“Cukuplah rayap saja yang menghancurkan buku.” (Guru Han)
Apa jadinya, jika setiap kelompok mendatangi toko buku, lalu meminta sejumlah buku untuk dikembalikan ke penerbitnya, karena tidak setuju dengan buku itu? Maka akan kosonglah toko buku. Dan, tahukah anda jika buku tak bebas diperdagangkan lagi? Mandeklah ilmu pengetahuan. Macetlah peradaban.
Beberapa waktu lalu, segelintir orang, menamakan diri dari Pemuda Pancasila (PP) dan Brigade Muslim Indonesia (BMI) mendatangi toko buku Gramedia di Mal Trans Studio Makassar. Maksud kedatangannya dapat dilihat pada video berdurasi 39 detik, yang lagi viral. Mereka sedang mencari buku yang berpaham Marxisme. Dan, bersepakat dengan pihak Gramedia, untuk menarik seluruh buku tersebut dan mengembalikan ke pihak percetakan. Mereka ingin Makassar bebas dari paham itu. Apesnya, buku yang dipertontonkan di video itu adalah bukunya Franz Magnis Suseno, yang justru buku tersebut mengkritik marxisme. Satu kebodohan menurut Romo Magnis. Rupanya mereka tidak bisa bedakan, mana buku marxisme dan buku kritik atas marxisme.
Selain itu, juga ikut viral salah satu akun media sosial, atas nama Ruslan Sikki, pada Sabtu, 03 Agustus 2019, tertulis, “Kami melakukan sidak ke salah satu toko buku ternama yang ada di Mal Trans Studio Makassar. Kami merazia sejumlah buku yang berisi paham MARXISM (Komunis). – Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 – Komunis adalah musuh kita bersama, mari berantas mereka!!!”
Hingga tiga hari kemudian, saat tulisan ini saya bikin, masih menjadi topik perbincangan di dunia maya. Sorotan publik terhadap masalah itu amat beragam. Cara menanggapi pun beraneka, mulai dari kecaman serius, hingga tanggapan lucu-lucuan. Akibatnya, mereka melakukan klarifikasi atas kedatangan di Gramedia. Salah satu isi klarifikasinya, mereka silaturrahmi saja. Tapi video dan unggahan di akunnya, sulit untuk dianggap sebagai kunjungan yang tidak menekan. Entahlah.
Viralnya video dan unggahan itu, menyebabkan banyak yang bertanya kepada saya. Pertanyaannya macam-macam. Alamat bertanya ke saya itu diajukan, mungkin karena dua hal. Pertama, saya sebagai pelibat di bisnis perbukuan. Punya toko buku, kadang pula menerbitkan buku. Urusan perbukuan, tepatnya, menjadi penjual buku, saya sudah mulai tahun 1993. Kedua, saya selaku pegiat literasi. Menekuni kegiatan literasi, nyaris sama tuanya dengan bisnis buku yang saya lakoni. Meski istilah literasi sebagai gerakan sosial, barulah sepuluh tahun terakhir ini populer.
Berlapik pada dua hal tersebut, saya ingin menguarkan buah pikir. Sebagai pebisnis buku, soal larangan menjual buku, haruslah atas ketetapan hukum yang jelas. Sebuah buku dinyatakan terlarang untuk disebarkan, termasuk diperjualbelikan, jika ketetapan itu merupakan produk pengadilan. Semua buku yang ada di toko buku, sepanjang tidak ada ketetapan pengadilan maka sah untuk diperdagangkan. Jadi, kalau ada sekelompok orang merazia buku, sesungguhnya mereka telah menyerobot wewenang aparat penegak hukum. Para penegak hukum saja, untuk merazia buku, harus berdasarkan ketetapan pengadilan. Proses penetapan pengadilan pun bukan perkara mudah, sebab akan melibatkan banyak ahli. Harus melewati pengkajian, bukan sekadar ketuk palu.
Hadirnya satu buku di toko buku, apa pun tema pemikirannya, merupakan buah karya intelektual, yang prosesnya cukup panjang. Sebuah buku terlebih dahulu ditulis oleh pengarangnya, lalu penerbit menyiapkan segala persyaratan terbit, di antaranya ISBN dari Perpustakaan Nasional, baru dicetak, lalu didistribusikan. Toko buku hanyalah salah satu tempat mampir dari sebuah buku. Sekotah buku yang ada di toko buku, sah keberadaannya, karena telah melewati persyaratan terbit.
Semangat sekelompok orang untuk menyatakan buku itu dilarang beredar, bisa mengganggu kepentingan publik, mencederai kebutuhan anggota masyarakat. Boleh menyatakan buku itu terlarang, tapi untuk diri sendiri, atau buat kelompok sendiri. Karenanya, cara terbaik melawan para penyerobot kewenangan itu, toko buku harus tetap memperdagangkannya. Dan, begitupun juga, manakala sebuah buku sudah dilarang secara resmi, tidak boleh diperdagangkan, kecuali yang bersangkutan siap menerima resiko hukum. Demikian pula, cara terelok bagi yang tidak setuju dengan satu buku, buatlah buku bantahannya, sehingga terjadi dialektika, akan memungkin lahirnya pengetahuan baru.
Karenanya, bagi saya, agak menggelikan juga tindakan merazia buku. Apa pun jenis buku dan pelakunya. Sebab apa? Di era kiwari ini, di mana teknologi penyimpanan sebuah isme, tidak lagi semata dalam bentuk fisik buku. Setidaknya ada ebook. Demikian pula beragam jenis penyimpanan di dunia maya. Maka tidak salah kalau ada yang menilai tindakan razia buku, sebentuk kedongokan. Lebih dari itu, akibat dari razia buku, hanya akan semakin memoncerkan popularitas sebuah buku. Maka buku itu akan semakin diburu oleh peminat. Jadi, para perazia buku itu, sesungguhnya ikut mempercepat penyebaran sebuah buku. Benarlah kata seorang kawan penjual buku, gara-gara razia buku ini, insyaallah penjualan buku marxisme dan turunannya, akan makin laris manis. Inilah rezeki anak saleh.
Selaku pegiat literasi, saya pun menyayangkan kalau ada razia buku. Kenapa? Karena akan menjadi batu sandungan lahirnya tradisi literasi di sebuah komunitas, menghambat terwujudnya budaya literasi, persisnya masyarakat literasi. Masyarakat kita, Indonesia, sejauh ini masih didapuk sebagai negara yang rendah peringkat literasinya. Para pegiat literasi berjuang untuk menangkal stigma itu. Karenanya, di tengah-tengah anjuran pemerintah menggalakkan budaya literasi, lalu muncul sandungan semisal razia buku, sesungguhnya itu serupa bencana. Kejadian-kejadian komunitas literasi yang dirazia bukunya, sebab dianggap buku marxisme, sewaktu beraktivitas, benar-benar bencana bagi gerakan literasi. Tentulah harus dienyahkan bencana itu.
Sudut pandang literasi, kontribusi marxisme dalam tradisi intelektual tidak bisa disepelekan. Cobalah baca biografi para pendiri negeri ini, baik yang haluan politiknya “kanan”, “tengah”, dan “kiri”, pastilah akrab dengan marxisme. Tengoklah mata kuliah yang ada di fakultas ekonomi, sosial-politik, agama, psikologi, sastra dan budaya, serta pendidikan, pasti bersua dengan marxisme. Dan, lebih dari itu, jika literasi dipahami secara bertingkat, dan tiba pada tahapan literasi fungsional, maka marxisme akan ambil bagian dalam percaturan intelektual.
Walhasil, saya hanya ingin bilang, bahwa memang ada musuh abadi dari sebuah buku, apa pun jenis isme dari buku itu, yakni rayap. Bagi rayap, semua buku ingin dihancurkan, sebab dia sendiri tidak tahu apa yang dihancurkannya itu. Rayap begitu telatan menggerogoti buku, secara diam-diam. Jadi, cukuplah rayap saja yang melakukan razia buku, janganlah ikut-ikutan pada rayap yang tak berpikir itu, apatah lagi melakukan secara demontratif dan terang-terangan. Sungguh, masih lebih keren rayap cara beraksinya. Walakin bagi saya, sebagai penjual buku sekaligus selaku pegiat literasi, tetap takut pada rayap. Sebab buku untuk disayangi, bukan buat dimalangi.
Kredit ilustrasi : https://www.polhukam.id
1. Org yg mengkritisi paham marxisme lenimisme blom tentu bertujuan untuk menjauhkan generasi dari pahan marxisme tp bisa saja bertujuan spy pembacanya semakin mengikuti paham marxisme sehingga potensi penyebaran paham marxisme dan lenimisme bisa semakin kuat dan ini bisa menjadi sesatu yg dapat mengancam idiologi bangsa