Hukum Lemah, Kabut Asap Menguat

Masalah kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau telah menjadi peristiwa tahunan yang terulang. Menjadi tragedi menakutkan yang akan selalu dikhawatirkan oleh masyarakat di sana. Bahkan ada perkataan bahwa Riau kini telah memiliki 3 musim. Musim hujan, musim kemarau dan musim kabut.

Tahun 2015, kabut asap Riau pernah mengakibatkan lebih dari 600.000 warga terkena penyakit Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) dan 9 orang anak meninggal dunia. Ini kembali terulang di tahun 2016, 2017, dan 2018. Kini, 2019 kebakaran hutan yang kembali terjadi telah berlangsung selama 12 hari. Seluas 108,5 hektar dan hanya menyisakan jarak pandang sejauh 800 meter. Kabarnya inilah kebakaran terparah (Kompas.com 13/09/2019)

Karhutla banyak dikomentari sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum. Menurut Pengamat Hukum UI Ermanto Fahamsyah penegakan hukum terhadap korporasi atau pun perorangan yang kedapatan membakar hutan dan lahan masih sangat lemah dan itu dibuktikan dari belum adanya sanksi pidana terhadap para pelaku. Melainkan hanya berupa sanksi denda yang kecil bila dibandingkan dengan kerugian yang ditanggung negara (15/8/2019).

Ermanto mengatakan kasus-kasus seperti ini ada kepentingan dibaliknya. Seperti misalnya pelemahan UU dari pemerintah sendiri melalui Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi pada pasal sakti UU No 33/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebenarnya UU ini dapat menjerat pelaku pembakar, namun telah dilemahkan melalui pengajuan dari beberapa Korporasi. Seolah hukum memang bisa dibeli oleh yang bermodal.

Pemerintah sepertinya telah teperdaya materi dan tak berani mengambil sikap tegas terkait karhutla yang menyerang korporasi. Hukum tebang pilih yang hanya mengkambinghitamkan masyarakat, tanpa mengkroscheck setiap korporasi yang juga menyumbang kebakaran lahan, menjadikan kepentingan kapitalistik semakin di kedepankan.

Kebijakan memang seolah dibuat dan didesain sebagai pesanan. Begitulah romantisme hubungan antara pengusaha dan penguasa. Sistem ekonomi liberal telah menampakkan keburukannya sendiri. Bahwa yang sejahtera dan diuntungkan hanyalah yang bermodal. Hukum terlihat tumpul bagi mereka-mereka yang tidak bermodal. Meski harus mengorbankan rakyat biasa.

Tidakkah mereka merasakan kengerian mendengar kematian yang bisa diakibatkan dari kabut asap yang terus meningkat ini sekitar 36.000 jiwa per tahun pada periode 2020 hingga 2030? Bukankah pemerintah berkewajiban menjamin kesehatan bagi rakyatnya? Andai saja regulasi hukum tegas pada korporasi yang sering merusak dan melanggar, maka rutinnya kebakaran mungkin tak didapati.

Namun, beginilah output daripada kebijakan yang tidak berparadigma dalam mengurusi ummat. Selama paradigma kapitalis masih bercokol pada ranah pemerintahan, maka jangan heran bila abai pada urusan yang tak menguntungkan pribadi.

Paradigma pemimpin sebagai pelayan rakyatnya pasti akan terlihat dari bagaimana ia bersikap dan mengambil tindakan atas suatu masalah. Sudahlah lemahnya penegakan hukum kini skala prioritas tidak dinampakkan pada Karhutla.

Melihat Gubernur Riau, Syamsuar yang lebih memilih bertugas ke Thailand di saat kondisi kabut asap kebakaran hutan dan lahan makin pekat. Apakah dapat dikategorikan sebagai pilihan tepat, dan bertanggung jawab? Saat rapat evaluasi penanganan Karhutla bersama Tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada selasa (10/9), Gubernur pun tak hadir dan wiakili oleh  Edy Nasution.

Sedangkan dalam Islam jelas bahwa sebuah hutan terkategori sebagai kepemilikan umum (milik rakyat) Rasulullah SAW bersabda “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (H.R Abu Dawud dan Ahmad). Maka hutan dalam pandangan Islam adalah milik ummat dan harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat bukan korporasi atau pengusaha. Dalam praktisnya, upaya pengelolaannya tentu akan dilakukan dengan kebijakan dan management yang baik agar dapat mensejahterakan ummat.

Dalam Islam, paradigma kepemimpinan bukanlah untuk menguasai, namun melayani. Bukankah setiap yang dipimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpin?

Sungguh sulit mengendalikan kesejahteraan yang adil untuk rakyat apabila kepemimpinan berpikir malah bersumber dari manusia-manusia yang duduk merembukkan solusi namun penuh dengan nafsu manusiawi. Entah itu mempertahankan kekuasan, meraup materi, menjaga eksistensi diri, dan lain-lain. Itulah mengapa Islam sebenarnya diturunkan mengatur segala urusan hidup bahkan sampai tataran negara sebab Allah swt. Maha tahu setiap urusan hambanya yang baik dan buruk.

Sayangnya, solusi-solusi dan produk hukum kontan dari Allah ini sering dianggap remeh bahkan historis belaka dengan dalih zaman sudah berubah. Ingatlah bahwa Al-Qur’an yang berisikan aturan hidup akan terus terjaga hingga kiamat nanti. Sementara manusia tempatnya salah dan lupa, oleh karena itu janganlah heran kedzhaliman timbul di mana-mana lantaran mengedepankan akal yang terbatas daripada wahyu Allah yang sempurna.

Wallahualam bisshawab.

 


sumber gambar: Google

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221