Ini duet maut. Celutuk seorang kisanak. Siapa yang berduet? Dan maut apa? Ini bagai sepasang bintang film tempo dulu, duet maut artis film, Sophan Sophian dan Widowati. Atau seduet penyanyi legendaris, duet maut penyanyi, Muchsin Alatas dan Titiek Sandora. Tapi kali ini, duet maut literasi, pasutri literasi, sejoli literasi. SulhanYusuf dan Mauliah Mulkin. Penabalan-penabalan itu, secara samar sampai di imaji saya. Benarkah saya dan Mauliah Mulkin, pasangan saya, lebih sering saya panggil Uli, selaku sejoli literasi?
Imaji saya, makin liar dalam penubuhan klaim, sepertinya memang begitu. Kami sejoli literasi. Dan, untuk pertama kalinya diduetkan pada perhelatan bertajuk, Bincang Buku Pesona Sari Diri dan Metamorfosis Ibu, 1 September 2019, bertempat di Desa Tombolo, Kecamatan Gantarang Keke, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Penyelenggara kegiatan, salah satu komunitas literasi, Rumah Baca Panrita Nurung, bekerjasama Karang Taruna Desa Tombolo. Jarak tempuh dari kota Bantaeng ke Tombolo, berkendara motor, kecepatan sedang, sekira 15-20 menit.
Sesarinya, saya dan Uli, masing-masing sudah menelurkan lebih dari satu buku. Sebelum buku Pesona Sari Diri (2019), saya mengarang antologi puisi, AirMataDarah (2015), dan antologi literasi paragraf tunggal, Tutur Jiwa (2017). Sedang Uli, sebelum buku Metamorfosi Ibu (2018), menganggit buku Dari Rumah untuk Dunia (2013) Lebih dari itu, aktivitas sosial kami masih di seputaran jagat literasi. Saya menabalkan diri sebagai pegiat literasi dan Uli selaku pegiat literasi parenting.
Kala bincang buku ditabuh, Metamorfosis Ibu, lebih dulu diperkarakan. Durasinya, pagi hingga siang. Seorang panelis, Nur Alim Fattatarru, dihadirkan sebagai pembahas. Ada banyak tanggapan. Apresiasi kritis dan pujian menghidu perbincangan. Salah satu apresiasinya, tertuju pada kompaknya sebagai pasangan literasi. Tidak banyak pasutri, memilih jalan bersama di belantara gerakan literasi.
Uli sendiri dalam paparannya, memulai dengan bercerita bagaimana ia memulai menjadi seorang Ibu. Didedahkannya perjumpaan awal dengan saya, selaku pasangannya. Uli menceritakan menikah dalam usia relatif muda, 20 tahun dan saya 25 tahun. Prosedur pernkahan kami sangat mudah. Mungkin karena kami berlatar belakang aktivis. Uli ketika menikah sementara menjabat Sekretarsis Umum, Kohati HMI-MPO Cabang Makassar, sementara saya sebagai Ketua Umum HMI-MPO Cabang Makassar. Tahun 1993.
Selain sebagai aktivis mahasiswa, waktu itu Uli sudah ada rintisan jualan buku di kosnya. Saya sendiri, sesekali menawarkan buku di kampus. Selain itu, ia juga pembaca buku yang rakus. Saya pun demikian. Sebab, menjadi aneh, jikalau seorang aktivis mahasiswa tapi malas baca buku. Saat kami memutuskan menikah, Uli punya koleksi buku cukup memadai. Saya sendiri punya koleksi kurang lebih 500 judul. Maka koleksi pun disatukan. Inilah cikal bakal perpustakaan keluarga kami. Kami beri nama “Family Library Raushanfekran”. Kemudian , kami ubah menjadi “Miraculum Centre”. Kiwari, ada ribuan koleksi, dengan aneka genre buku. Mulai dari buku anak, remaja, sampai dewasa. Temanya pun beragam.
Profesi kami pun tidak jauh dari semesta buku. Kami menekuni bisnis buku, sejak tahun 1993 hingga kini. Paradigma Group nama konsorsiumnnya. Membawahi tiga toko buku, Paradigma Ilmu dan Papirus di Makassar, dan Boetta Ilmoe di Bantaeng. Tapi, sejak 2015, Toko Buku Boetta Ilmoe, kami tutup. Sisa komunitas literasinya yang eksis. Selain itu, konsorsium ini punya komunitas literasi, Paradigma Institute, di dalamnya ada aktivitas kelas literasi dan media daring, Kalaliterasi.com. Kami menggawangi aktivitas ini. Dan, sekarang ini, urusan jualan buku kami geluti sebagai bisnis keluarga. Sementara, soal komunitas literasi, dibantu oleh begitu banyak relawan komunitas.
Selepas jeda salat dan makan siang, giliran buku saya, Pesona Sari Diri dipercakapkan. Mahbub El-Ahyar, sebagai panelisnya. Sebelum ia mengulik kandungan buku, terlebih dahulu ia bercerita tentang, bagaimana ia mengenal saya, sejak ia masih mahasiswa di Fisipol Unhas. Sekira tahun 1993, menurutnya, nyaris dalam setiap bulan, saya saban waktu muncul di berbagai ruang kampus Unhas. Entah itu di pelataran-pelataran, taman-taman, atau di musalla-musalla, di Unhas, membawakan kajian. Bagi saya, peneguhan ingatan ini, semakin menguatkan jejak saya sebagai aktivis literasi. Dan, sebenarnya, bukan saja Unhas saya sambangi, kampus-kampus lain pun di Makassar, saya tapaki.
Ketika tiba giliran saya bicara, saya lebih banyak berbicara tentang proses kreatif dari lahirnya esai-esai dalam buku ini. Sekaligus membocorkan pandangan dunia saya dalam melihat perkara-perkara diri, sosial, budaya, politik, agama, dan lainnya. Saya pun menabalkan diri, sebagai penganut vision la monde transformatif. Sekotahnya, setiap perkara hidup dan kehidupan, saya bidik lewat kaca mata ideologi transformatif. Ada semacam tuntutan kebaruan bentuk. Serupa transformasi dari kepompong mewujud kupu-kupu.
Jelang baskara kembali ke terungku malam, perbalahan buku tuntas. Usainya acara, tidak segera peserta membubarkan diri, kecuali beberapa orang segera meninggalkan tempat. Tapi lebih dari separuh, masih terlibat sawala informal, percakapan intim. Tidak sedikit dari mereka, mengulik kehidupan saya dan Uli, sebagai pasutri, kukuh dan kekeh dalam jagat gerakan literasi. Bergantian kami berujar tentang pilihan hidup ini. Inilah cara kami mensiasati indahnya kehidupan. Menjadikan dunia buku sebagai lahan membajak rezeki, menegakkan idealisme, dan menyalurkan hobi.
Senja menyata, saya bonceng Uli balik ke kota Bantaeng. Mengejar baskara di sisa waktu. Baskara benar-benar sudah di kaki langit. Di Pantai Seruni Bantaeng, pada ketakjuban sunset, di irisan suasana serius dan santai, saya ungkapkan pada Uli, pasangan saya, bahwa akan saya abadikan perjalanan ini dalam satu esai, berjudul, “Sekubu dan Sebuku”. Ia amat setuju dengan judul garib ini. Cukup lantip diksinya.
Yah, kami sekubu, karena bersebadan memancangkan tiang literasi, lewat urusan buku. Kami sebuku, sebab bersetubuh dalam gairah ide, bikin buku. Pastilah kami sekubu dan sebuku.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.