Elegi Dua Batang Pinang

Sepekan sebelum perayaan kemerdekaan, HUT NKRI ke-74, tepatnya, pada malam Idul Adha, saya mendapati dua batang pohon pinang, tergeletak kaku. Masih basah tubuhnya. Malam makin larut, nyaris semadya perjalanan malam. Cuaca amat dingin. Tubuh dingin ditambah cuaca dingin, hanya gigil menyata. Samar saya lihat, kedua batang pinang itu gemetar.

Malam itu juga, seiring suara takbir, beberapa orang warga, silih berganti menguliti kulit bagian luar dari batang pinang itu.. Entah kenapa, seorang anak muda, menebaskan parangnya ke batang pinang, sembari memolototi kepala saya. Saya menafsir, seolah ia bergumam, targetnya mesti licin, meski tak perlu selicin kepala saya yang plontos.

Hasil kerja malam itu belum signifikan, apatah lagi pada bagian lain, pengerjaan baruga kampung sementara berjalan juga. Sebab, baruga ini, nantinya akan berfungsi pula sebagai latar panggung pertunjukan, tatkala malam puncak perayaan kemerdekaan tiba.

Esok harinya, kedua batang pinang itu masih tergeletak. Dari kejauhan, keduanya melihat sekumpulan warga memotong hewan kurban, setelah melaksanakan Salat Idul Adha. Warga mulai menguliti hewan kurban tersebut. Kedua batang pinang ini, seolah bercakap satu sama lain, sepertinya nasib kita sama dengan hewan kurban itu: dikuliti. Keduanya menyaksikan penyembelihan dan pengulitan, selama tiga hari berturut-turut. Lebih dari itu, keduanya pun menyaksikan daging-daging itu sebagiannya disate, tidak jauh dari pandangannya. “Pengurbanan tiada tara”, ujar salah satu batang pinang.

***

Soal batang pohon pinang ini, pamornya moncer kala jelang perayaan kemerdekaan, tujuh belas agustus, pada setiap tahunnya. Pasalnya, ada mata acara yang paling ditunggu-tunggu warga, Panjat Pinang. Sebenarnya, tajuk memanjat pinang ini, bukan untuk memetik buah pinang, tapi memetik hadiah di pucuk batang pinang yang telah dikuliti, lalu diolesi oli, atau sejenis minyak pelicin.

Sari diri pohon pinang, mengalamatkan identitas sebagai jenis tumbuhan monokotil, tergolong dalam rumpun palem. Sebagai famili Arecaceae, pada ordo Arecales. Tumbuh di daerah Pasifik, Asia, dan Afrika. Tentu, di Indonesia, tumbuhan ini dapat berkembang dengan mudah. Karenanya, tidak sulit mendapatinya. Ada banyak nama lokal yang disematkan pada pohon pinang ini. Di negeri saya, dalam bahasa Makassar, disebut Rappo.

Secara keseluruhan, pohon pinang dapat dimanfaatkan sebagai bahan kebutuhan masyarakat. Terutama biji dan batangnya. Buah atau bijinya dapat dijadikan sebagai bahan utama untuk mengunyah sirih. Pada tradisi masyarakat Makassar tempo dulu, mengunyah sirih adalah laku anak negeri, guna menguatkan gigi dan menyegarkan mulut. Waktu saya masih kanak-kanak, masih amat mudah menjumpai para tetua mengunyah sirih. Di era kiwari ini, nyaris tak ada lagi, tergantikan oleh pasta gigi dan semprotan penyegar mulut.

Buah pinang dapat pula difungsikan sebagai obat. Ada berbagai macam penyakit yang obatnya berbahan dasar buah pinang. Pengetahuan lokal telah menyajikan aneka resep pengobatan berbahan pinang. Pun, di masa pengobatan moderen, buah pinang telah diolah menjadi campuran obat. Dan, batang pinang juga dapat digunakan sebagai bahan perkakas, meski daya tahannya tidak terlalu lama. Lebih dari itu, batang pinang ini, akan menjadi komoditi yang diburu pada setiap jelang perayaan kemerdekaan. Pasalnya, belum lengkap perayaan itu, jika belum ada panjat pinang.

***

Siang malam berganti, kedua batang pinang itu masih tergeletak. Siang kepanasan, malam kedinginan. Bahkan sesekali kehujanan. Pada putaran waktu itulah, kedua batang pinang ini sering terlibat percakapan.

“Coba lihat, petinggi negeri datang,” ujar salah satunya.

“Wow, rupanya petinggi itu akan meresmikan gapura yang sudah selesai pengerjaannya,” jawab temannya.

“Nampaknya, bukan saja meresmikan gapura, pun akan memulai sejumlah lomba,” sahutnya lagi.

“Iya, aku sudah tahu, bukankah penyelenggara telah menyampaikan sebelumnya?” temannya menimpali tutur.

Sejak peresmian gapura dan dimulainya sejumlah pertandingan, siang malam warga menikmati perlombaan. Selama tiga hari jelang perayaan, antusias warga amat tinggi. Mulai dari cilik-cilik, remaja, pemuda, hingga orang tua, ikut berpartisipasi dalam lomba. Beberapa lomba dipersembahkan, semisal: main domino, makan kerupuk, main bola mini, main volly  pakai  daster, dan tentunya panjat pinang.

Kedua batang pinang ikut menyaksikan aneka lomba itu, sembari merasakan tubuhnya dikuliti. Kadang pakai parang, juga alat pertukangan lainnya, guna melicinkan tubuhnya. Ada perih, dan geli di tubuhnya, tatkala alat-alat itu menyetubuhinya. Dan, ketika tubuhnya sudah mulai halus, malam itu juga, tubuhnya dilumuri pelicin, serupa oli. Setelahnya, keduanya dipancangkan, tegak berdiri, menjulang ke langit, menatap gemintang malam, menunggu siang.

.***

Keduanya masih menyaksikan warga melakukan upacara bendera ala kampung. Keduanya menanti dengan rasa tak tentu, bakal apa yang akan menimpa setelah upacara bendera itu. Begitu selesai upacara, sederet lomba dihelat. Dan, puncaknya ternyata ada di panjat pinang. Derita bakal menimpa keduanya. Perkaranya, amat banyak warga silih berganti, sangat bernafsu memeluknya, menggerayangi dirinya, demi hadiah yang digantung pada pucuknya. Ngeri-ngeri sedap rasanya, disetubuhi oleh sekaum warga.

Malam puncak perayaan kemerdekaan tiba. Panggung pertunjukan berlatar gapura, telah siap untuk digunakan. Sederet acara disajikan. Sambutan petinggi negeri, pertunjukan tari, penampilan pencak silat, pembacaan puisi, dan pengumuman juara lomba, serta pemberian hadiah. Sebaris petinggi negeri menikmati persamuhan itu. Warga pun demikian. Sekotahnya larut dalam kegembiraan. Mungkin cuman saya yang agak campur aduk rasanya.

Kenapa campur aduk? Sebab ada rasa haru dan bahagia. Saya terharu pada sekaum penyelenggara yang mempersembahkan perhelatan ini. Pastilah ada jiwa-jiwa altruist yang bekerja secara telatan sehingga acara perayaan ini sukses. Benar saja adanya, jiwa-jiwa altruist dipompa oleh sekaum anak muda, tergabung dalam komunitas literasi, Lentera Inovasi, didukung oleh warga Kampung Panranga, di mana acara ini dilaksanakan. Satu kampung di pinggiran kota Bantaeng, persisnya, di Keluarahan Pallantikang, Kecamatan Bantaeng.

Saya ikut bahagia, sebab, saat saya mendekati dua batang pohon pinang, yang tegak berdiri agak berjauhan. Tubuhnya basah seperti berkeringat, mungkin karena embun malam. Tapi, bagi saya, itu adalah sebentuk lelehan air mata haru dan bahagia dari keduanya. Pasalnya, pada larutnya malam, keduanya berkata, “Apalah arti pengorbanan  kami, sekadar ditebang, terpisah dari rumpun kami, lalu dikuliti, dan disetubuhi, tinimbang para pahlawan, yang mempersembahkan segalanya, jiwa dan raga, demi kebahagiaan anak negeri, menjadi orang merdeka.”

 

Kredit gambar: https://konoterko.blogspot.com/2018/07/lomba-17-agustus-panjat-pinang-anak.html

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *