Sulhan: Berangkat dari “Ketagihan Pada Sari Diri”

(Pembacaan Bersahaja Atas Buku Pesona Sari Diri)

***

Sejak tahun 2003 saya mengenal Sulhan, yang biasa saya tambahkan kata “kanda” di depan namanya, sehingga menjadi “Kanda Sulhan” atau sekadar “Kak Sulhan”. Bagi saya yang masih mahasiswa baru (maba) kala itu, dan senantiasa ber-sekret di Gedung Pusat Muhammadiyah Sulsel yang bergaya Minang itu, satu-satunya toko buku yang saya akrabi adalah Toko Buku Papirus. Maka akrablah saya dengan Bung Asran Salam, Bung Sabara, Bung Rahmat Zainal, Bung Idham Malik dan tentunya sang owner toko buku tersebut, Kanda Sulhan, yang dalam ingatan saya tak pernah tidak botak (bahkan dalam esainya yang berjudul “Botak”, Sulhan menyebut dirinya sendiri sebagai penyandang botak, dan merasa cukup jua penderitaan yang senantiasa menimpa). Hampir seperempat dari buku-buku yang ada di rak buku saya saat ini, berasal dari toko buku Papirus dan Paradigma milik Sulhan. Saat itu, saya sebisa mungkin membeli minimal satu buku dalam sebulan, dari salah satu toko buku yang dimilikinya.

Membaca Pesona Sari Diri, itu berarti saya mesti memaknai kata-kata, kalimat-kalimat dalam esainya dengan turut memobilisasi ingatan dan persepsi pribadi saya terhadap Sulhan. Seorang teman pernah berucap, buku Pesona Sari Diri, memukau kita bukan hanya karena rangkaian aksaranya yang begitu memesona, tapi pesona diri Sulhan itu sendiri yang membekas dalam ingatan kita. Misalnya, saat saya membaca esainya yang berjudul “Merawat Kesukarelaan, Membabar Welas Asih”, Sulhan tidak hanya berhasil membujuk saya dengan lembut agar tetap merawat kesukarelaan dan mempercayai bahwa “sukarela adalah galanya perjuangan dan pengorbanan”, karena “sesungguhnya kesukarelaan, kepedulian dan welas asih adalah sesuatu yang built in dalam diri”. Tetapi pada diri Sulhan saya melihat bentuk nyata “kesukarelaan”, siang-malam maladeni undangan adik-adik untuk menjadi nara sumber, bolak-balik antara Makassar-Bantaeng demi menghidup-hidupi komunitas literasi yang dia inisiasi.

Kekuatan buku Pesona Sari Diri, bukan hanya disebabkan oleh susunan atau jejaring kata yang merajut esai-esainya. Tapi justru karena keteladanan penulisnya. Keteladanan dalam menggawangi aktivitas-aktivitas literasi. Dalam rangka mendongkrak kapabilitas literasi anak negeri, tak salah jika kita berlomba-lomba melaksanakan workshop atau diskusi publik bertemakan literasi. Tapi berdasarkan pengalaman pribadi saya, saya cuku punya passsion dalam hal membaca dan menulis, itu dikarenakan tauladan dari ayah yang rutin membaca di sore hari, teladan dari mentor kristologi sewaktu masih duduk di bangku SMA yang mendorong melahap buku apapun lalu menuliskan review-nya serta teladan dari beberapa kawan yang lumayan rakus dalam membaca buku.

Mengapa keteladanan dalam literasi penting. Karena jangan sampai literasi hanya sekedar slogan, sekadar trend hidup yang bisa menambah amunisi “ke-kiwari-an” diri, atau sekadar sebagai salah satu tema konten dalam baliho-baliho selain tema politik dan tanah kapling. Jangan sampai literasi sekadar menjadi apa yang disebut oleh Sulhan sebagai Puji Ale alias Ero Nikana dalam esainya yang berjudul “Negeri Baliho”, karena “takjublah saya pada baliho itu. Betapa tidak, saya sendiri nyaris tidak percaya sebegitu memukaunya tampilan saya di baliho itu”, tema literasi hanya sekadar selubung dari “seorang manusia yang lapar dengan sebutan, haus akan gelaran…” kata Alwy Rachman yang dikutip oleh Sulhan dalam esainya.

Sulhan seakan-akan ingin berucap bahwa, literasi sebaiknya berangkat dari “ketagihan pada sari diri”. Bukan hanya literasi, tetapi juga politik, dan untuk soal ini Sulhan cukup sering bernada mengejek jika berbicara tentang partai politik, “adakah kisanak-kisanak masih bingung bin pusing terhadap perhelatan politik, yang melibatkan partai politik, yang tak jelas jenis kelamin ideologisnya…” dalam esainya yang berjudul “Politik Itu, Serupa Sepak Bola”, bahkan dengan nada agak Hobbesian Sulhan menuliskan “Pragmatisme partai politik memangsanya…” dalam esai Tatkala Partai Politik Menjadi Kuda Rodeo”. Walaupun begitu, bagi Sulhan “Bahwasanya, tidak bisa dimungkiri masih ada pula yang memandang ajang perhelatan politik adalah arena mengaktualkan segala yang mendasar pada diri”.

Lalu, bagaimana dengan agama ? perilaku keagamaan kita mungkin saja tak berangkat dari “ketagihan pada sari diri”, mengapa demikian ? Dalam esai “Al-Maidah”, yang ditulis dalam situasi hiruk pikuk karena kasus Ahok, dengan nada agak ragu Sulhan bertanya-tanya “membatinlah saya, mungkinkah saya berlaku adil pada kasus yang menimpa Ahok ini ? Bila sementara kebencian padanya menerungku saya ?” dan saya rasa pertanyaan tersebut juga ditujukan kepada semua yang mengutuk Ahok dan hampir bisa dipastikan mengikut sertakan narasi-narasi keagamaan. Mengapa pertanyaan tersebut penting, karena pertanyaan tersebut adalah redaksi lain dari Qur’an Suci surah Al-Maidah ayat 8 yang diantara penggalannya berbunyi “dan janganlah, kebencian (kalian) terhadap suatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa “, dim ayat itu tentunya masih se-surah dengan Al-Maidah ;51 yang sering digunakan untuk membabat yang lain.

Jika perilaku keagamaan ini berlanjut maka, tidak menutup kemungkinan akan terjadi apa yang Sulhan tulis “Lebih membahas perkara remeh temeh dan individual, Abai membahas problem sosial atau dimensi substansial Islam lainnya…………..spirit agama menjadi mati, jiwa agama mengalami impotensi. Ada agama tapi tidak mekar fungsi sosialnya” dalam esai yang berjudul “Mencegah Impotensi Agama”. Maka dari itu “selaiknya kita membutuhkan penafsiran dan model keberagamaan yang menjawab permasalahan kehidupan beragama di negeri ini, kita membutuhkan spirit keberagamaan yang penuh dengan semangat toleransi, agar keragaman keberagamaan di Indonesia yang merupakan kekayaan tidak menjadi bencana,” tulis Sulhan dalam “Cinta Kasih : Dari Maulid Hingga Natal” dan di paragraf sebelumnya, sambil mengutip Aamalados “Pemakluman Kerajaan Allah tidak lain adalah pewahyuan cinta kasih Allah yang tak bersyarat. Jawaban yang diperlukan adalah membuka hati pada cinta kasih ini dan mengungkapkannya dengan mengasihi sesama”.

Lalu apa itu Sari diri ? Yah mungkin bagian terdalam dari diri sekaligus sumber kebahagiaan, “Bahagia sumbernya dari dalam diri, yang diluar diri hanya sekedar pemantik agar api kebahgiaan menjilati diri” dalam esai “Bahagia Itu Mudah”. Dengan kata lain ada bagian paling dalam dari diri yang menjadi asal muasal api kebahagiaan. Yah ini serupa dengan salah satu adigium Neo-Paltonik, “lakukanlah pendakian ke dalam dirimu”, lain kata untuk menjadi manusia ascendent (senantiasa menaik) prasyaratnya adalah mengarah “ke dalam diri”, tapi jika sebaliknya yakni saat pusat diri justru berada di luar diri, maka kita akan menjadi manusia-manusia “decadent”. Tapi bagaimanapun bagi saya, berbicara tentang “diri” bukanlah perkara mudah, sebagaimana Scheller mengatakan bahwa “diri” (persona) adalah Sosein, yakni sesuatu yang senantiasa mengelak dari konseptualisasi. Sebagaimana Ilmu Hudhuri saat membicarakan perkara “mistik” justru bermuara pada sebuah pengelakan terhadap “mistik” itu sendiri, karena mistik adalah pengalaman yang melampaui kata-kata, begitu pula “diri” merupakan pengalaman yang melampaui kata-kata bahkan kata “diri” itu sendiri. Apakah buku Pesona Sari Diri juga bermuara pada sebuah Aporia ? bahwa dirinya juga tak lain sebentuk pengelakan terhadap “diri” itu sendiri ?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *