Relasi: Sumbangan untuk Demokrasi Bantaeng

Buku Dari Relasi ke Literasi adalah sebuah ikhtiar. Tak cukup sekadar aksi sosialisasi pentingnya partisipasi pemilih pada Pemilu Serentak 2019, tapi juga 45 Relawan Demokrasi menuliskan kesannya selama bertugas. Di situlah letak pentingnya, masing-masing relawan melakukan aksi refleksi. Mencoba mundur ke belakang, melihat ulang proses dari awal hingga akhir, dan mencoba untuk mencari, kira-kira apa yang telah diperoleh, dan kualitas seperti apa telah meningkat.

Tak mudah saya kira, memaksa relawan menuliskan pengalamannya, untuk dibaca orang banyak. Pengalaman yang dilontarkan melalui tulisan, tak lain adalah sebuah ketegangan bercampur kecemasan. Dalam catatan itu, dituntut kejujuran relawan, seperti apa perasaan mereka saat menjalankan tugas, keterbukaan hati dan pikiran mereka terhadap tantangan, serta menjelaskan hal-hal yang telah dilakukan secara pasti. Tentu, bagi sebuah organisasi, catatan-catatan ini berguna untuk menangkap motif dan kerja keras para relawan. Pun dapat menjadi bukti komitmen para relawan terhadap demokrasi.

Saya membayangkan akibat dari tulisan ini, para relawan dapat saling mengetahui jalan pikiran satu sama lain. Hal ini sehat untuk sebuah organisasi dan tentu bagi demokrasi, sebab keterbukaan diri dapat berarti saling berbagi ruang rahasia, jika begitu, terbangun komunikasi efektif, sehingga terbuka kemungkinan-kemungkinan kerjasama, relasi yang lebih dalam, baik dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. Di samping itu, tulisan kawan-kawan relawan demokrasi, menjadi sumbu api, minimal bagi diri mereka, dalam artian telah muncul satu generasi tim demokrasi, yang memiliki keberanian untuk mengutarakan isi hati dan pikiran, mengenai sebuah satu fase demokrasi lokal, khususnya di Bantaeng.

Keberanian dan percaya diri patut diapreasiasi. Masing-masing relawan tidak takut-takut menulis. Meski, yang ditulis, lebih pada suka dan duka, rasa bahagia yang lahir dari derita perjuangan, serta adanya kembang-kembang dari perjuangan itu sendiri. Bisa jadi pula, tulisan ini adalah bentuk eforia kawan kawan relawan, untuk berbagi kesan masing-masing, dalam bekerjasama selama tiga bulan.

Demokrasi berangkat dari hal-hal sepele seperti ini, yaitu berangkat dari orang-orang yang ngomel, cerewet mengenai kondisi, keadaan masyarakat. Nah, dengan adanya buku Dari Relasi ke Literasi ini, ngoceh bukan lagi berupa gerutu atau gerundelan, gundukan-gundukan yang tertahan, lewat omong-omong oral. Namun, sudah tercetak di atas kertas, dan menjadi material yang dapat didiskusikan.

Dan, ngomel bermutu ini punya dampak psikologis, baik bagi penulis yang dalam hal ini adalah para relawan, maupun pembaca yang notabene adalah warga Bantaeng. Saya agak terenyuh membaca cerita Jumriani, yang dua hari sebelum tugas berakhir, mendapati anaknya meninggal lantaran tenggelam di sungai. Cerita ini cukup tragis, dimana teman-teman yang lain bercerita dengan mengenai indahnya kebersamaan, sedangkan Jumriani menuliskan pengalaman perih, kisah seorang Ibu yang ditinggal anak sulungnya.

Lalu, bagi warga Bantaeng, melalui tulisan Relasi, mereka dapat mengukur kualitas demokrasi, khususnya yang berada pada pelosok. Bagaimana tidak, terdapat komentar-komentar dari beberapa penulis, mengenai respon warga terhadap Pemilu. Misalnya, ungkapan penolakan halus warga, yang ternyata lebih karena tidak tahu dan tidak paham mengenai manfaat dari partisipasi politik. Setelah dijelaskan manfaat dari keterlibatan politik, akhirnya warga mau terlibat aktif. Di samping itu, diketahui pula animo masyarakat dalam menerima pasukan pemilu ini. Mereka diterima dengan baik, bahkan oleh pemuda mabuk sekalipun. Ibaratnya, buku ini sudah dapat menjadi teleskop mental masyarakat pelosok.

Dari ekspresi tulisan yang tak begitu mengandung beban, menunjukkan kualitas sebuah tim pelaksana tugas. Dari sini kita dapat belajar, bagaimana Komisioner KPU Bantaeng, mengatur dan mengorganisir 55 relawan, agar bekerja dengan ikhlas dan sepenuh hati. Saya menangkap kegembiraan dalam menjalankan tugas, meski diterpa matahari, hujan, kelelahan berjalan dan keberanian dalam bertemu dengan orang banyak. Kata seorang relawan, para pemateri TOT Relawan sangat asyik, bahkan banyak lucu-lucunya.

Meski begitu, buku ini adalah langkah awal, sebab berisi lebih ke deskripsi perjalanan atau kisah para relawan. Belum begitu diungkap sumbangan pemikiran bagi perbaikan sistem pengelolaan relawan demokrasi.

Sumbangan pemikiran? Ini menjadi tantangan bagi para relawan, untuk lebih mengangkat persoalan demokrasi di level masyarakat desa dan pelosok. Untuk menyadarkan kita, bahwa ada soal-soal yang perlu dibenahi pada aras bawah demokrasi kita. Ada suara-suara yang belum terdengar, dan tidak terdengar karena bungkam. Relawan Demokrasi dapat menjadi tentakel-tentakel yang dapat menjangkau mereka, dan kemudian menjadi mulut perantara mereka. Misalnya, apa dasar mereka tidak turut berpartisipasi dalam pemilu? Kenapa mereka enggan untuk ke TPS? Apa sebenarnya yang ada dalam benak masyarakat pedalaman mengenai praktek demokrasi di Indonesia? Serta mungkin dapat dibagi tips-tips mengajak masyarakat untuk berpartisipasi.

Barangkali, untuk hal-hal seperti itu, perlu wadah tersendiri, cetakan baru, yang dapat dimunculkan setelah para relawan melakukan refleksi kembali. Saya kira, proses refleksi seperti itu adalah proses pendarahan pikiran. Apakah itu mungkin? Jika kita menangkap semangat relawan dari buku ini, tampaknya tidak ada yang tidak mungkin.

 

Judul Buku          : Dari Relasi ke Literasi

Penulis                 : Relawan Demokrasi Bantaeng

Editor                    : Sulhan Yusuf

Penerbit              : Liblitera

Tahun                   : 2019

Tebal                     : 307 Halaman

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221