Suka Menanam Beton, Lupa Menanam Pohon

Beberapa waktu yang lalu penulis melewati jalan perkotaan Makassar karena ada keperluan. Penulis merasa sangat kepanasan, padahal waktu itu masih pukul sembilan-sepuluh-an, masih pagi tapi rasanya begitu menusuk-nusuk kulit.

Penulis bergumam, mungkin rasa panas ini seperti hari-hari biasa, dan hanya penulis yang merasa gerah. Tapi, setelah pulang dan buka sosial media penulis mendapi sebuah berita di Makassarinfo bahwa suhu panas makassar melebihi hari-hari sebelumnya. Bahkan mencatat rekor terpanas sepanjang sejarah Makassar.

Seperti yang dikutip pada berita Detiknews, 21/10/2019 suhu udara Kota Makassar, Sulsel, mencatat rekor terpanas sepanjang sejarah di luar efek El Nino. Makassar 38,2 derajat Celcius pada Minggu (20/10). “Jadi suhu 38,2 itu merupakan suhu tertinggi sejak bulan Oktober sepanjang pengamatan kami dan data sejak 1985,” kata Kepala Stasiun klimatologi Maros, Hartanto kepada wartawan, Senin (21/10/2019).

Merasakan panasnya Makassar adalah suatu kewajaran menurut penulis. Kita melihat dan menyaksikan Makassar dalam masa pembangunan. Tol layang Pettarani sementara tahap pembangunan. Tentu, pohon yang berada di median jalan telah ditebang.

Area makassar yang dulunya lahan pertanian dan perkebunan kini beralih fungsi menjadi kawasan industri dan perumahan. Meski telah memiliki UU yang mengatur larangan alih fungsi lahan pertanian sejak beberapa tahun lalu, saat ini kurang dari separuh kabupaten/kota menindaklanjutinya.

Berbicara lahan, penulis kembali mengingat area rumah atau dekat kampung seingat penulis dulunya merupakan sawah yang begitu hijau indah dipandang (lahan yang ditanami padi, sayur-sayuran juga pepohonan dan rumput liar). Namun tidak sampai hitungan bulan penulis melewati lahan tersebut, Anda tahu sudah menjadi apa lahan tersebut? lahan tersebut sedang dalam proses penanaman beton yang akan dibangun suatu perusahaan, ruko, atau semacamnya.

Penulis kemudian bertanya dalam hati, “Mengapa orang (penguasa) lebih asik dan suka menanam beton dari pada menanam pohon?”

Karena bukan satu kali itu saja penulis melihat hal seperti itu, di daerah penulis dulunya adalah perkampungan yang teduh karena banyaknya pohon yang tertanam di sekelilingnya. Tetapi gambaran teduhnya perkampungan tersebut sudah tidak dapat dilihat lagi kini. Pohon-pohon yang tumbuh lebih dulu sudah digantikan dengan ‘pohon’ yang lain.

Walaupun teduh tetapi tidak dapat menghasilkan buah yang segar, pemandangan menggugah, bunga yang cantik ataupun menarik perhatian burung-burung untuk bertengger dan berkicau, serta binatang lainnya untuk datang ke pohon yang tidak lain merupakan beton-beton kokoh yang secara tidak langsung merusak ekosistem. Juga ikut mengambil bagian dalam pemanasan global yang dirasakan sekarang.

Kalau saja lebih banyak manusia yang memiliki kesadaran yang lebih akan pentingnya pohon daripada beton. Kalau saja pemerintah lebih memilih menanam pohon ketimbang menanam beton. Kalau saja lebih banyak manusia yang mau menginvestasikan uangnya untuk membuat taman ataupun kebun, mungkin bumi bisa lebih ‘ramah’ kepada penghuninya…Iya ‘kan? Tidak seperti sekarang bumi sedang mengamuk sejadi-jadinya.

Pembangunan area Makassar tentu positif, sebab kedepannya kita bisa merasakan pembangunan tersebut. Namun jika merusak alam, positifnya apa? Penulis kemudian mengajak pembaca berpikir, tol layang atau jalan tol sebenarnya untuk siapa? Karena jika ke depannya berbayar seperti jalan tol, tentu yang merasakannya adalah orang-orang berduit (kapitalis). Yang tidak berduit tentu tidak bisa merasakan. Padahal keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia kini dijamin. Namun, jika dalam hal ini saja kita belum bisa berlaku adil, ya kasian.

Apalah arti kesejahteraan pembangunan yang tinggi jika mesti merusak lingkungan. Olehnya itu konsep kesejahteraan yang dikembangkan dewasa ini adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang terjamin secara financial, mapan secara sosial dan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Ternyata Islam juga memiliki konsep kesejahteraan yang jauh lebih bagus dibanding konsep-konsep ekonomi barat. Konsepnya pun telah diterapkan dengan baik, mulai dari zaman Rasulullah Saw, sampai para Khalifah penggantinya. Kesejahteraan dalam pandangan Islam bukan hanya dinilai dengan ukuran material saja; tetapi juga dinilai dengan ukuran non-material; seperti, terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial.

Dalam pandangan Islam, masyarakat dikatakan sejahtera bila terpenuhi dua kriteria: Pertama, terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat; baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya. Kedua, terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia. Dengan demikian, kesejahteraan tidak dinilai dari banyaknya bangunan tinggi menjulang jikalau rakyat masih sengsara dari segala lini.

Padahal menanam pohon, cara kita membuat bumi ramah kepada penghuninya. Setidaknya menanam pohon dapat mengurangi dampak pemanasan global, mencegah banjir, sumber oksigen, menyimpan air dalam tanah dan lain-lain. Kalau bukan kita yang menjaga lingkungan siapa lagi. Ya kamu yang baca artikel/opini ini. WallahuA’lam.

Sumber gambar: wika-beton.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *