Lagi hangat perdebatan para filsuf. Tentang sudut pandang baru, atau paradigma baru, sebuah gerakan, atau aliran baru. Mereka menyebutnya realisme spekulatif. Secara langsung menginterupsi postmodernisme atau kawannya yang lain, pascastruktruralis, yang anti-realis. Gerakan emansipasi. Bahwa, alih-alih menemukan kebenaran universal, bahkan yang mana ‘yang benar’ dan yang mana ‘yang belum benar’ pun kini masih perlu dan harus segera dipertentangkan kembali.
Realisme spekulatif: ‘perang’ pemikiran
Sebuah kabar gembira tentu saja, bagi pecinta literasi. Bahwa filsafat pun tak pernah benar-benar berada di titik aman. Tak ada yang anti-kritik dalam dunia ilmu, juga filsafat.
Di Goldsmith University of London tahun 2006 silam, gerakan filsuf ini dimotori oleh Quentin Meillassoux bersama koleganya. Saya tahu ini dari buku Ontoantropologi: Fantasi Realisme Spekulatif Quentin Meillassoux karya Hizkia Yosie Polimpung. Buku ini ternyata lahir dari disertasi. Sebuah upaya serius untuk tidak ingin melihat dunia filsuf adem-adem saja. Tapi, sebenarnya realisme spekulatif adalah protes keras terhadap dunia filsuf yang terlanjur berada di zona kebenaran yang nyaman.
Meillassoux, kata Polimpung, berhasil membuka jalan untuk menggugat Kant hingga Hegel yang dicapnya sebagai pengusung korelasionalisme. Adalah sebuah hasil pemikiran yang nyaris menyentuh level dogma dengan adagium ‘pemikiran’ dengan objek (yang ada) tak bisa dipisahkan. Dengan sendirinya, menempatkan manusia sebagai pusat, ontoantropologi. Manusialah yang menentukan objek.
Lalu, apakah realisme itu? Setidaknya, menurut Polimpung, ada tiga aspek utama yang mencirikannya. Pertama, independensi, keberadaan objek yang terpisah dari subjek (pemikiran). Kedua, ada hubungan korespondensi antara subjek dengan objek. Dan ketiga adalah univokal, bahwa pengetahuan tentang objek hanya ada satu, tidak boleh ada ambiguitas dan pluralitas dalam kebenaran. Yang terakhir juga menegaskan bahwa (saat ada) temuan teori baru dengan demikian menggugurkan teori lama, dan seterusnya.
Spekulatif, kata yang mengikuti realisme inilah yang sedang digagas, atau setidaknya sedang renyah-renyahnya dikonsumsi oleh para filsuf.
Dikatakan spekulatif karena ia mencoba mengakses atau memikirkan sesuatu yang tak terpikirkan, hingga ia menjadi absolut atau ia ada di wilayah eksternal terhadap pemikiran, kata Polimpung. Meski dengan proposisi itulah ia pun mengkritiknya, sebuah keganjilan untuk memikirkan sesuatu yang tidak mungkin terakses oleh pikiran. Karena, ketika sesuatu sudah menyentuh pikiran, maka ia tentu tak lagi spekulatif, ia ada di ranah metafisik.
Tapi, bagi Meillassoux melalui After Finitude meyakini bahwa ‘masih ada cara bagi pikiran untuk bisa mengakses yang di luar –atau tanpa- pikiran ini,’ tulis Polimpung.
Menggagas hal baru yang sebelumnya dinilai tabu. Itulah kabar gembiranya, sebuah perayaan bagi pemikiran. Masih dan akan selalu ada keterbatasan bagi pemikiran. Bukan hanya soal apa yang bisa dijangkaunya, melainkan pada soal batasan-batasan yang tak seharusnya ada yang bersifat absolut, bagi pemikiran.
Apakah ia berhasil? Jika merunut riwayat pertarungan pemikiran, ontoteologi pernah begitu digdaya, bahwa segala konsep harus merupakan manifestasi dari Sang Ada (Tuhan). Ontoteologi begitu perkasa—berkat bantuan gereja—merepresi pemikiran nirontoteologi. Tapi sebagai sebuah gagasan, ia tetaplah membutuhkan kesadaran (subjek), dan ia harus manusia (anthropos). Maka lahirlah konsep ontoantropologi.
***
Razia buku kiri: perang terhadap pemikiran
Seolah tak mau kalah dengan debat para filsuf, perang pemikiran juga terjadi di Indonesia. Tapi perang yang terjadi jauh dari bentuk akademis yang berpusar pada pemikiran. Perang dalam makna harfiahnya, mereka menyerang, merazia dan membakar buku.
Perang terhadap pemikiran sedang dipertontonkan para pembenci ‘kelompok kiri’ sedang unjuk gigi. Mereka merazia lapak buku jalanan, hingga ke toko-toko buku. Ini adalah bukti, dogma kebencian yang diterima begitu saja, bahwa ‘aliran kiri’ adalah penjahat yang harus dilenyapkan sampai ke akarnya, sampai ke gagasannya, sampai ke pemikirannya. Mereka mengampayekan bahwa ‘kiri’ digerakkan oleh paham yang tak percaya Tuhan, jika pun ada sesuatu yang ‘baik’ yang mereka lakukan, itu hanya kedok agar mereka terlihat baik.
Di Probolinggo, Sabtu 27 Juli kemarin, bahkan pelapak dari komunitas Vespa, sempat dibawa ke markas Polsek untuk dimintai keterangan soal buku-buku kiri yang mereka gelar. Dan kemudian bukunya ditahan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) Probolinggo.
MUI ikut bereaksi untuk merazia buku kiri. Sebuah perkumpulan ulama, yang dalam pengertian awam adalah kumpulan orang-orang berilmu. Tapi mereka ikut merazia buku, produk ilmu.
Hari ini (4/8/19) di Makassar tak kalah miris, toko buku Gramedia Transmal, didatangi oleh sejumlah orang dari Ormas Brigade Muslim Indonesia yang mengklaim punya misi melenyapkan hasil-hasil pemikiran yang berbahaya bagi negara. Mereka berasalan, merujuk Tap MPRS No.XXV 1966 anti Marx-Lenin. Konyolnya, dalam videonya, mereka mengecam dan menyerukan bahaya penyebaran paham komunisme-leninisme sambil meneriakkan kalimat tauhid ‘Allahu Akbar.’
***
Perang (terhadap) pemikiran
Apakah realisme spekulatif itu akan berhasil menghadirkan aliran baru? Biarlah itu tetap jadi pekerjaan filsuf. Sejauh ini, yang paling penting bagi dunia akademik adalah pentingnya menghidupkan terus perang gagasan, bahwa para pemikir tak boleh berada pada titik jumud.
Perang pemikiran adalah bukti ilmu tak akan pernah mati. Namun perang terhadap pemikiran mungkin adalah cara paling primitif bagi manusia yang tak memiliki akses yang cukup terhadap ilmu. Memerangi gagasan adalah wujud fasis yang bahkan akan membenarkan pembunuhan fisik dan pikiran.
Karenanya, jika dengan ontoantropologi, Palimpung menyerukan ‘filsuf sedunia bersatulah’, maka dengan maraknya kembali razia buku kiri, kita seharusnya serentak berseru: ‘wahai manusia, berpikirlah!
Sumber gambar: https://www.urbanomic.com/document/speculative-solution-meillassoux-hecker/