Di Sela Bait “Imagine” dan “Heal the World”

Berlaksa detik telah lewat, peringatan Hari Perdamaian Internasional, yang jatuh pada  tanggal 21 September setiap tahun. Namun, putra bungsu saya, masih sering memainkan lagu “ImagineJohn Lennon dan “Heal the World”, Michael Jackson. Lewat pianonya, mengantarkan saya pada momentum peringatan itu.

Sekaum warga Kota Makassar, menggabungkan diri dalam Aliansi dan Kolaborasi Hari Perdamaian Internasional. Aliansi mereka, merupakan gabungan lebih dari 50 organisasi dan komunitas yang cinta damai dan mengusung tema perdamaian.

Hajatan mereka berlangsung pada hari Minggu, 22 September 2019, berlokasi di area Car Free Day Pantai Losari Makassar, persisnya di depan Rumah Sakit Stella Maris Makassar.

Banyak mata acara dipersembahkan, salah satunya, musik akuistik dari siswa SMP Lazuardi Athaillah Makassar. Mereka mengiringi seorang ibu separuh baya, emak salah seorang siswa, membawakan dua tembang lawas, Imagine” dan “Heal the World”.

Hingga esai ini saya bikin, masih terpikirkan, satu pertanyaan, mengapa siswa itu ikut aksi damai? Barulah saya menemukan detail jawabannya, tatkala saya teringat kembali pada sosok Haidar Bagir, pendiri sekolah Lazuardi.

Sekali waktu, para orang tua siswa diundang untuk mendengarkan kuliah umum dari Haidar, tentang peneguhan nama semboyan Lazuardi, dari Global Islamic School, menuju Global Compassionate School. Rupanya, keterlibatan siswa ini, bagian dari penegasan belajar bertanggungjawab tentang pentingnya perdamaian dunia.

Saat perhelatan aksi dan solidaritas perdamaian internasional itu digelar, saya berada di luar Kota Makassar. Saya berada di Kabupaten Bantaeng, sekira 120 km dari Kota Makassar, dalam rangka mengemban tanggung jawab, terlibat dalam hajatan literasi, menyambangi komunitas-komunitas literasi, agar tetap eksis  memoncerkan gerakan literasi. Saya hanya menyaksikan lewat video siaran langsung helatan itu, khususnya ketika putra saya berakuistik, bersama dua kawan sekolahnya, memainkan gitar. Ia sendiri memainkan piano.

Jujur saya tabalkan, amat takjub pada anak sekolahan itu. Mungkin saja mereka belum mengerti arti perdamaian dunia. Boleh jadi mereka hanya mencari panggung, sebagai remaja pencari citra diri, belum sari diri. Bagi saya, keterlibatan mereka serupa pendidikan karakter, guna menumbuhkan kepribadian cinta damai, mengembangkan kesadaran bagian dari warga dunia.

Saya masih sering memutar video itu. Apalagi situasi beberapa belahan dunia masih dilanda konflik peperangan. Rasa-rasanya ajakan John Lennon amat mendesak. Dalam tembang “Imagine”, ketika penggalan baitnya mengajak, Imagine all the people (Bayangkan semua orang), Living life in peace (Hidup dalam damai), You may say that I’m a dreamer (Anda mungkin mengatakan bahwa saya seorang pemimpi).

Di tanah air pun demikian, konflik antar sesama warga bangsa masih mengemuka. Belum lagi ujar kebencian berlatar SARA, masih memenuhi ruang-ruang media sosial. Sepertinya suara merdu Michael Jackson, sangat relevan. Lewat nyanyian “Heal the World”, kala potongan syairnya meminta,  Make a better place (Buat tempat yang lebih baik), Heal the world (Menyembuhkan dunia), Make it a better place (Jadikan itu tempat yang lebih baik), For you and for me (Untukmu dan untukku), And the entire human race (Dan seluruh umat manusia).

Sembari menikmati bait-bait lagu itu, saya menguatkan diri dengan mengeja satu buku monumental, Nahjul Balagah, karangan Imam Ali bin Abi Thalib, salah seorang Khulafaur Rasyidin, Amirul Mukminin. Saya mencari salah satu surat kepada gubernurnya. Saya menemukannya, cukup panjang, dan tiba pada penabalan ini, “Wahai Malik,” kata Sayidina Ali kepada Sang Gubernur.  “Sesungguhnya manusia itu ada dua tipe: Jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu dalam kemanusiaan.”

Penggalan surat itu menggiring saya pada ungkapan bijak Nelson Mandela, pejuang Afrika Selatan, “Apabila Anda ingin berdamai dengan musuh Anda, maka Anda harus dapat bekerja sama dengan mereka. Selanjutnya, mereka akan menjadi kawan Anda.”

Masih dalam buaian tembang lawas, saya terkenang pada tutur Paus Fransiskus, dalam buku 99 Cara Hidup Ala Pope Francis,“Semoga Tuhan pencinta damai membangkitkan kerinduan autentik untuk dialog dan rekonsiliasi dalam diri semua orang. Kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan. Kekerasan dapat diatasi dengan kelemahlembutan.”

Tak lengkap rasanya, jika melupakan Mahatma Gandhi, sorang juru damai ternama, dengan uangkapan terdalamnya, “Kebencian tidak ditaklukkan dengan kebencian. Kebencian ditaklukkan dengan cinta. Hukum itu bersifat abadi.”

Berlapikkan pada kedua tembang lawas itu, di sela-sela baitnya, cukup elok bilamana saya ajukan ajakan sekaum 50 organisasi dan komunitas pecinta damai. “Kami aliansi perdamaian Makassar, meyakini bahwa kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, serta profesi merupakan hak asasi manusia. Dan kami aliansi perdamaian Makassar, masyarakat yang adil dan damai bagi seluruh masyarakat.”

Lebih dari itu, “Aliansi perdamaian Makassar, mendukung pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dan Kota Makassar, serta seluruh warga agar tidak membeda-bedakan golongan berdasarkan suku ras dan agama.”

Makin elok saja saya menindis tuts-tuts laptop, sebab putra saya, siswa SMP Lazuardi Athaillah itu, mengiringi laju pikiran dengan tindisan-tindisan pianonya. Tentulah ia mengulang kembali tembang John Lennon dan Michael Jackson. Nampaknya, saya ingin menyanyi, tapi saya menahan diri. Pasalnya sederhana saja, karakter suara saya tak begitu memadai mengadaptasi kedua penyanyi legendaris dunia itu. Anehnya, kala saya menyanyi dalam hati, lebih pas nadanya.

Sumber gambar: https://lsisi.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *