanyaan-pertanyaan eksistensial terkadang nyeletuk dalam hati, “untuk apa seorang anak dilahirkan, merasakan sakit dan nyeri, kemudian mati?”. “Mengapa seorang anak kecil tanpa dosa itu lahir untuk cuma merasakan nyeri sakit?”. Agak serupa dengan Albert Camus, dia menggugat dan menafsir dunia ini dengan apa yang disebutnya dengan absurbditas, “manusia lahir di dunia ini, tanpa kehendaknya, tak pernah memintanya, kemudian tiba-tiba hidup di dunia ini, pada saat tiba waktunya dia akan berhadapan dengan kematian, yang bisa saja dengan kehendaknya, ingin menolaknya, tapi tak ada daya untuk itu”.
“lets look at the logic, You create a man. Man suffers enormous amounts of pain. Man dies.” Kutipan tersebut salah satu pertanyaan eksistensial Patch Adam, sorang dokter yang kisahnya sudah diaadaptasi menjadi sebuah film. Dia banyak berdekatan dengan orang sakit, menyaksikan banyak orang yang menderita karena penyakit, para anak-anak kecil penderita kanker, menyaksikan pasien yang menderita secara psikis, dan pada akhirnya berujung dengan kematian. Rasa sakit dan kematian sebagai sesuatu talian yang berikatan erat. Ada yang sejenak merasakan sakit,lalu mati, tapi banyak pula diantaranya disepanjang hidupnya menderita sakit dan akhirnya mati pula.
What’s wrong with death? What are we so mortally afraid of’ …”Death is not the enemy”. Patch Adam menerjemahkan bahwa kematian bukanlah musuh dan suatu hal yang perlu ditakuti, kematian adalah sebuah keniscayaan. Banyak orang fokus memanjangkan usia, tapi abai tehadap kualitas kehidupannya. Hal-hal sederhana sebenarnya dapat dilakukan, baik itu menjaga kondisi psikis, berinterakkis ataupun sekedar humor. Menurutnya, meningkatkan kualitas kehidupan lebih essensial dari pada sekedar memanjangkan kehidupan.
Lanjutan pertanyaan eksistensial tersebut adalah “apa yang terjadi setelah kematian?”. Banyak otoritas yang memberi jawaban persoalan-persoalan pasca kematian. Beberapa orang menyandarkan pertanyaan-pertanyaan ini pada otoritas tertentu untuk memperoleh jawaban yang dianggapnya memuaskan. Walaupun demikian, sedikit banyak atau tidak, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kadang kala muncul adalah rekaan-rekaan atau hanya sekedar imaginasi yang muncul dari desain inderawi dan kerja-kerja akal. Tak ada yang tahu jelas dan persis, akan bagaimana nantinya.
Lain lagi dengan Prof. Komaruddin Hidayat, beliau menangap hal ini sebagai suatu peristiwa yang seyogyanya dirindukan, sebagai sebuah peristiwa kembalinya hal yang essential pada diri manusia, yaitu roh, pada tempatnya. Sebagaimana kita merayakan Idul Fitri, kita menyambutnya dengan suka cita, pulang kmapungbertemu dengan sanak keluarga, kita menanti nantinya dan merindukannya. Kenapa tidak dengan kematian?
Sebuah kutipan sajak dari Ibnu Sina tentang apa yang ada dan esensial dalam diri manusia, yaitu roh, dengan analogi merpati. Ruh dan tubuh manusia dianggapnya dua entitas berbeda. Ruh datang bak burung ditubuh manusia yang dianggapnya sebagai sangkar. “Ia (ruh) itu turun dari tempat yang tinggi. hai tubuh bernama manusia, bagai merpati jinak enggan dan menghindar, Ia tiba kepadamu dengan terpaksa, dan boleh jadi enggan berpisah kendati ia penuh keluhan, engganlah Ia dan tidak senang menyatu denganmu, tetapi begitu menyatu akhirnya terbiasa, bersanding dengan kebobrokan yang kumuh, lalu Ia lupa dengan janji-janinya ketika berada di alamnya yang tinggi, ia akan menangis jika mengingat janji-janjinya dialamnya yang luhur …”, demikian sajak Ibnu Sina tentang Roh itu. Jadi, kita semua manusia memiliki merpati-merpati dalam diri kita masing-masing.
“Hai, LI Junyang, adikku, merpati dalam dirimu masih tampak segar, cerah, bisa balik kepangkuannya dengan rian gembira, sedangkan saat ini saya masih meratapi diri, merpati yang hinggap dalam diriku, sayapnya tampak lusuh dan kusut, di perjalanannya nanti, entah bisa berbalik dengan gembira atau tidak”. Lalu, siapa yang layak dikasihani?
Sumber gambar: http://dailymail.co.uk
Penulis berasal dari Bantaeng. Mahasiswa Pascasarjana pharmaceutical Sciences, Naresuan University. Peneliti obat dan penyuka fakta-fakta sains.