Anak Itu, Telah Ikut Demonstrasi

Kiwari, ia sudah memangsa jatah waktu melatanya di bumi, sekira 20 tahun. Ia telah  menjadi mahasiswi tahun kedua, persisnya duduk di semester tiga, pada Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar (UNM). Selama tahun pertama, ia selalu mengenakan jaket orange, saat ke kampus. Memasuki tahun kedua, tidak lagi memakainya, kecuali ada acara penting di kampusnya. Tapi, beberapa hari terakhir ini, sejak demontrasi mahasiswa-mahasiswi berlangsung, jaket itu ia kenakan kembali.

Sejak semester awal, ia sudah mengikuti berbagai kegiatan yang ditawarkan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa UNM. Perkaderan himpunan, latihan jurnalistik, pecinta alam, kelas literasi, dan beberapa item kegiatan lainnya, suah ia jajal. Kelihatannya, ia mencari aktivitas yang bakal menguatkan kapasistas kemahasiswaannya. Paling mutakhir, ia juga ikut demonstrasi mahasiswa, menuntut dikeluarkannya Perpu Revisi UU KPK dan membatalkan RUU KUHP yang tidak pro rakyat.

Baginya, perkara demonstrasi, mestilah dilakoni. Ini kali kedua ia ikut demonstrasi. Sewaktu masih mahasiswi baru, ia sudah ikut demonstrasi di kampusnya, memperkarakan soal internal kampus, berkaitan dengan mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri.

Meskipun begitu, ia belumlah menjadi pemimpin demonstrasi, atau koordinator lapangan, apatahlagi orasi. Masih sebatas penambah jumlah demonstran. Bahkan, ketika demonstrasi berlangsung, ia memilih barisan belakang. Maklum saja, baru magang berdemonstrasi. Namun, saya haqqul yaqin, ini sebentuk praktek lapangan baginya, yang harus dijalani seorang mahasiswa.

***

Tetiba saja, seorang kawan mengirimkan semacam surat lewat jaringan pribadi, di akun medsos saya. Isinya, selain memaparkan situasi terkini, menyangkut demosntrasi mahasiswa dan tuntutannya, juga mengajak saya agar tidak diam. Ia menabalkan ujar, bahwa saat ini, bukan saatnya diam, harus bergerak. Kawan lain pun tak ketinggalan menyurati saya, sembari memetakan gerakan mahasiswa dengan segala varian kemungkinan motifnya.

Dua kawan saya itu, bermukim di Jakarta. Keduanya adalah aktivis mahasiswa tahun 1998. Ajakan prihatin ini, saya bisa memakluminya. Sebab, di tahun 1998, saat reformasi digulirkan, saya juga ikut berdemonstrasi. Bahkan, rumah saya menjadi salah satu markas mahasiswa, khususnya mahasiswa yang terhimpun di HMI-MPO, yang menuntut pembubaran Rezim Orba  dan Presiden Soeharto mundur.

Teramat banyak catatan yang bisa saya torehkan soal gerakan perlawanan reformasi ini. Sebab, menjadi aktivis mahasiswa di masa Orde Baru, setiap pelibat gerakan mahasiswa, punya memori tersendiri, mulai dari demonstrasi damai, hingga anarkistis. Cukuplah ajakan kawan ini menjadi sinyal, bahwa saya punya jejak sebagai seorang demonstran.

Respons saya terhadap ajakan untuk tidak diam, saya balas dengan emoticon, berupa tanda jempol dan dan gambar hati. Nanti beberapa hari kemudian, kala demonstrasi mahasiswa semakin memanas, anarkistis demonstran dan aparat keamanan bertubrukan, barulah saya membangun diskursus dengan kawan tersebut. Saya lebih banyak minta penjelasan atas situasi kacau balau ini, sembari mengamati jalannya demonstrasi mahasiswa, dari hari ke hari, khususnya di Kota Makassar.

***

Ada yang mengatakan, demonstrasi mahasiswa kali ini mirip dengan demonstrasi Reformasi 1998. Sebagai orang yang pernah menjalani demonstrasi, sepertinya terlalu dini untuk memiripkannya. Amat banyak variabel yang membedakannya. Mungkin dari jumlah kampus dan kota yang menggelar demonstrasi bisa diajukan sebagai penguat kemiripan, tapi sepertinya tidak.

Dari segi jumlah dan solidaritas, masih belum sampai. Apalagi, dukungan rakyat, masih terbelah, antara yang pro dan kontra atas tuntutan para demonstran. Belum lagi, sikap kritis masyarakat atas jalannya demonstrasi. Pun, tuntutannya tidak seganas tuntutan pada rezim Orde Baru. Meskipun, ada pula  kekuatan yang mencoba menumpang tuntutan, agar presiden mundur, atau tidak dilantik untuk periode berikutnya.

Atau boleh jadi, amatan saya ini keliru. Sebab, saya sudah lama gantung jaket dan lebih konsentrasi melakukan gerakan sosial di pelosok, selaku pegiat literasi. Sehingga, saya jauh dari akses dan spirit gerakan mahasiswa. Atau mungkin juga disebabkan oleh usia yang makin menua, sehingga pikiran-pikiran tua, menerungku saya. Salah satu bahaya pikiran kaum tua, diterungku oleh mandeknya gagasan transformasi.

Namun, ada hal yang menarik. Karena yang disorot oleh para demonstran, yang menjadi wakil rakyat di Senayan, tidak sedikit yang mantan demonstran 1998. Terkadang saya geli, terutama ketika menyaksikan perdebatan di beberapa jaringan televisi, antara wakil-wakil mahasiswa dengan anggota DPR, mantan demonstran. Para mahasiswa menuntut pertanggungjawaban reformasi, sementara mantan demonstran 1998 masih bertindak laiknya seorang senior: menggurui.

***

Dua hari terkahir, Senin, 30 September 2019 dan Selasa, 1 Oktober 2019, demonstrasi mahasiswa, khususnya di Kota Makassar, tidak lagi ricuh. Ini semacam titik temu, antara demonstran dan aparat keamanan, yang layak dipuji setinggi mungkin. Sepertinya, ada kesadaran baru yang hadir dari kedua belah pihak, bahwa jika ricuh, maka keduanya sama-sama menjadi korban. Patut saya duga, di kalangan mahasiswa makin solid merapatkan diri dan pihak aparat keamanan, makin bisa membedakan, antara demonstran dan perusuh.

Teringatlah saya pada momen-momen akhir demontrasi Reformasi 1998, ketika pada puncaknya, tidak ada kerusuhan. Mahasiswa dari seluruh penjuru kampus, di kota Makassar, bergabung dengan elemen masyarakat, didukung oleh rakyat, demonstrasi berlangsung dengan damai. Rapat akbar demonstran di Lapangan Karebosi, benar-benar akbar. Saya sempat mendengar secara samar, seorang senior saya, yang pernah ikut demonstrasi tahun 1966, bergumam, “Saya bakal tidak menyaksikan lagi demonstrasi mahasiswa yang seakbar ini.”

Mata saya berkaca-kaca, berusaha memicingkan mata, meresapi kata-kata itu. Apatahlagi, sehari sebelum rapat akbar itu, saya membawa seluruh penghuni mukim saya, ikut berdemonstrasi, didahului orasi di halaman Masjid Al-Markaz al-Islami, lalu berjalan kaki melewati Jalan Veteran, tembus Jalan Maccini, berakhir di Kilo Empat, yang kini bernama jembatan Fly Over. Saat itu, pasangan saya lagi hamil 6 bulan. Ia ikut long march.

Kini, anak yang dalam kandungan itu, seorang putri, lahir tahun 1998, telah ikut berdemonstrasi, memakai jaket kuning, berada pada barisan belakang. Ia sementara magang, Mungkin masih menyamakan demonstrasi dan rekreasi. Soalnya, pamplet dan spanduk yang dibentangkan, ada lucu-lucunya, khas satire generasi milenial. Bagi saya, tindakan putri saya ini, bukanlah sikap muspra. Jadi, pada kedua kawan saya di Jakarta sana, saya tidak diam, cuman gerak saya terwakili oleh anak milenial itu, yang sejak dalam kandungan, sudah ikut numpang demonstrasi. Kawan, anak itu, telah ikut demonstrasi.

Sumber gambar: Fajar.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *