Saya bergabung dalam salah satu grup WhatsApp, yang bisa dibilang beranggotakan akademisi, aktivis, politisi dan intelektual secara umum. Saban hari perbincangan di grup ini tidak pernah lepas dari obrolan tentang beragam topik, mulai dari agama, pendidikan, budaya, ekonomi, sosial sampai situasi politik terkini. Saya sangat menikmati diskusi yang tersampaikan secara santai di grup tersebut, setidaknya tahu mengenai perkembangan terbaru di tanah air, meski sedang berada di luar negeri.
Namun ada hal yang sangat mengganggu, dan bagi saya pribadi sangat mengusik kenyamanan alur diskusi yang ada. Di sela-sela obrolan yang memang serius tapi santai tersebut, terkadang ada saja dari anggota grup (lebih seringnya laki-laki) yang membagikan sejumlah stiker perempuan yang menonjolkan bentuk tubuh yang sensual disertai teks yang tidak etis.
Disadari atau tidak, membagikan gambar perempuan demikian sebagai objek candaan, adalah salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan (sexual harassment) bagi kaum perempuan. Tindakan tersebut mau tidak mau oleh pakar gender termasuk kekerasan pornografi. Mansour Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial mengatakan, “Kekerasan Pornografi adalah jenis kekerasan non fisik terhadap perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.”
Memberikan alasan bahwa stiker tersebut hanya bermaksud candaan, tidak dapat diterima. Jika bagian tubuh perempuan yang kerap kali dijadikan objek seksual dijadikan bahan candaan, maka itu dengan sendirinya akan membudaya dan menjadi pembenaran hingga akhirnya dianggap normal. Jika dalam masyarakat, sesuatu yang abnormal telah dianggap normal, maka bisa dikatakan, masyarakat tersebut berpenyakit.
Mungkin sesama perempuan yang melihat stiker tersebut juga meresponnya dengan emoticon tertawa tetap tidak menjadi pembenaran bahwa itu bukan pelecehan terhadap perempuan. Pierre Bourdieu dalam bukunya Dominasi Maskulin menyebut perbuatan tersebut sebagai kekerasan simbolik pada perempuan. Ia menulis, bentuk kekerasan simbolik pada perempuan memang terjadi secara halus, tidak melukai fisik tapi berefek negatif secara meluas. Karena itu, kita kerap menemukan dalih, “Ah ini hanya candaan, hidup kok kaku banget,” dan seterusnya.
Sekali lagi, Mansour Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial mengatakan kekerasan (violence) tidak melulu berupa serangan fisik ataupun integritas mental psikologi seseorang, namun kekerasan juga bisa berupa Bahasa/wacana, simbol dan representasi di mana ini menjadi alat/bentuk kekerasan secara simbolik. Tanpa sadar, mereka yang kerap kali menjadikan perempuan sebagai objek candaan meski tidak bermaksud merendahkan dan melecehkan menunjukkan adanya watak misogini pada pelakunya.
Pada stiker bergambar perempuan berpose sensual jelas mengandung unsur misogini di dalamnya. Bagi misoginis, perempuan adalah objek yang pasif, baik sebagai objek seksualitas pria maupun obyek candaan yang bisa dijadikan lelucon. Misoginis tidak akan segan atau malu-malu untuk merendahkan perempuan, karena menurutnya perempuan hanyalah objek. Dengan memperlakukan perempuan hanya sebagai objek, secara tidak langsung misoginis hendak menunjukkan dominasinya. Dan meski bergerak secara halus sehingga diabaikan dan dianggap wajar, efek parahnya ada pada meningkatnya kualitas dan kuantitas kekerasan secara sadar atau tidak.
Kekerasan Sehalus Apapun, Jangan Dibiarkan
Kekerasan terjadi terhadap perempuan terus terpelihara dengan langgeng dikarenakan adanya tindakan permisif dikalangan masyarakat yang memberikan angin atas tindakan tersebut. Misal, siulan (rayuan laki-laki), atau to the point stiker seksi yang marak di Whatsapp. Ketika sekelompok masyarakat sekeliling menganggap ini sebuah kewajaran, biasa saja atau tidak mau ikut campur (baca: mendiamkan) maka kekerasan yang lebih tinggi misal pemukulan suami terhadap istri biasanya akan dianggap/ditanggapi tetangganya dengan sikap bahwa itu adalah masalah privat/internal keluarga olehnya itu ada perasaan ketidaklayakan untuk ikut terlibat di dalamnya.
Sadar atau tidak, kita seringkali bersikap apatis terhadap berbagai bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan, meskipun kita sendiri tidak terlibat didalamnya, tetapi perlu kita ketahui bahwa laki-laki ataupun perempuan ikut bertanggungjawab atas setiap pelecehan, kekerasan yang dilakukan oleh siapapun.
Karena semua kalangan masyarakat berpotensi sebagai korban kekerasan/pelecehan atau sebaliknya, jadi kita sebagai salah satu bagian masyarakat ikut bertanggung jawab atas pelbagai kekerasan yang dimana-mana, kita tidak boleh mengatakan bahwa “yang penting bukan saya”, “saya nggak mau ikut campur, karna bukan urusan saya”, atau paling parahnya, ada yang bersikap diam, pasif dan tidak peduli meski sadar itu kekerasan. Kita harus tahu, bahwa mungkin bukan hari ini adik, kakak, ibu dan orang-orang terdekat kita yang mengalaminya, tetapi suatu saat akan merembes juga akhirnya kepada mereka. Karna kekerasan tidak pernah mengenal siapa korbannya, usia, pendidikan, atau status sosialnya.
Kalau ternyata, kaum intelektual sendiri masih larut dan nyaman dengan kekerasan simbolik yang dilakukannya, kepada siapa lagi kita berharap. Olehnya itu, mari kita menghentikan kekerasan dari hal yang kecil, dari lingkungan terkecil kita dulu, dari grup Whatsapp kita saja dulu.
Sumber gambar: https://www.telegraph.co.uk/family/life/full-stop-onwhatsapp-cutting-weapon-choice-use-wisely/
Ibu rumah tangga yang masih haus mencari ilmu di kampus. Tercatat sebagai Mahasiswi Jamiatuzzahra Qom Iran. Email: harykoe@gmail.com
Tulisan yang bagus, mewakili apa yang terjadi saat ini sekaligus mewakili keresahan saya sebagai perempuan.