Teknologi di tangan manusia seperti pisau yang netral pada kemungkinan ‘nasibnya’: bisa jadi dipakai untuk hal-hal baik, bisa juga hal-hal jahat. Tak terkecuali teknologi informasi dan komunikasi. Baru saja kita lewati Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia, yang jauh sebelum waktu pelaksanaannya, dipenuhi berita-berita hoaks. Tetapi baru pada awal tahun 2019, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika menyusun strategi untuk menangkal hoaks. Indikasi politik dengan hoaks lewat media sosial jadi penanda penting dari mampunya ruang-ruang maya meredefinisi “cara kita memilih”.
Pengguna media sosial di Indonesia dari hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019, mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah sebanyak ini tentu dilihat sebagai kerumunan massa, ladang suara, bagi peserta Pemilu juga pendukung yang jadi tim suksesnya. Apalagi, dari hasil riset yang sama, pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan tiga jam dua puluh enam menit jika dirata-ratakan untuk bermedia sosial. Waktu yang cukup lama dan tidak produktif mengingat pernyataan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rosarita Niken Widiastuti, pengguna media sosial di Indonesia punya pola komunikasi 10 to 90. Hanya 10% masyarakat yang memproduksi informasi, sedangkan 90% cenderung mendistribusikannya.
Kerentanan pengguna media sosial terhadap hoaks semakin dimungkinkan dengan Filter Bubble, Gelembung Saringan, algoritma media sosial yang dibangun dari akumulasi kecenderungan kita mengetik sesuatu di kolom pencarian, dari klik, like, share, dan comment. Algoritma ini menyaring dan mendistribusikan informasi dari kecenderungan pengguna. Dengan Filter Bubble ini, jika satu hoaks sudah kita like, share, dan comment, dengan sendirinya akan menjadi spiral yang mengisolasi pengguna hanya pada hoaks saja.
Redefinisi dan Hal-hal yang Hilang
Wacana teknologi informasi buat saya ingat idiom “Manusia adalah budak teknologi” yang santer terdengar dan tidak bisa dianggap remeh. Kritik terhadap pengguna media sosial ini merupakan fenomena yang dapat dilihat sehari-hari. Teknologi informasi yang awalnya netral di tangan pengguna, dengan algoritma internet digiring untuk “hidup” di ruang lain, ruang maya. Ditandai dengan munculnya idiom “Berkarya demi Instagram”. Salah satu hal yang buat orang merasa hidup di ruang maya karena media sosial juga jadi ruang apresiasi. Fitur love di Instagram, misalnya, jadi ukuran dari “harga” karyanya.
Dalam memahami fenomena ini, mungkin Anda familiar dengan beberapa orang yang mengukur status seseorang dari jumlah followers-nya. Untuk orang dengan jumlah followers yang banyak, mereka akan dikategorikan sebagai selebriti atau yang kadung dikenal dengan selebgram. Menjadi selebritis di dunia nyata pada kenyataannya tidak semudah di ruang-ruang maya. Di ruang maya, jasa jual-beli followers bahkan menjamur dan jadi hal biasa. Tak sedikit orang rela merogoh kantongnya untuk mendapatkan banyak followers dan menyandang status sebagai selebgram.
Ini tidak terlepas dari kebutuhan manusia akan banyak hal yang mudah ketika didigitalkan, mengutip Antonius Puspo Kuntjoro (2017) dalam “Menangkal Teknologi Patologis”:
“Ada orang yang punya kepentingan politik atau ekonomi; ada orang yang butuh sensasi; ada orang yang butuh identitas; butuh eksis; dan lain-lain. Semuanya itu dapat dilihat sebagai bahan baku untuk meramu sebuah industri hoax dan ujaran kebencian tadi, tentunya dengan bantuan teknologi informasi/digital.”
Sementara kita asyik hidup di ruang maya, perkembangan teknologi informasi meminimalisir perjumpaan tatap muka antar kita. Kita dimanjakan oleh ragam platform yang ikut menyemarakkan laju perkembangan teknologi seperti: ketika ingin belajar atau membuat sesuatu, kita tinggal mencari tutorial di Youtube; ketika kita tersesat di jalan, idiom “malu bertanya sesat di jalan” bukan lagi tentang manusia, tetapi teknologi yang kita kenal dengan Google Maps; ketika ingin belanja, kita tinggal kunjungi salah satu situs belanja daring dan menekan tombol klik.
Saya tidak tahu, apa istilahnya, atau adakah yang pernah membahasnya. Tetapi kita terbiasa menyelesaikan sesuatu dengan cara yang sangat teknologis. Padahal, ketika berbicara, misalnya, menatap mata seseorang dalam ilmu komunikasi adalah sesuatu yang penting. Atau taruhlah, kita tidak diperdaya dengan pesan “Hahaha” di media sosial tetapi tubuh orang yang mengirim pesan itu tidak selaras dengan gerakannya.
Visual Teknologi
Sebagaimana percaya bahwa teknologi di tangan manusia punya posisi netral, teknologi tentu juga membawa hal-hal baik. Misalnya, teknologi memungkinkan kita melihat banyak perempuan di jalanan dengan hadirnya motor matic. Ia menjembatani pikiran para aktivis feminis dengan cara membendakannya. Teknologi juga memangkas jarak dengan menghadirkan video call, juga pada mereka yang ingin belajar tetapi tak punya waktu banyak dengan ikut kuliah basis daring yang kini juga marak.
Dalam pemanfaatannya, masih ada satu tantangan yang dalam istilah teknologi komunikasi dan informasi dikenal dengan digital divide: kesenjangan dalam kapabilitas terhadap akses ke media, ke teknologi informasi/komunikasi, terkait juga dengan kualitas akses tersebut (www.internetworldstats.com, 2017). Di Indonesia, khususnya Indonesia bagian timur, akses informasi digital begitu sulit. Tak jarang, di kota-kota seperti di Provinsi Papua, misalnya, hanya memiliki satu provider dengan kualitas jaringan yang kurang baik.
Kemajuan kemudian masih didefinisikan secara konvensional, jika teknologi diikutkan sebagai indikatornya. Misalnya, dalam mata pencarian, ojek online tentu masih lama terhubung ke sana. Atau dalam perniagaan yang tak jarang masih mengandalkan fisik sedangkan di kota-kota maju yang kualitas jaringannya bagus, fisik seperti toko mulai berkurang. Definisi kemajuan kemudian terbatas hanya pada fisik saja. Misalnya dengan menambah tempat duduk di depan tokonya, atau menambah lantai di rukonya.
Sementara mereka yang kesulitan akses masih terbata-bata, visual teknologi dalam video-video promosi, atau film sudah dicitrakan secara berlebihan. Misalnya dalam banyak film, teknologi di buat berhadap-hadapan dengan manusia pada satu cerita tentang Artificial intelligence, alias kecerdasan buatan. Teknologi hadir dengan cara yang “horor” lewat film-film itu. Padahal kecerdasan buatan seperti fokus kamera di gawai yang bisa melacak muka, tidak menyeramkan seperti yang dicitrakan lewat film.
Citra teknologi yang “horor” berdampak pada ketakutan-ketakutan yang tidak mesti ada. Ketakutan-ketakutan itu justru buat teknologi lebih superior daripada manusia. Padahal, sekali lagi, teknologi adalah alat ciptaan manusia yang diciptakan untuk membantu kerja-kerja manusia. Belum juga mereka yang kesulitan akses mendapat bagian untuk menikmati teknologi, kesan “horor” sudah menghantui pikiran mereka lebih dulu. Teknologi yang lagi-lagi digambarkan terlalu teknologis. Teknologi pada akhirnya mesti dipandang sebagai alat saja. Seperti sikap kita dengan perkataan yang sering menggunakan Facebook, Twitter, Instagram, misalnya, dengan diawali kata “Main”.
Menutup tulisan ini, saya lagi-lagi mengutip Antonius Puspo Kuntjoro (2017):
“Di tengah serbuan teknologi yang cenderung menjadikan manusia sebagai objek, diperlukan etika yang prinsipnya menegaskan supremasi manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri.”
Sumber gambar: https://www.jisc.ac.uk/blog/are-you-our-next-he-social-media-superstar-27-sep-2017
Suka makan, nulis, ngopi, dan penyuka jendela. Belajar dan berhalaman rumah di Tanahindie. Nongkrong di Yayasan Sabtu Malam (Yassalam).