“Berbuatlah, tapi jangan karena ingin beternak derita.” (Guru Han)
Gempa politik pilkada di beberapa daerah, sekira dua tahun sebelum datangnya badai dan tsunami politik pilpres dan caleg, sekotahnya sudah berlalu. Waima gempa politik, dan badai, serta tsunami politik, tetap menyisakan akibat, hingga kini masih terasa. Negeri ini butuh pemulihan atas sakit jiwanya.
Saya punya beberapa kawan yang terkena dampak akut gempa, badai, dan tsunami politik itu. Mereka adalah para pendukung peserta helatan politik itu. Pasalnya, banyak kawan saya menang, juga tidak sedikit yang kalah. Dan, baik menang maupun kalah, ternyata nasibnya sama: menderita.
Kawan yang memenangkan dukungannya, menderita karena harapan imbalan yang diangankan, belum didapat. Maka yang terjadi kemudian, sepertinya, malah balik memusuhi yang didukung itu. Tidak sedikit auman di dunia nyata, apalagi dunia maya disemburkan. Mirip lahar panas yang mengalir dari kawah gunung meletus. Nyaris, tiada hari tanpa ocehan. Kawan saya amat menderita.
Sebaliknya, kawan saya yang kalah, lebih dahsyat lagi muntahan amarahnya. Dobel digit. Perkaranya, dia sudah merasa menderita karena kalah, pun calon yang didukung, kini sudah bermesraan dengan lawannya di pertarungan politik. Padahal, kawan saya itu, masih meinginkan permusuhan itu dilanjutkan. Sebab, menurutnya, pertarungan itu adalah perlagaan antara kebenaran dan kebatilan, antara suara tuhan melawan suara setan. Kiwari, sumpah serapah sering diumbarkan, baik di dunia nyata, apatah lagi di dunia maya. Sang pujaan kala helatan politik digelar, telah menjadi sosok yang paling dimusuhi. Kawan saya sangat menderita.
Kawan saya, baik pendukung pemenang maupun pengikut yang kalah, keduanya amat sangat menderita. Nampaknya, mereka lebih menderita dari mantan pujaannya. Pemenang sudah mendapatkan jabatannya, yang kalah sudah mengucapkan selamat atas kemenangan.
Lalu, kenapa mereka begitu menderita? Saya mau ajukan satu suguhan tutur dari Master Sheng-Yen Litt.D, seorang guru Ch’an (Zen Cina) terdepan, mendapat gelar doktor Buddhist literaturenya, dari Rissho University, lewat bukunya, Ch’an Gerbang Tanpa-Gerbang, bahwa salah satu sumber penderitaan adalah rasa kesal. Kekesalan. Dalam perspektif Buddhisme, kekesalan merupakan terjemahan dari kata klesha, dari bahasa Sanskrit.
Lebih menukik, sang Master menabalkan, kekesalan bisa timbul dari kontak dengan lingkungan alam. Juga bisa timbul dari hubungan kita dengan orang lain. Ada anggapan, musuh-musuhlah yang bertanggungjawab, karena menjadi penyebab kekesalan. Lebih dari itu, penyebab kekesalan terletak pada pergolakan emosional kita sendiri. Musuh terbesar kita, bukanlah berasal dari luar diri, melainkan dari dalam diri.
Nampaknya, kawan-kawan saya itu, menderita karena kesal pada pujaannya. Kekesalannya memucuk, ketika mereka berpegang teguh pada anggapan, bahwa semestinya mereka ikut menikmati kemenangan, berhak mendapatkan pembagian kue kemenangan. Namun apa yang diperoleh? Hanya capek.
Begitu pula dengan kawan lainnya, sebab ini adalah pertarungan hidup mati, hitam putih, benar salah, maka tidak boleh dicampur aduk. Kekesalannya memuncak, tatkala berpegang erat pada tali agama, yakni, ajaran agama bilang, jangan mencampuradukkan antara hak dan batil.
Persamaan nasib dalam penderitaan, buah dari kekesalan, menyebabkan kawan-kawan saya tersebut, makin intens bertemu. Kalau dulunya bertemu dalam suasana permusuhan, kini mereka berjumpa penuh kekompakan. Mereka saling curhat sebagai korban politik persekongkolan. Korban karena tidak dapat jatah dan korban sebab pujaan meninggalkan barisan perjuangan.
Sekali waktu, saya bersua mereka di sebuah warung kopi. Kepulan asap rokok sudah memadat, meski tidak seperti kebakaran hutan. Gelas-gelas kopi yang habis diminum isinya, sudah lebih dari jumlah orang yang bersamuh. Inilah cara membangun kebersamaan dalam kesal, pemantik derita. Saya ikut memanjangkan waktu persamuhan, sekadar mendengar ujar-ujar kekesalan mereka.
Pada lain waktu, saya berjumpa kembali dengan mereka di tempat yang sama. Masih saja yang diocehkan selaksa kekesalan. Malah tensinya makin naik. Obrolan menajam pada soal-soal kedengkian. Kelihatannya, dari kesal bermutan pada dengki. Aroma perbincangan menjurus pada kedirian yang awalnya hanya kesal menyesali diri, beralih ke luar diri. Menjadi pendengki. Jika kesal itu berupa binatang ternak, maka dengki pun demikian adanya.
Teringatlah saya pada sosok cendekiawan muslim, Komaruddin Hidayat. Di bukunya, 250 Wisdom, ia menulis, “Dengki itu menggerogoti kesehatan jiwa sekaligus menutup pintu kebaikan. Lebih celaka lagi, orang yang dihinggapi virus dengki akan selalu tersiksa atas kesuksesan orang lain. Semakin sukses orang lain, semakin tersiksa hati di dengki.”
Makin khusyuk Komaruddin melanjutkan, “Dengki memang ibarat virus yang terus menebar di seluruh sudut-sudut jiwa. .. Virus ini dari satu bakteri yang bernama ananiyah (egoisme) atau keakuan. Keakuan ini ditandai dengan gejala-gejala serba aku dan aku. Efek yang ditimbulkannya di antaranya adalah prilaku yang serba harus aku. Sementara yang lain dianggap kecil.”
Sepulang dari persamuhan, bersama mereka di warung kopi, yang entah ke berapa kalinya, saya mulai membatin. Sepertinya mereka mulai beternak derita, binatang ternaknya berwujud kekesalan dan kedengkian. Kawan-kawan saya ini, telah mewujud menjadi sekaum peternak derita, melanggengkan penderitaan. Derita telah menerungkunya. Mereka mengembangbiakkan kekesalan dan kedengkian. Beternak derita.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.