Cuman segelintir turunan Adam, yang layak untuk dikenang. Manusia terkenang pada sosok tertentu, jika sari diri sosok itu, telah terpahat pada hati dan terlukis di pikiran insan berikutnya. Sesarinya, perjalanan hidup adalah usaha memahat dan melukis pada semesta kehayatan. Hanya pahatan dan lukisan kehidupan sebagai pengantar pada kenangan. Itulah cara mengenang kenangan. Dan, pada kenanganlah, tertambat rindu akan napak tilas jalan hidup seseorang.
Mengenang Ishak Ngeljaratan, menegaskan ada rindu, senantiasa membuncah pada orang-orang yang akan menyusulnya. Berkumpullah mereka, menubuhkan diri dalam satu hajatan, menghadirkan kembali Ishak Ngeljaratan, lewat tajuk acara: Mengenang Satu Tahun Kepergian Almarhum Ishak Ngeljaratan. Persamuhan ini dirangkaikan sawala buku, Quo Vadis Indonesia? anggitan Ishak Ngeljaratan. Hari Sabtu, 03 Agustus 2019, bertempat di Fajar Room Lantai 4, Gedung Graha Pena Makassar, pukul 10.00-selesai. Saya termasuk salah seorang penghadir, ikut larut dalam kenangan.
Pusaran kenangan pada Ishak Ngeljaratan ibarat putaran gasing. Total durasi putaran itu memangsa waktu sekira empat jam. Putaran gasing waktu mengheningkan suasana. Pusaran kenangan ditandai dengan sederet mata acara, kelihatan amat sederhana. Ada pembacaan puisi, persembahan lagu, dan pemantik kenangan lewat tiga pembincang: Yonggris (Ketua Permabudhi Sul-Sel), Aslan Abidin (Sastrawan-Akademisi), dan Alwy Rachman (Budayawan).
Para penyambung kenangan ini mewakili sosok Ishak dalam berbagai dimensi kehidupan. Sebagai sahabat, selaku akademisi, dan selakon budayawan. Ratusan penghadir ikut larut dalam terungku kenangan, beberapa penghadir ikut unjuk kata. Sekotahnya bercakap tentang Ishak Ngeljaratan. Pembincang pertama dan kedua, menghamburkan sederet cerita tentang bagaimana Ishak menjalani hidup sederhana dan melakoni sikap hidup rendah hati. Sedang pembincang ketiga, mengajak untuk tiba pada transendendi kehidupan Ishak Ngeljaratan.
Saya tak hendak mengurai isi buku itu. Tapi lebih menelisik sosok Ishak Ngeljaratan, berlapikkan pada tutur-tutur dari para penikmat kenangan. Satu simpaian kesimpulan, Ishak Ngeljaratan adalah pribadi sederhana, bahkan terlalu sederhana dalam melatai kehidupan. Kesederhanaan bagi Ishak merupakan pilihan hidup. Bukan karena ditaklukkan oleh kehidupan, melainkan ia telah menaklukkan kehidupan. Dari pribadi sederhana inilah, membawa konsekuensi prilaku hidup: Rendah hati. Orang yang menempuh tirakat hidup sederhana, pastilah rendah hati.
Pertanyaannya kemudian, dari mana laku hidup rendah hati, sebagai buah dari pilihan hidup sederhana, menyatu dalam sosok Ishak Ngeljaratan? Saya harus mengeja bukunya. Rupanya, ada pada dua esai yang bertema tentang manusia. Judul esainya, “Memuliakan Manusia” dan “Muliakanlah Manusia”. Ishak Ngeljaratan benar-benar bicara tentang manusia dan mempraktekkan bicaranya.
Bagi Ishak Ngeljaratan, “Karena manusialah yang dilukiskan sebagai ciptaan yang paling sempurna dan mulia di tengah alam semesta, maka sepatutnya Allah dimuliakan dengan memuliakan manusia ciptaan-Nya. Manusia yang dimuliakan adalah manusia yang hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Lebih khusyuk Ishak Ngeljaratan bertutur, “Karena itu, setiap individu manusia Indonesia seharusnya memerankan kelompok, masyarakat, bangsa, dan negaranya untuk memuliakan Allah. Konseksuensi logis dari memuliakan Allah harus dibuktikan dengan kewajiban untuk saling memuliakan di antara sesama dalam kelompok di tengah masyarakat atau bangsa yang majemuk dalam negara di atas tanah tumpah darah (home-land) Indonesia.
Saya meyakini, pandangan dunia Ishak Ngeljaratan ini, lahir dari cara mengalami hidup dan kehidupan ber-Indonesia. Sepertinya ia ingin menegaskan, bilamana berurusan pada sesama anak bangsa, maka saling memuliakan di antara sesama warga negara, manusia Indonesia, sebagai wujud memuliakan Allah, memuliakan Pencipta lewat ciptaan-Nya, menunjukkan cara pandang amat spiriritualis dan sangat religius.
Memuliakan sesama, sebagai cara memuliakan Allah, hanya bisa lahir dari sosok-sosok rendah hati. Sebab, manakala sebaliknya yang muncul, tinggi hati, maka sulit memuliakan sesama. Orang yang tinggi hati, sesungguhnya telah menerungku dirinya dalam sikap rendah diri. Dalam diri yang rendah, terkumpul penyakit-penyakit hati, semisal, serakah, riya, dengki, benci, ujub, dan zalim. Penyakit-penyakit hati ini pastilah akan merusak sesama, menghancurkan sendi-sendi hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semestinya, manusia dengan segala varian sosialnya, merupakan alamat Allah.
Lalu apa hasil dari lakon hidup rendah hati? “Transendensi”, kata Alwy Rachman. Kayaknya, sikap rendah hati masih merupakan lakon-lakon di “bumi”, sebagai pengantar menuju transendensi di “langit”.
Menurut Alwy Rachman, sosok Ishak Ngeljaratan, di sepanjang kariernya sebagai pendidik dan penulis produktif, ia menjalankan laku hidup yang nyaris asketis, yaitu mengesampingkan hedonisme duniawi. Persona yang tiada lelah mengajak setiap individu untuk tiba di dunia transendensi.
Dunia transendensi adalah dunia abstrak paling abadi. Ishak Ngelajaratan kini “tiada” tapi “ada”. Ia bisa ditemui di dunia transendensi. Ia kini berdiam di puncak kehidupan, sebagaimana ia dakukan berkali-kali semasa hidup, “Maut adalah puncak kehidupan”, “Maut adalah titik dari kalimat yang sempurna”, dan “Tidak ada kalimat sempurna tanpa titik”, ujar Alwy Rachman selaku sang murid.
Ishak Ngeljaratan sebagai turunan Adam, telah menjalani hidup sederhana, melakoni sikap rendah hati sebagai buah tirakahnya, menuju langit transendensi. Ia melata di bumi, lalu terbang ke langit, menjadi manusia transenden, manusia citra ilahi. Kenangan pada manusia-manusia transenden akan selalu abadi. Ishak Ngelajaratan telah menabalkan teksnya lewat tulisan-tulisannya, dan menubuhkan konteksnya pada lakon hidupnya. Ia layak dikenang, sebab, ia terpahat di hati dan terlukis di pikiran manusia kekinian dan kedisinian.