Gwangju, Mahasiswa, dan Papua

A TAXI DRIVER drama sejarah Korea Selatan garapan Jang Hoon, sedikit banyak menjadi analog situasi Indonesia belakangan. Jalan kisah A Taxi Driver bukan cerita fiksi. Ia diangkat dari kejadian nyata. Tepatnya, dari momentum perlawanan pelajar-mahasiswa di Gwangju. Menentang rezim militeristik Chun Doo-hwan 1979-1980.

Chun sebelumnya adalah jenderal militer. Dia melakukan coup d’etat pemerintahan Choi Kyu-hah. Choi Kyu menggantikan presiden Park Chun-hee mati terbunuh 26 Oktober 1979. Kekacauan rezim berakibat ke mana-mana. Bermula dari sinilah situasi Korea Selatan menjadi tidak terkendali.

Chun setelah kudeta berjanji memperbaiki keadaan. Ia berdalih menciptakan pemerintahan demokratis. Tapi, apa boleh buat. Konstitusi baru diciptakan tidak mencerminkan niat baik. Chun dianggap otoriter. Rakyat melawan.

Di situasi inilah A Taxi Driver mengembangkan ceritanya. Walaupun figur utamanya adalah seorang sopir taksi dan wartawan asing yang tergerak hatinya membantu para demonstran. Tapi, tetap saja, bintang kisah ini sebenarnya para anak muda—pelajar-mahasiswa—yang turun ke jalan-jalan menunjukkan aksi protes kepada pemerintah.

Gwangju lokus film ini. Hampir semua emosi digerakkan anak-anak muda sekira 20-an tahun—awalnya dilakukan mahasiswa Chonnam University. Dengan muka putih, rambut lurus tergerai, dan lubang mata khas masyarakat Asia—yang sekalipun bagi ukuran kita tiada sama sekali mampu mengekspresikan raut kemarahan—menjadi gelindingan bola salju berukuran raksasa.

Para orang tua membuat makanan mirip sushi atau kepal nasi atau roti, membagi-bagi ke peserta aksi. Mobil-mobil berhenti. Pom bensin lenggang. Pekerja kantoran meliburkan diri. Gedung-gedung publik kosong. Sekolah, dan juga kampus-kampus ditinggalkan mahasiswa. Berkumpul di jalan.

Ratusan ribu massa aksi ini membuat lumpuh Gwangju. Kota ini disorot pemerintah. Tak ada boleh masuk, apalagi keluar. Praktis Gwangju terisolasi.

Agar situasi terkendali Gwangju dijauhkan dari perhatian publik, dan juga internasional. Opini dikontrol. Media dilarang masuk dan meliput.

Di titik ini saya kira, kita tiba-tiba mengarahkan perhatian kepada gerakan mahasiswa kurang lebih seminggu ini. Di Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Malang, Kalimantan, hingga Palu dan Kendari. Untuk menyebut beberapa di antaranya. Mahasiswa tumpah ruah di jalan-jalan.

Di Makassar, ketika tulisan ini dibuat jalanan di beberapa titik masih memanas. Kemarin bahkan ada yang hingga tengah malam melakukan aksi teatrikal di depan kampus.

Tidak juga di Gwangju, yang banyak menimbulkan korban meninggal dari pihak mahasiswa, juga terjadi di sini. Polisi represif memakan korban. Di Kendari 2 Mahasiswa jadi martir. Mereka dibunuh pelaku keamanan. Atas nama entah.

2 nyawa seketika hilang. Entah pemerintah artikan apa. Mungkin hanya statistik. Meskipun itu kecil. Tapi, tidak ada yang kecil dalam ikhtiar melawan rezim otoriter.

…dan sekarang, Papua.

Satu-satunya relevan dari cerita Gwangju bagi Papua adalah keadaan isolasi pemberitaan dunia luar. Kanal berita dikontrol. Gwangju, bahkan hanya jadi berita sekotak kecil. Di sudut halaman koran. Sampai akhirnya situasi itu diketahui juga. Seorang wartawan asing memberanikan diri masuk ke Gwangju. Diam-diam melalui bantuan seorang sopir taksi sewaan.

Namanya adalah Jurgen Hizpenter. Kelak melalui lensa kameranyalah dunia mengetahui peristiwa Gwangju sebenarnya.

Tapi, juga Kim Sa-bok. Sopir taksi. Seorang pemberani. Terketuk hatinya menginsipirasi sopir taksi lain. Tanpa ia, rekaman Hizpenter tidak jadi sejarah. Gwangju bukanlah apa-apa.

 

KURANG lebih seperti Gwangju. Papua hilang dari pemberitaan. Lebih tepatnya dihilangkan. Tidak ada orang seperti Hizpenter. Yang mendapat penghargaan. Atas kerja reportasenya di lapangan.

Papua hingga kini hanya jadi sayup-sayup. Timbul tenggelam di kanal-kanal berita. Diawasi.

Papua dalam hal ini bukan daerah geografis belaka. Ia adalah momentum. Sebuah warning untuk terus ingat bahwa di atas negara ada kemanusiaan. Korban banyak berjatuhan. Jawa Pos memberitakan 32 orang mati. Satu di antaranya paramedis. Ia dibakar hidup-hidup kelompok tidak dikenal.

Dandhy Laksono. Ia ditangkap atas UU ITE. Seseorang bernama Asep Sanusi—yang belakangan diketahui seorang polisi—melaporkan Dandhy. Dandhy selama ini getol membela Papua. Twit-twitnya tentang Papua kritis. Karena itu ia ditangkap.

Papua adalah semesta lain. Ia punya sejarah berbeda. Narasi kebangsaan berbeda. Cara hidup berbeda, dan tentu kebudayaan berbeda. Malangnya dulu hingga kini dia diartikan sepihak. Tidak pernah sekalipun Papua diberikan kesempatan. Menentukan nasib sendiri.

Watak parlemen dan Papua dengan kata lain adalah watak pemerintahan saat ini. Menjadi imperialis baru. Berhak menentukan nasib orang lain. Tanpa keterlibatan orang lain.

Kini kita perlu mengingat, zaman sedang bergerak. Kesadaran bergerak, berubah, dan bertransformasi. Itulah sebab, konsep kekuasaan juga ikut berubah. Kekuasaan bukan di pusat. Tapi berpencar. Menyebar. Siapa pun bisa mengekpresikan dan menggunakan kekuasaan. Sekarang, kekuasaan parlemen jalanan meminta perhatian publik. Mahasiswa bergerak.

Barangkali tak ada menyangka. Generasi milenial, yang disinyalemenkan generasi strobery, yang duduk di atas sofa, berselancar, konsumtif, kini menduduki jalan-jalan. Mereka tiba-tiba sadar diri. Membangun gerakan sosial. Seperti mahasiswa Gwangju tiga dekade lalu.

Sebagai kekuatan penggerak masyarakat, gerakan parlemen jalanan mahasiswa adalah sarana alternatif. Ia  menjadi pendorong perubahan ketika dimensi struktural (parlemen) masyarakat tak menghasilkan kebijakan adil. Dengan kata lain, ketika undang-undang tidak memenuhi hak-hak dasar masyarakat.

Tentu mahasiswa tidak sendiri, Dandy Laksono, Randi, dan Muhamad Yusuf Qardawi, korban mati aksi demontrasi bakal jadi inti. Bola salju. Menggelinding. Membesar.

Sumber gambar: Tempo.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *