Makassar menuju kota dunia. Sebuah slogan yang membayangkan dunia tanpa batas menunjukkan perkembangan ke mana arah kota ini dibentuk sejak Danny Pomanto menjadi walikota.
Konon, Makassar memang pernah menjadi pasar global dan menjadi alasan VOC melakukan intervensi. Akibatnya, Makassar merugi dalam perjanjian Bongayya pada November 1667 silam.
Penulis asal Makassar, Muhammad Ridha, telah menguraikan tanggapannya terkait slogan itu. Dalam buku Sosiologi Waktu Senggang: Eksploitasi dan Komodifikasi Perempuan di Mal terbitan Resist Book tahun 2012, ia berusaha menerangkan, bahwa inilah salah satu yang menyebabkan komodifikasi di hampir semua bidang kehidupan.
Bahkan, Muhammad Ridha juga menegaskan waktu senggang pun tidak lepas dari tilikan pemilik modal dalam rangka agenda komodifikasi berkedok globalisasi. Akibatnya, berdirilah wahana-wahana bergaya hedon seperti mal, diskotik, dan wahana bermain untuk menjawab kebutuhan berwaktu senggang itu.
Lihat saja Lapangan Karebosi, Alun-Alun Kota Makassar di Kecamatan Ujung Pandang yang dulu adalah ruang publik gratis untuk dinikmati. Kini, lahan itu makin sempit akibat harus berbagi tempat dengan Karebosi Link. Akhirnya, ruang publik itu menjadi ruang komersial yang sulit diakses tanpa tiket parkir. Apa jadinya kalau semua ruang termodifikasi seperti ini?
Agenda ekonomi ini juga diperlancar dengan perkembangan teknologi berbasis internet yang makin memudahkan orang mengakses informasi dan kemudian menjadikan aktivitas-aktivitas virtual bergabung dengan aktivitas fisik, membayangkan dunia tanpa batas. Fenomena ojek dan taksi online, Grab dan Go-Jek, misalnya, telah membuat orang bersemangat untuk memproduksi dan mengonsumsi lebih dan lebih dengan alasan kemudahan mengakses pasar dan produk. Tagline Go-jek #pastiadajalan.
Perkembangan informasi yang berwatak liar, ini juga mengakibatkan produsen memaksa diri selihai mungkin merayu pembeli dengan iklan yang semakin sexy. Kata seorang investor bank, “Pakaian akan dibeli karena memang dibutuhkan, makanan dibeli karena nilai ekonomis dan gizi, kredit mobil dan motor diambil karena akan digunakan 10-15 tahun pemakaian, rumah-rumah dibangun dan dipertahankan ciri-ciri bangunannya sebagai tempat tinggal keluarga yang pemiliknya tidak merasa terganggu harga dirinya dengan model-model baru renovasi rumah. Apa yang bisa diharapkan oleh pasar bila semua orang berpikir seperti itu?“
Iklan memaksakan dan mengombang-ambingkan kita untuk terus berkeinginan dan mengikuti logikanya. Pertanyaannya, bukankah konsumenlah yang seharusnya menentukan logika iklan? Kenapa yang terjadi sebaliknya?
Secara psikologi, manusia akan selalu menuntut kepastian; butuh perlindungan. Berikutnya, kepastian dan perlindungan itu dimaknai identik dengan kenikmatan. Sayangnya, kenikmatan yang lazim dipahami orang ialah kenikmatan praktis yang sifatnya temporer; kini dan di sini. Inilah yang menyebabkan manusia terjebak pada zona nyaman; dari hari ke hari ketergantungan menagih kepastian di bawah payung hedon.
Buku ini menggambarkan kita yang sempoyongan berhadapan dengan logika pincang westernisasi—pembaratan—bukan modernisasi. Maka, buku ini penting dan sekaligus genting dibaca segera untuk meluruskan pemahaman publik bahwa modernisasi adalah rasionalisasi.
Judul : Sosiologi Waktu Senggang: Eksploitasi dan Komodifikasi Perempuan di Mal
Penerbi : Resist Book
Tahun terbit : 2012
Tebal : 149 halaman
Kader HMI Komisariat Teknik Universitas Muslim Indonesia. Lulusan Kelas Menulis Intuisi asuhan Muhidin M. Dahlan.