Aku Enggan Mati Muda

“Kau beruntung. Jadi sudahilah cerita melankolis yang selalu kau tumpah di kupingku. Hidupku, andai saja kau pelakonnya, kau pun akan memunggungi takdir. Lalu kau masih saja mencari-cari jalan keluh, dan berhenti bersyukur? Jangan menanti tulah, baru kau kapok!”

“Mmmmm….” Hanya itu.

Dia berlalu pergi, menyelinap di antara asam manisnya jus jeruk yang kuseruput.

***

Darma, demikian kupanggil dia sehari-hari. Dia dulunya bekerja sebagai pramuniaga di sebuah minimarket tak jauh dari mukimnya. Penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama ibu dan ayahnya yang telah berkurang tenaganya bekerja. Dari penghasilan di minimarket itu pula, Darma menyicil sebuah sepeda motor matic idamannya. Di sana, Darma bertemu Ramba’.

Ramba’ lebih dahulu bekerja di minimarket tersebut. Dia ditugasi mengajari Darma di masa magangnya, agar menjadi pelayan yang benar. Tak cuma mengajari, Ramba’ menyelipkan rasa dalam proses belajar Darma. Jadilah, mereka menyudahinya dengan ikatan pernikahan. Tetapi malang, saat Darma sedang cinta-cintanya, dan mereka telah membiak, Ramba’ pamit kerja di luar kota, dan tak pernah pulang. Dia pergi meninggalkan dua anak laki-laki usia balita, si sulung dua tahun, dan bungsu belum genap satu tahun.

Darma frustasi. Orang-orang mencibirnya telah salah memilih suami. Ada yang bilang, Ramba’ kawin lari bersama perempuan lain. Bahkan ayah dan ibunya menyerapahi kehidupan yang dipilih Darma. Sedari awal mereka tak sepakat dengan Ramba’, lelaki tak punya harapan dan masa depan. Orang-orang di sekitar minimarket, sering memergoki Ramba’ berkencan dengan beberapa perempuan bergantian sebelum Darma datang. “Dia mata keranjang….,” kata mereka. Tetapi apalah daya, Darma terperangkap.

Meski hidupnya pas-pasan, Darma sebetulnya pernah dilamar seorang pemuda salah satu pengurus partai ternama saat berkampanye di kotanya. Alasannya sederhana. Lelaki itu butuh sosok seperti Darma, perempuan ulet, cantik, dan pastinya dikenal baik oleh pemuda-pemudi, ibu-ibu, dan bapak-bapak di lingkungannya. Dengan demikian, lelaki itu akan mendapatkan banyak suara, bonus seorang perawan. Lelaki inilah yang diinginkan orang tua Darma. Jejaka berpenampilan rapi, dan hampir setiap pekan memarkir mobil bagus di depan rumah Darma. Namun, Darma menolak. “Politik memalsukan cinta!” menurutnya. Darma tak suka alur hidup seperti itu.

Beranak dua, Darma kehabisan akal mendanai kebutuhan hidupnya. Tak banyak tempat mau menampungnya bekerja dengan bekal ijazah sekolah menengah atas. Tabungannya juga telah habis digunakan mencari jejak Ramba’. Dia sangat ingin membuktikan pada khalayak bahwa pilihannya sudah tepat. Ramba’ tidak kemana-mana, hanya saja dia butuh jarak lebih jauh mencari nafkah. Sampai pada titik penghabisan, Darma tersadar. Dia membenarkan perkataan orang-orang; Ramba’ lelaki brengsek!

Tepat ketika Darma jatuh dan anak-anaknya butuh makan, nasib mengasihinya. Sebuah bar mencari waitress. Di koran, dia membaca dengan jelas. Syaratnya cukup berpenampilan menarik, dan bersedia kerja dini hari. Dia memenuhi syarat itu. Jadilah setiap malam sloki-sloki berpindah tangan darinya. Di bar, Darma pandai menyesuaikan diri. Namanya cepat diomongkan banyak orang. Tentulah karena penampilan menarik tadi, dan kelincahannya bekerja. Darma populer. Banyak pengunjung dibuat penasaran.

Darma tak memberi tahu siapa pun perihal tempatnya bekerja. Meski hidup di kota, orang-orang tetap mencap perempuan yang bekerja di Bar, nakal! Orang tuanya, pasti semakin murka dengan itu. Darma, tak ingin mengecewakan mereka lagi. Jika ditanyai, dia akan mengatakan sedang bekerja di warung makan, menunggui mobil-mobil singgah, sampai subuh.

Malang! Karena satu kecerobohan kecil, Darma ketahuan. Dia dan kedua anaknya diusir dari rumah orang tuanya karena dianggap pembawa aib, berselang sehari setelah dipecat dari bar, karena berkata kasar pada seorang pelanggan yang memintanya private party. Sedikit angin segar, saat kejadian itu dia memergoki, lelaki politikus yang pernah melamarnya, ada di sana tengah berbisik-bisik dengan seorang wanita berpakaian minim. Darma menyimpulkan, politikus seperti lelaki itu tak hanya memalsukan cinta. Mereka juga menjalari banyak tempat. Bahkan yang berbau amis sekali pun. Tak jauh beda dengan Ramba’, lelaki pas-pasan yang lalai mencintai. Sama pandainya membenihkan janji.

***

Racci’, anak yatim piatu dari sebuah desa tak merdeka. Berbekal hasil menjual rumah kecil peninggalan orang tuanya, dia ke kota. Kuliah! Sekadar sekolah tinggi saja tak cukup mewartakan keberhasilannya pada orang-orang di kampung. Membawa barang-barang branded, dan memoles diri cantik, salah satu syarat menaikkan status sosial, baginya.

Kampung tak merdeka itu, dipenuhi pelamun ulung perihal kehidupan kota yang dipandang asyik dan modern. Maka, ketika Racci’ kembali ke kampung dengan langkah anggun, membawa setumpuk uang guna membeli rumah baru, orang-orang pada takjub. Racci’, dipuji-puji telah jadi “orang”. Tak ada yang tahu, sekeras apa usaha Racci’ agar jadi “orang”. Di kota, dia menjajakkan diri pada lelaki kaya kesepian. Dari lanang itu, dia mendapatkan banyak uang. Sungguh, Racci’ yang mereka elu-elukan menumpahkan banyak serapah dan air mata atas takdir ditampiknya.

Membunuh janin yang bersarang di rahimnya adalah hal biasa bagi Racci’. Luka-luka di beberapa bagian tubuhnya, menjadi petunjuk bahwa lelaki yang memberinya uang tak melihatnya manusia. Untungnya, Racci’ pandai bersembunyi. Hidup redup disulap gemerlap olehnya. Sehingga, para orang tua di kampung berbondong-bondong mengizinkan anak gadisnya ke kota. Kuliah!

Kau tahu? Racci’ itu adalah aku.

***

Siang terik, aku tertegun di hadapan segelas jus jeruk. Permukaan gelasnya telah basah, berembun sejak tadi. Aku menunggu Darma. Dia meminta waktu bertemu. Seperti biasa, dia suka berkeluh kesah. Telingaku akan penuh sampah lagi.

“Hidupku lebih sial, Darma. Setidaknya, kau piawai membesarkan dua anak laki-laki itu, dan aku menjadi pembunuh bayi berkali-kali. Kau, menjauh dari dunia gelap, tetapi aku masuk, asyik bergumul di dalamnya. Aku terkungkung obsesiku, kau merdeka! Kujalani hidup dengan topeng kemana-mana. Aku pura-pura bahagia. Kau bangkit, hidup bersahaja, jadi diri sendiri, bebas!” Telah kusiapkan kalimat ini.

“Lalu….” ucapnya dengan tatapan nanar

“Kau beruntung. Jadi sudahilah cerita melankolis yang selalu kau tumpah di kupingku. Hidupku, andai saja kau pelakonnya, kau pun akan memunggungi takdir. Lalu kau masih saja mencari-cari jalan keluh, dan berhenti bersyukur? Jangan menanti tulah, baru kau kapok!”

“Mmmmm….” Hanya itu.

Dia berlalu pergi, menyelinap di antara asam manisnya jus jeruk yang kuseruput.

Aku mematung. Masih kudapati ujung bayangmu. “Andai kau tau, kau adalah cermin bagiku merebut kesempatan menang atas umur yang tersisa.”

Hampir saja aku memilih mati muda sebagaimana saran Soe Hok Gie yang kudengar sewaktu kuliah. Lalu aku bertemu kau, di kantin kampus lincah menyodorkan sepiring makanan pada pelanggan. Lantas, dua anak lelaki berseragam sekolah menghampiri, memelukmu bersamaan. Erat!

Orang-orang pun saling berbisik. “Hidup menua, tak selamanya sial.”

Makassar, 13-14 Agustus 2019

 

Sumber gambar: https://www.elephantjournal.com/2016/03/draining-the-emotional-dam/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *